Banyak Sarjana Barat yang Tetap Mengakui Kemuliaan Rasulullah SAW Meski Beliau Dinista
Kemuliaan Rasulullah SAW sebenarnya tidak terbantahkan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Penistaan tehadap Nabi Muhammad SAW tidak pernah berhenti. Ada banyak pihak yang sengaja mendegradasi kemulian Rasulullah SAW.
Dalam tradisi Islam Nabi Muhammad SAW, dipandang sebagai figur meta-historis. Minimal ada tiga metode pengukuhan kemetahistorisannya.
Pertama, seseorang baru berlabel Muslim bila ia, tak hanya mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi juga Muhammad sebagai Rasulullah (utusan Allah). Artinya, kesadaran kemuhammadan merupakan kesadaran Islam itu sendiri.
Tidak aneh bila oknum-oknum yang mencoba menistakan Islam berupaya meluluh-lantakkan, meruntuhkan citra luhur Nabi Muhammad. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad adalah penghinaan terhadap Islam karena menyangkut kesadaran diri (self consciousness) kaum Muslim.
Kedua, Nabi Muhammad SAW adalah model ideal hamba Allah SWT, manusia paripurna, manusia-teomorfis, teladan (uswah), di mana tiap Muslim mengiblatkan keteladanan moral (akhlak) padanya.
Ketiga, kesadaran kemuhammadan dipertajam dengan konsep shalawat. Tiap nama Muhammad disebut maka dianjurkan membaca shalawat "Allahumma shalli 'ala muhammad wa 'alli Muhammad". Bahkan, Imam Syafi'i berkata, "Tidak sempurna sholat tanpa shalawat bagimu." Nama Muhammad pun adalah bagian integral dari shalat, mulai dari adzan, iqamat, dan bacaan wajib sholat.
Baca juga: 10 Makanan yang Diharamkan dalam Islam dan Dalil Larangannya
Lalu, bagaimana Barat memandang Nabi Muhammad? Nurcholish Madjid menjelaskan, sejumlah intelektual Barat, mengutip Maxim Rodinson, sekalipun mungkin tidak suka kepada Nabi Muhammad SAW, tidak jarang masih menunjukkan kekaguman kepada Nabi kaum Muslim ini. Comte de Boulainvilliers menyanjung Nabi sebagai pemikir bebas (freethinker, vrijdender), pencipta agama rasional.
Voltaire menggunakan nama Nabi Muhammad sebagai senjata melawan agama Kristen dengan mengatakan kalaupun Nabi itu adalah pendusta, ia berhasil memimpin rakyatnya melakukan penaklukan agung dengan bantuan cerita-cerita khayalan.
Baca juga: Jangan Lelah Bertobat kepada Allah SWT, Begini Pesan Rasulullah SAW
Radinson pada abad ke-18 memandang Nabi Muhammad sebagai pengajar agama alami, wajar, dan masuk akal (rasional), yang jauh terbebaskan dari kegilaan salib. Thomas Carlyle menempatkan pribadi Nabi Muhammad dalam deretan pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan cahaya Ilahi.
Hubert Grimme, akhir abad ke-19, memandang Nabi Muhammad sebagai sosialis yang sukses melakukan reformasi fiskal dan sosial dengan mitologi yang sangat minim.
Goethe, sastrawan besar Jerman, mempersembahkan syair yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang jenius yang bagaikan sungai besar.
Sungai itu dan cabang-cabangnya meminta bimbingannya untuk mencapai lautan yang sedang menunggu. Agung, penuh kemenangan, dan tak terkalahkan, Nabi memimpin mereka maju terus.