Anggur Nabidz dan Bukti Lemahnya Self Declare Halal BPJPH
BPJH seolah menganggap enteng perkara halal-haram.
Oleh : Eko Supriyadi, Redaktur Medsos Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa pekan terakhir publik dihebohkan oleh salah seorang reseller Anggur Nabidz. Ia menyatakan kalau Nabidz merupakan wine halal.
Seketika warganet pun heboh. Pro kontra terjadi lantaran heran, kok bisa produk dengan embel-embel wine bisa lolos label halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Padahal, saat label halal masih dipegang Majelis Ulama Indonesia, nama-nama produk yang terafiliasi atau sama dengan produk-produk haram tidak bisa mendapatkan label halal.
Tapi, dengan program self declare ini, BPJH tidak menguji apakah suatu prodok benar-benar halal atau tidak. Ini baru soal nama, yang ternyata ada nama-nama produk yang dianggap tidak layak mendapatkan label halal.
Lalu bagaimana dengan kehalalal produk itu sendiri? Malah lebih berisiko. Belajar dari kasus Nabidz, self declare ternyata masih memiliki kelemahan akurasi dan kejujuran soal kehalalan sebuah produk.
Halal Corner pun mengajukan uji laboratorium terhadap produk tersebut kepada BPJPH. Faktanya mengejutkan, hasil uji lab produk jus buah tersebut mengindikasikan minuman tersebut mengandung etanol 8,84 persen atau hampir 9 persen.
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.86/Menkes/Per/IV/77, minuman beralkohol dikategorikan sebagai minuman keras dan dibagi menjadi tiga golongan. Minuman dengan kadar etanol 1 sampai 5 persen dikategorikan sebagai minuman keras golongan A, minuman dengan kadar etanol lebih dari 5 persen sampai dengan 30 persen tergolong minuman keras golongan B, sedangkan minuman dengan kadar etanol golongan C mengandung etanol lebih dari 20 persen sampai dengan 55 persen.
Hasil uji lab ini membuktikan betapa berbahayanya skema self declare halal, jika tidak dibarengi dengan pengujian secara faktual. Bagaimana kemudian jika anggur Nabidz ini dianggap halal, kemudian dikonsumsi oleh umat Islam. Bahkan ada foto beredar yang menunjukan seorang anak baru saja mengonsumsi Nabidz.
BPJH anggap enteng perkara halal haram ...
Aisha Maharani, founder Halal Corner, menyatakan kalau hal pertama yang menjadi perhatian adalah perihal pendidikan dari pendamping proses produk halal (PPH). Untuk mengisi posisi tersebut, syarat pendidikan minimalnya adalah sekolah menengah atas (SMA) dari berbagai jurusan.
Setelah itu, mereka yang mendaftar di posisi tersebut akan mendapatkan pelatihan selama tiga hari. Usai pelatihan, mereka akan mendapatkan sertifikat pendamping PPH dan sudah bisa melaksanakan tugasnya.
Dari sini terlihat bahwa BPJH seolah menganggap enteng perkara halal-haram sebuah produk. Sudah syarat pendidikannya cukup SMA, pelatihannya pun hanya tiga hari.
Bagaimana mungkin mereka yang tidak ahli di bidangnya kemudian menjadi pendamping untuk sesuatu yang krusial. Aisha mengakui kalau dirinya harus belajar bertahun-tahun untuk menjadi konsultan halal.
BPJPH harus belajar dari kasus Nabidz. Evaluasi total harus dilakukan jika ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kini sudah ada desakan di media sosial untuk mengembalikan kewenangan pemberian label halal ke MUI lagi. Di sisi lain, BPJPH pun tidak bersuara atas hebohnya kasus Nabidz.