Nomokrasi dan Islamofobia: Ideologi Baru, Rasisme, dan Endapan Trauma Perang Salib (1)

membelah akar prasangka buruk terhadap Islam.

google.com
Pertempuran dan perjumpaan antara orang Muslim (lazim disebut Moro) dengan pasukan Eropa pada perang Salib di Spanyol.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: DR Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Baca Juga


Islamofobia adalah sebuah fobia atau suatu ketakutan, kebencian atau prasangka terhadap Islam atau Muslim secara umum. Istilah ini mulai digunakan pada akhir abad ke-20, terutama setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, yang menimbulkan persepsi negatif terhadap komunitas Muslim di dunia.

Islamofobia dapat bersifat, baik individual maupun struktural, dan dapat memengaruhi hak-hak, kebebasan, dan kesempatan hidup orang-orang Muslim.

Sejarah Islamofobia dapat ditelusuri sejak masa penyebaran Islam di Eropa dan Timur Tengah, yang sering kali dihadapkan dengan konflik, perang, dan persaingan dengan agama-agama lain, terutama Kristen dan Yahudi. Beberapa contoh sejarah Islamofobia, antara lain Perang Salib, Reconquista, Invasi Mongol, Penjajahan Barat, dan Zionisme.

Islamofobia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berkaitan dengan identitas, ideologi, kepentingan, dan konstruksi sosial tentang Islam dan Muslim.

Konsep Islamofobia dapat dipahami dari berbagai perspektif teoretis, seperti psikologi sosial, sosiologi, antropologi, studi budaya, studi poskolonial, dan studi kritis.

Beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisis Islamofobia, antara lain teori kontak antarkelompok, teori konflik sosial, teori orientalisme, teori rasisme kultural, dan teori hegemoni. Teori-teori ini dapat membantu menjelaskan penyebab, bentuk, dampak, dan strategi mengatasi Islamofobia.

Peraturan hukum dan kebijakan tentang Islamofobia bervariasi di berbagai negara dan wilayah. Beberapa negara memiliki peraturan hukum dan kebijakan yang melindungi hak-hak dan kebebasan orang-orang Muslim dari diskriminasi, pelecehan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa contoh negara ini, antara lain Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Indonesia. Namun, beberapa negara lain memiliki peraturan hukum dan kebijakan yang justru membatasi atau mengancam hak-hak dan kebebasan orang-orang Muslim dengan alasan keamanan nasional, integrasi sosial, atau nilai-nilai demokrasi. Beberapa contoh negara ini, antara lain Amerika Serikat, China, India, Myanmar, dan Israel.

Buku Islamophobia karya Chris Allen adalah sebuah buku yang membahas fenomena Islamofobia, yaitu ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap agama Islam atau umat Muslim secara umum. Buku ini merupakan salah satu buku pertama yang mencoba untuk memahami dan mengontekstualisasikan Islamofobia sebagai salah satu bentuk prasangka yang paling berbahaya pada zaman kontemporer. 

Allen menelusuri sejarah perkembangan istilah dan konsep Islamofobia sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Ia juga menunjukkan bagaimana peristiwa-peristiwa penting, seperti serangan 11 September 2001, perang melawan terorisme, dan bom London 2005 memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap Islam dan Muslim.

Allen mengulas hubungan antara Islam dan Barat sejak masa wahyu hingga masa reformasi, orientalisme, dan kolonialisme. Ia juga mengulas hubungan antara Islam dan Barat sejak masa revolusi hingga masa revivalisme, Rushdie, dan benturan peradaban.

Dekade kedua Islamofobia yang ditandai oleh laporan Runnymede Trust pada tahun 1997. Allen menjelaskan latar belakang, tujuan, dan dampak laporan tersebut dalam mengenali dan menamai fenomena Islamofobia. Ia juga menjelaskan tentang kritik-kritik yang ditujukan kepada laporan tersebut, terutama dalam hal definisi dan kategorisasi Islamofobia.

Allen memfokuskan analisisnya pada kasus-kasus Islamofobia di Inggris dan Eropa. Ia menunjukkan bagaimana media, politik, hukum, pendidikan, dan masyarakat berperan dalam membentuk dan memperkuat diskursus, ucapan, dan tindakan Islamofobia. Ia juga menunjukkan bagaimana umat Muslim bereaksi dan merespons terhadap Islamofobia.

