Kurs Rupiah Stagnan, Pasar Dinilai Masih Tunggu Data Inflasi AS

Terdapat kekhawatiran investor terhadap pemulihan ekonomi China yang tidak pasti.

ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas menunjukkan uang pecahan rupiah dan dolar AS.
Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova mengatakan nilai tukar rupiah bergerak stagnan pada penutupan perdagangan Jumat (8/9/2023) karena kekhawatiran investor terhadap pemulihan ekonomi China yang tidak pasti. Selain itu, mereka juga menunggu rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).

Baca Juga


“Data inflasi AS akan dirilis pekan depan, di mana akan menjadi acuan arah kebijakan suku bunga The Fed,” ujar dia, Jumat (8/9/2023).

Pada penutupan perdagangan hari ini mata uang rupiah bergerak stagnan pada Rp 15.328 per dolar AS, sama dengan level penutupan sesi sebelumnya sebesar Rp 15.328 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat melemah ke posisi Rp 15.341 dari sebelumnya Rp 15.334 per dolar AS.

Rully menyatakan nilai tukar rupiah yang stagnan atau melemah turut dipengaruhi data jobless claims (klaim pengangguran) AS yang lebih kecil dari perkiraan. Klaim tunjangan pengangguran awal AS turun 13 ribu menjadi 216 ribu pada pekan yang berakhir pada Sabtu (2/9), mencapai level terendah sejak pertengahan Februari 2023. Klaim tersebut telah menurun selama empat minggu berturut-turut.

“Kenaikan indeks dolar AS (turut membuat rupiah melemah atau stagnan) karena kekhawatiran pelaku pasar atas kebijakan suku bunga The Fed yang tinggi dan lebih lama,” ucapnya.

Sementara itu, pelemahan ekonomi China masih terus berlanjut yang tergambar dari data ekspor dan impor negara tersebut masih negatif. Meninjau dari keadaan dalam negeri, cadangan devisa Indonesia turun menjadi 137,1 miliar dolar AS pada Agustus 2023 dibandingkan dengan posisi pada Juli 2023 yang sebesar 137,7 miliar dolar AS.

Menurut Senior Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto, tekanan terhadap rupiah dalam jangka menengah masih akan tetap tinggi. “Ini dipengaruhi oleh risk-off sentimen terhadap emerging market,” kata Rully.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler