Laskar Islam Pejuang Kemerdekaan: Dari Doa Kebal Hingga Granggang Kiai Subchi Parakan
Kiai Subkhi Parakan juga merupakan penasihat spiritual Panglima Besar Sudirman.
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Fakta sejarah tak bisa bantah bahwa umat Islam adalah pejuang utama kemerdekaan. Apalagi bagi kalangan santri dan pesantren. Mereka di masa kolonial selalu punya girah menyala agar kolonial enyah dari Indonesia. Bahkan kaum Muslim teguh mengikuti sikap ulama yang tak mau sedikitpun mengecap 'manisnya hidup' dengan pihak kolonial. Mereka rela hidup miskin karena para ulama selama masa kolonial itu melakukan politik 'uzlah' (memisahkan diri) dengan penguasa penjajah.
Tak hanya para santri pesantren saja, para orang tua yang hidup di kampung-kampungg mereka terus mendorong agar putranya yang menuntut ilmu di pesantren ikut berjuaang menjaga laskar pejuang melawan tentata kolonial. Salah satu yang fenomenal pada masa perjuangan kemerdekaan itu adalah ketika kaum santri dari seluruh pelosok Jawa beramai-ramai membuat granggang atau bambu runcing. Di kawasan Jawa misalnya para santri sebagai bekal senjata perjuangannya akan membawanya ke sebuah pesantren berpengaruh di Temanggung yang kala itu di kenal diasuh oleh KH Moh Subkhi.
Bila nanti pesantren yang sudah dibuat akan dibawanya menghadap Kiai Sublhi untuk akan disuwukan (didoakan). Adanya fenomena itu, maka para kaum lelaki dari umat Islam berbondong-bondong pergi ke pesanstren itu. Akibatnya, stasiun kereta api Temanggung penumpang yang (kini sudah tidak beroperasi) kala itu selalu dijejalai penumpang yang turun dari kereta dengan membawa bambu runcing yang dibungkus dengan kain mori (kain putih), Dan tak hanya meminta suwuk untuk bambu runcingnya, para santri di antaranya tak lupa juga meminta agar tubuhnya kebal tusukan dan sabetan senjata tajam, hingga tak mempan bila terkena terjangan peluru.
Dari kisah yang beredar dari orang tua yang merupakan para mantan pejuang lasykar Hizbullah, ‘karomah' bambu runcing Kiai Subkhi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subkhi langsung ke luar rumah pergi ke tengah halaman dan menodongkan bambu runcing ke arah pesawat pengebom belanda yang dikenal dengan sebutanan 'cocor merah' yang tengah melintas di atas pesantrennya.
Entah karena apa, akibat pesawat cocor merah diacungi bambu runcing dan teriakan 'Allahu Akbar' oleh Kiai Subkhi, sesaat kemudian pesawat oleng. Mesin pesawat kemudian mati dan pesawat meluncur jatuh ke area danau yang berada tak jauh dari kawasan itu yang dikenal dengan nama Rawa Pening, Pilotnya menyelematkan diri dengan cara keluar dari pesawat menggunakan kursi lontar yang dilengkapi parasut.
Lanjut pada halaman berikutnya..
Para santri yang melihat aksi Kiai Subkhi pun terkesima. Apalagi beberapa waktu kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat Cocor Merah yang terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.
Kisah inilah yang kemudian meluas dengan cara beredar dari mulut ke mulut. Menteri agama di era Presiden Sukarno, KH Syaifuddin Zuhri pun dalam sebiah otobiografinya kemudan mengisahkan: “Setelah itu berbondong-bondonglah barisan-barisan lasykar dan anggota TKR (Tentara Keamanan Rakyat) menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sundoro dan Sumbing menemui Kiai Subkhi. Para tokoh ulama, di antaranya yang paling terkenal adalah komandan Hizbullah KH Zainul Arifin dan komandan Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur."
“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo datang dari Surabaya, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, dan Lasykar Rakyat dari sekitar Jawa Tengah di bawah pimpinan Ir. Sakirman, dan 'Laskar Pesindo” dari kawasan 'Mataraman' di perbatasan Jawa Tengag dan Jawa Timur di bawah pimpinan Krissubbanu pun mendatanginya. Bahkan sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan,'' tulis KH Syaifuddin Zuhri.
Sejak itulah Kiai Moh Subchi dari Pondok Pesantrenn Parakan disebut 'Kiai Bambu Runcing'. Kota Parakan oleh para pejuang dan rakyat kemudian diberi nama sebagai kota bambu runcing.
Selain sebagai Kiai berpengaruh memberikan suwuk kepada para pejuang yang membawa bambu runcing, harap diketahui peran Kiai Subkhi sangat sentral dalam perjuangan gerilya yang dilakukan Panglima Besar Jendral Sudirman (Pak Dirman). Kala itu Kiai Subkhi adalah penasihat spriitual Pak Dirman yang sangat sering datang ke pesantrennya dengan diam-diam.
Alhasil, amalan doa dan dzikir yang terus didaraskan bibir Pak Diriman sepanjang melakukan gerilya adalah pilihan laku amalan yang disarankan oleh Kiai Subkhi. Kenyataan ini dimengerti sebab Pak Dirman adalah seorang Muslim yang saleh dan aktivis organisasi Muhammadiyah. Sebelum menjadi tentara pada jaman Jepang, Pak Dirman adalah guru sekolah Muhammadiyah di Cilacap, Jawa Tengah.