Tentang teori dan definisi baru tentang Islamofobia, Allen mengkritik definisi-definisi yang ada tentang Islamofobia dan mencoba untuk merumuskan definisi baru yang lebih komprehensif dan akurat.

Ia juga membandingkan dan mengorelasikan Islamofobia dengan fenomena-fenomena lain, seperti rasisme, anti-Semitisme, xenofobia, atau homofobia. Ia juga mengemukakan bahwa Islamofobia adalah sebuah ideologi baru yang dibentuk oleh media generasi baru.

Allen menyimpulkan poin-poin utama yang telah dibahas dalam buku ini dan memberikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut tentang Islamofobia. Buku ini adalah buku yang sangat relevan dan penting untuk dibaca oleh siapa saja yang tertarik untuk mempelajari Islamofobia sebagai sebuah fenomena sosial, politik, budaya, dan agama. 

Buku ini juga memberikan wawasan yang mendalam dan holistik tentang sejarah, konteks, dampak, dan tantangan dari Islamofobia di dunia saat ini. Buku ini dapat dijadikan sebagai referensi akademis ataupun sosial bagi para peneliti, aktivis, pendidik, mahasiswa, atau masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islamofobia (Allen, 2016).

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...

            

 

 

 

 

 

Selain karya Alllen, Buku “Islamophobia” Reconsidered karya Fred Halliday adalah sebuah buku yang mengkritik konsep dan definisi Islamofobia yang telah digunakan oleh berbagai pihak, baik akademisi, aktivis, maupun media.

Buku ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan holistik tentang fenomena Islamofobia sebagai salah satu bentuk prasangka yang paling berbahaya pada zaman kontemporer. Buku ini terdiri atas satu bab tunggal yang dibagi menjadi empat bagian.

Halliday menjelaskan bahwa ia tertarik untuk menulis tentang Islamofobia karena ia merasa bahwa istilah dan konsep tersebut telah disalahgunakan dan disederhanakan oleh banyak orang.

Ia juga menjelaskan bahwa ia memiliki pengalaman pribadi sebagai seorang akademisi yang pernah tinggal dan bekerja di berbagai negara Muslim, seperti Iran, Sudan, dan Yaman. Ia mengaku bahwa ia memiliki simpati dan rasa hormat terhadap Islam sebagai agama dan peradaban.

Halliday mengulas sejarah perkembangan istilah dan konsep Islamofobia sejak awal abad ke-20 hingga akhir abad ke-21. Ia juga mengulas beberapa buku dan laporan yang membahas Islamofobia, seperti laporan Runnymede Trust pada tahun 1997, buku A Fundamental Fear karya Bobby Sayyid pada tahun 1997, dan buku The Clash of Civilizations karya Samuel Huntington pada tahun 1996.

Ia menunjukkan bahwa buku-buku dan laporan tersebut memiliki kelemahan-kelemahan dalam mendefinisikan dan mengategorisasi Islamofobia.

Halliday mengkritik definisi-definisi yang ada tentang Islamofobia dan mencoba untuk merumuskan definisi baru yang lebih komprehensif dan akurat. Ia juga membandingkan dan mengorelasikan Islamofobia dengan fenomena-fenomena lain seperti rasisme, anti-Semitisme, xenofobia, atau homofobia.

Ia juga mengemukakan bahwa Islamofobia adalah sebuah ideologi baru yang dibentuk oleh media generasi baru.

 Halliday menyimpulkan poin-poin utama yang telah dibahas dalam buku ini dan memberikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut tentang Islamofobia. Ia juga memberikan beberapa saran untuk mengatasi Islamofobia, seperti meningkatkan dialog antara Islam dan Barat, mempromosikan pendidikan multikultural, serta melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap umat Muslim.

Halliday mengkritik laporan Runnymede Trust yang merupakan salah satu dokumen penting yang memopulerkan istilah Islamofobia.

