4 Monumen Peringatan Genosida Rwanda Ditetapkan Jadi Situs Warisan Dunia
Genosida Rwanda terjadi pada April hingga Juli 1994.
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) telah menetapkan empat monumen peringatan genosida di Rwanda sebagai Situs Warisan Dunia. Hal itu diumumkan pada sesi Komite Warisan Dunia UNESCO yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, Rabu (20/9/2023).
Keempat monumen genosida Rwanda yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia adalah, Kigali Genocide Memorial, Murambi Genocide Memorial Center, Nyamata Genocide Memorial, dan the Bisesero Genocide Memorial.
“Pencantuman bersejarah situs Bisesero, Gisozi, Murambi, dan Nyamata dalam Daftar Warisan Dunia meningkatkan visibilitas internasional dan juga menghormati kenangan para korban yang mereka wakili di seluruh dunia. Pengakuan ini memperkuat perjuangan melawan penolakan genosida dan akan mendidik generasi sekarang dan masa depan,” kata Menteri Persatuan Nasional dan Keterlibatan Sipil Rwanda Jean-Damascene Bizimana, dikutip Anadolu Agency.
Menurut para penyintas, keempat monumen peringatan genosida yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO memiliki karakteristik berbeda. Namun seluruhnya menunjukkan betapa kejamnya pembantaian korban genosida.
Situs peringatan Kigali, yang merupakan situs utama di Rwanda, menampung sisa-sisa jasad 250 ribu korban genosida yang ditemukan di jalanan, rumah, dan kuburan massal di Kigali serta sekitarnya.
Di gereja Nyamata di Rwanda timur, selatan Kigali, sekitar 45 ribu orang yang mencari perlindungan di sana dibantai dalam satu hari. Menurut UNESCO bangunan itu diubah menjadi monumen peringatan gereja-gereja lain di mana para korban genosida tewas.
Sementara itu, monumen Bisesero memperingati perlawanan yang dilakukan dengan senjata tradisional termasuk tombak, parang, dan tongkat Tutsi terhadap pelaku genosida.
Philbert Gakwenzire, ketua Ibuka, sebuah organisasi payung penghubung kelompok-kelompok yang membantu para penyintas genosida, mengatakan penetapan empat monumen peringatan genosida Rwanda sebagai Situs Warisan Dunia akan membantu meningkatkan pelestarian situs-situs terkait. Hal itu pun akan meningkatkan kunjungan ke keempat monumen tersebut agar masyarakat memahami bahaya genosida.
Sejarah Genosida Rwanda
Genosida Rwanda terjadi pada April hingga Juli 1994. Periode tersebut dikenal sebagai Perang Saudara Rwanda. Akar permasalahan yang memicu genosida berawal pada awal 1990-an. Ketika itu presiden Juvenal Habyarimana, seorang Hutu, mulai menggunakan retorika anti-Tutsi guna mengkonsolidasikan kekuasaannya sendiri di antara masyarakat Hutu.
Kendati suku Hutu dan Tutsi memiliki kesamaan dalam bahasa dan budaya sejak berabad-abad silam, hukum diperlukan untuk melakukan pendaftaran berdasarkan etnis.
Saat itu pemerintah dan tentara mulai menyusun Interahamwe, artinya orang-orang yang menyerang atau berdiri bersama. Mereka bersiap melakukan penghapusan Tutsi dengan cara mempersenjatai masyarakat Hutu dengan senjata dan parang.
Pembantaian besar-besaran...
Pada Januari 1994, PBB sempat memperingatkan bahwa pembantaian besar-besaran akan terjadi di Rwanda. Hal itu terbukti tak lama kemudian. Masyarakat Hutu mulai membantai masyarakat Tutsi.
Jumlah masyarakat Tutsi yang dibunuh dilaporkan mencapai 800 ribu orang. Kelompok Hutu moderat juga turut menjadi korban pembantaian kala itu.
Prancis akui keterlibatan
Pada Mei 2021, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengakui negaranya berperan atau terlibat dalam genosida Rwanda. Dia mengharapkan permintaan maaf dari para korban.
"Hanya mereka yang melewati malam itu yang mungkin bisa memaafkan, dan dengan melakukan itu memberikan hadiah pengampunan," kata Macron pada peringatan genosida Gisozi pada 27 Mei 2021 lalu. Sekitar 250 ribu orang tewas dalam peristiwa yang terjadi pada 1994 tersebut.
Macron mengatakan dia berdiri dengan rendah hati dan hormat dengan rakyat Rwanda. “Saya menyadari sejauh mana tanggung jawab kami,” ucapnya.
Presiden Rwanda Paul Kagame menyambut baik pidato Macron. Dalam konferensi pers bersama, Kagame mengatakan pernyataan Macron lebih kuat dari permintaan maaf.
Dia menyebut Rwanda siap mengatur ulang hubungan negaranya dengan Prancis. “Kunjungan (Macron) ini adalah tentang masa depan, bukan masa lalu. Saya ingin percaya hari ini bahwa pemulihan hubungan ini tak dapat diubah,” kata Kagame kala itu.
Pada Maret 2021, panel penyelidikan Prancis menerbitkan laporan yang menyebut sikap kolonial membutakan para pejabat Prancis dan pemerintah memikul tanggung jawab luar biasa karena tidak meramalkan pembantaian Gisozi.
Laporan tersebut membebaskan Prancis dari keterlibatan langsung dalam pembunuhan lebih dari 800 ribu Tutsi dan Hutu moderat. Pada April 2021, Macron, yang mencoba menjauhkan Prancis dari masa kolonialnya, setuju membuka arsip Rwanda mantan presiden Francois Mitterrand, yang menjabat selama genosida Rwanda berlangsung.
Tak lama kemudian, Rwanda merilis laporannya sendiri yang menemukan bahwa Prancis menyadari genosida sedang dipersiapkan. Prancis memikul tanggung jawab untuk memungkinkannya, melanjutkan dukungannya yang tak tergoyahkan kepada presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana.
"Pejabat Prancis mempersenjatai, menasihati, melatih, melengkapi, dan melindungi pemerintah Rwanda," kata laporan itu seraya menyebut bahwa Prancis menutupi perannya selama bertahun-tahun.