Halliday menilai bahwa laporan tersebut memiliki beberapa masalah, seperti menggunakan definisi yang terlalu luas dan kabur, mengabaikan keragaman internal umat Muslim, mengasumsikan bahwa semua umat Muslim adalah korban prasangka, dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor politik, ekonomi, atau sejarah yang memengaruhi hubungan antara Islam dan Barat (Halliday 1999: 895-897).

 

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...

 

            

 

 

 

 

 

Halliday mengkritik buku A Fundamental Fear karya Bobby Sayyid yang merupakan salah satu buku pertama yang mencoba untuk memberikan analisis teoretis tentang Islamofobia.

Halliday menilai bahwa buku tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti menggunakan terminologi yang tidak jelas dan ambigu, mengabaikan perbedaan antara Islamisme dan fundamentalisme, menganggap bahwa semua umat Muslim adalah subjek politik yang aktif, dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosial, budaya, atau psikologis yang memengaruhi sikap terhadap Islam (Halliday 1999: 898-900).

Halliday mengkritik buku The Clash of Civilizations karya Samuel Huntington yang merupakan salah satu buku paling kontroversial yang membahas hubungan antara Islam dan Barat.

Halliday menilai bahwa buku tersebut memiliki beberapa kesalahan, seperti menggunakan konsep peradaban yang tidak ilmiah dan esensialis, mengabaikan dinamika internal dan eksternal masing-masing peradaban, mengasumsikan bahwa peradaban adalah aktor politik yang monolitik dan homogen, dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memengaruhi konflik atau kerja sama antara negara-negara (Halliday 1999: 900-902).

Buku Islamophobia: A Concept Comes of Age karya Brian Klug adalah sebuah buku yang membahas tentang perkembangan konsep dan definisi Islamofobia, yaitu ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap agama Islam atau umat Muslim secara umum. Buku ini merupakan salah satu buku pertama yang mencoba untuk memahami dan mengontekstualisasikan Islamofobia sebagai salah satu bentuk prasangka yang paling berbahaya pada zaman kontemporer. Buku ini terdiri atas satu bab tunggal yang dibagi menjadi enam bagian.

Klug menjelaskan bahwa ia tertarik untuk menulis tentang Islamofobia karena ia merasa bahwa istilah dan konsep tersebut telah disalahgunakan dan disederhanakan oleh banyak orang. Ia juga menjelaskan bahwa ia memiliki pengalaman pribadi sebagai seorang akademisi yang pernah tinggal dan bekerja di berbagai negara Muslim, seperti Iran, Sudan, dan Yaman. Ia mengaku bahwa ia memiliki simpati dan rasa hormat terhadap Islam sebagai agama dan peradaban.

Klug mengulas sejarah perkembangan istilah dan konsep Islamofobia sejak awal abad ke-20 hingga akhir abad ke-21. Ia juga mengulas tentang beberapa buku dan laporan yang membahas tentang Islamofobia, seperti laporan Runnymede Trust pada tahun 1997, buku A Fundamental Fear karya Bobby Sayyid pada tahun 1997, dan buku The Clash of Civilizations karya Samuel Huntington pada tahun 1996.

Ia menunjukkan bahwa buku-buku dan laporan tersebut memiliki kelemahan-kelemahan dalam mendefinisikan dan mengategorisasi Islamofobia.

Klug mengkritik definisi-definisi yang ada tentang Islamofobia dan mencoba untuk merumuskan definisi baru yang lebih komprehensif dan akurat.

Ia juga membandingkan dan mengorelasikan Islamofobia dengan fenomena-fenomena lain, seperti rasisme, anti-Semitisme, xenofobia, atau homofobia. Ia juga mengemukakan bahwa Islamofobia adalah sebuah ideologi baru yang dibentuk oleh media generasi baru.

 

 

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...

 

 

 

 

 

Klug menyimpulkan poin-poin utama yang telah dibahas dalam buku ini dan memberikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut tentang Islamofobia. Ia juga memberikan beberapa saran untuk mengatasi Islamofobia, seperti meningkatkan dialog antara Islam dan Barat, mempromosikan pendidikan multikultural, dan melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap umat Muslim.

Klug mengutip definisi Islamofobia yang diberikan oleh laporan Runnymede Trust sebagai berikut: 'Islamophobia is a shorthand way of referring to dread or hatred of Islam – and, therefore, to fear or dislike of all or most Muslims' (Klug 2012: 667).

Klug menilai bahwa definisi ini terlalu luas dan kabur karena tidak membedakan antara sikap terhadap agama (Islam) dan orang-orang (Muslim), tidak mempertimbangkan konteks sosial atau politik, tidak menjelaskan penyebab atau dampak dari prasangka tersebut, dan tidak memberikan kriteria atau indikator untuk mengidentifikasi atau mengukur prasangka tersebut.

Klug mengutip definisi Islamofobia yang diberikan oleh Bobby Sayyid sebagai berikut: 'Islamophobia is a form of racism that targets expressions of Muslimness or perceived Muslimness' (Klug 2012: 669). Klug menilai bahwa definisi ini lebih baik daripada definisi Runnymede Trust karena menggunakan konsep rasisme sebagai kerangka analisis, membedakan antara identitas Muslim (Muslimness) dan agama Muslim (Islam), dan mempertimbangkan faktor persepsi dalam membentuk prasangka.

Namun, Klug juga menilai bahwa definisi ini masih memiliki beberapa masalah, seperti menggunakan terminologi yang tidak jelas (rasisme, Muslimness) dan tidak menjelaskan hubungan antara rasisme dan agama.

Klug memberikan definisi baru tentang Islamofobia sebagai berikut: 'Islamophobia is a form of social exclusion that targets people and communities who are associated, or identify themselves, with Islam, the religion. It is a form of racism in the sense that it is based on a process of racialization: the construction of a group as a race. It is also a form of racism in the sense that it is based on a process of othering: the construction of a group as an alien 'other'. It is also a form of racism in the sense that it is based on a process of essentialization: the construction of a group as having an unchanging and homogeneous essence. Islamophobia is not simply a form of prejudice or discrimination, but a form of ideology that serves to justify and legitimize social exclusion' (Klug 2012: 674-675).

Klug menilai bahwa definisi ini lebih komprehensif dan akurat daripada definisi-definisi sebelumnya karena menggunakan konsep-konsep teoretis yang relevan (rasialisasi, othering, esensialisasi, ideologi), membedakan antara agama (Islam) dan orang-orang (Muslim), mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan politik, dan menjelaskan penyebab dan dampak dari prasangka tersebut.

 

 

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...

 

 

 

 

 

Artikel Sheridan (2006) membahas tingkat diskriminasi rasial dan agama yang dialami oleh 222 Muslim Inggris sebelum dan sesudah peristiwa 11 September 2001. Penulis menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang pengalaman diskriminasi, kesehatan mental, dan identitas religius.

Hasilnya menunjukkan bahwa setelah 11 September 2001, tingkat diskriminasi implisit atau tidak langsung meningkat sebesar 82,6 persen dan tingkat diskriminasi eksplisit atau langsung meningkat sebesar 76,3 persen.

Artikel ini juga menunjukkan bahwa afiliasi agama mungkin merupakan prediktor prasangka yang lebih berarti daripada ras atau etnis. Skor Kuesioner Kesehatan Umum menunjukkan bahwa 35,6 persen peserta kemungkinan mengalami masalah kesehatan mental, dengan adanya hubungan signifikan antara skor yang menunjukkan masalah dan laporan mengalami insiden pelecehan spesifik yang terkait dengan 11 September oleh peserta.

Artikel ini menekankan bahwa kurangnya penelitian empiris tentang diskriminasi agama dan dampaknya adalah hal yang perlu diperhatikan.

  “Meskipun banyak penelitian akademis telah membahas rasisme, diskriminasi agama telah diabaikan. Penelitian saat ini menyelidiki tingkat diskriminasi rasial dan agama yang dilaporkan sendiri dalam sampel 222 Muslim Inggris. Responden menunjukkan bahwa setelah 11 September 2001, tingkat diskriminasi implisit atau tidak langsung meningkat sebesar 82,6 persen dan pengalaman diskriminasi eksplisit atau langsung meningkat sebesar 76,3 persen. Dengan demikian, karya saat ini menunjukkan bahwa peristiwa dunia utama dapat memengaruhi tidak hanya stereotip kelompok minoritas, tetapi juga prasangka terhadap minoritas.” (Sheridan, 2006: 317)

“Kuesioner dikirimkan kepada semua anggota Asosiasi Muslim Inggris (IMA) yang memiliki alamat pos di Inggris. IMA adalah organisasi sukarela yang didirikan pada tahun 1989 untuk mewakili kepentingan Muslim Inggris dalam hal sosial, politik, ekonomi, dan budaya. IMA memiliki sekitar 2.000 anggota dari berbagai latar belakang etnis dan denominasi Islam. Kuesioner dikirimkan pada bulan Januari 2002 dan dikembalikan pada bulan Maret 2002. Tingkat respons adalah 11,1 persen, dengan total 222 kuesioner yang dikembalikan.” (Sheridan, 2006: 320).

Bagian di mana penulis menjelaskan hasil penelitian ini sebagai berikut: “Hasil analisis varians satu arah menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat diskriminasi rasial dan agama sebelum dan sesudah 11 September (F(1,221) = 8.02, p < .01). Rata-rata tingkat diskriminasi rasial sebelum 11 September adalah 1.74 (SD = .80), sedangkan rata-rata tingkat diskriminasi rasial setelah 11 September adalah 2.01 (SD = .86).

Rata-rata tingkat diskriminasi agama sebelum 11 September adalah 1.81 (SD = .83), sedangkan rata-rata tingkat diskriminasi agama setelah 11 September adalah 2.29 (SD = .92). Ini menunjukkan bahwa setelah 11 September, responden melaporkan peningkatan pengalaman diskriminasi rasial sebesar 15,5 persen dan peningkatan pengalaman diskriminasi agama sebesar 26,5 persen.” (Sheridan, 2006: 323).

 

Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...

 

            

 

 

 

 

 

 

Tulisan Bar (2008: 11-20) adalah sebuah tulisan yang membahas motivasi dan ideologi agama yang mendasari terorisme Islam.

Tulisan ini mengeklaim bahwa terorisme Islam tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep jihad, syariat, dan khilafah. Tulisan ini juga mengkritik pandangan-pandangan yang menganggap bahwa terorisme Islam disebabkan oleh faktor-faktor politik, sosial, atau ekonomi semata.

Bar menjelaskan tentang konsep syariat sebagai hukum Allah yang harus ditaati oleh semua umat Muslim. Bar menulis: “Syariat is the law of God as revealed to the Prophet Muhammad and as interpreted by the jurists (fuqaha) of the various schools of Islamic law (madhahib). It covers all aspects of life, from itual obligations to personal status, criminal law, and public law. It is considered to be the ideal law for mankind and the expression of God’s will and justice. Therefore, it is incumbent upon all Muslims to abide by it and to strive for its implementation in their societies.” (Bar 2008: 13)

Bar menjelaskan tentang konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang ideal.

Bar menulis: “Khilafah is the term used to denote the Islamic state or polity that is headed by a caliph (khalifah), who is the successor (khalifat rasul Allah) of the Prophet Muhammad and the leader (imam) of the Muslim community (ummah). The caliph is supposed to rule according to the syariat and to protect and expand the domain of Islam (dar al-Islam) against the domain of war (dar al-harb), where non-Muslims live. The caliphate is considered to be the only legitimate form of government for Muslims and the restoration of the caliphate is a common aspiration among many Islamist movements.” (Bar 2008: 14)

Bar menjelaskan konsep jihad sebagai perjuangan melawan musuh-musuh Islam. Bar menulis: “Jihad is derived from the root j-h-d, which means to strive or to exert oneself. In Islamic terminology, it means to strive in the way of God (fi sabil Allah) or to fight for the cause of Islam. Jihad can be divided into two types: greater jihad (jihad al-akbar), which is the spiritual struggle against one’s own ego and passions; and lesser jihad (jihad al-asghar), which is the armed struggle against the enemies of Islam. The latter can be further divided into defensive jihad, which is obligatory for all Muslims when their lands are attacked or threatened by non-Muslims; and offensive jihad, which is obligatory for the Muslim state or community to wage against non-Muslims in order to spread Islam or to subjugate them under Islamic rule.” (Bar 2008: 15)

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler