Armenia Tuduh Rusia Berperan dalam Kemenangan Azerbaijan di Nagorno Karabakh

Azerbaijan merebut Karabakh dari Armenia dalam serangan kilat pekan lalu.

Roman Ismailov/Azerbaijan State
Perwakilan komunitas Armenia di Nagorno-Karabakh, pemerintah Azerbaijan dan perwakilan kontingen penjaga perdamaian Rusia menghadiri pembicaraan di kota Yevlakh, Azerbaijan, Kamis, 21 September 2023.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Pemerintah Rusia gusar atas tuduhan Armenia yang menyebutnya berperan dalam kemenangan Azerbaijan dalam pertempuran terbaru di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Moskow mengatakan, Yerevan harus memikul kesalahannya sendiri karena justru merapat ke Barat daripada bekerja sama dengan Moskow dan Baku untuk menyelesaikan krisis di Nagorno-Karabakh.

Baca Juga


Dalam sebuah pidato pada Ahad (24/9/2023) lalu, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengungkapkan bahwa Rusia telah mengecewakan negaranya karena tidak memberikan lebih banyak bantuan untuk mencegah krisis di Nagorno-Karabakh. Pashinyan kemudian menyampaikan bahwa ia harus mengubah aliansi keamanan Armenia.

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rusia segera membalas dengan keras pernyataan Pashinyan tersebut. Moskow mengatakan, Pashinyan berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab atas kegagalan kebijakan dalam dan luar negeri Armenia dengan menyalahkan Rusia.

Menurut Moskow, Pashinyan menghindari kerja sama dengan Rusia serta Azerbaijan untuk menyelesaikan krisis di Nagorno-Karabakh, dan malah berpaling ke Barat. “Kami yakin bahwa kepemimpinan Yerevan membuat kesalahan besar dengan sengaja mencoba menghancurkan hubungan multi-aspek Armenia dengan Rusia yang telah terjalin selama berabad-abad dan menjadikan negara itu sebagai sandera permainan geopolitik Barat,” kata Kemenlu Rusia dalam pernyataannya, Senin (25/9/2023).

Kemenlu Rusia menilai, pernyataan Pashinyan tentang transformasi aliansi menunjukkan bahwa ia bersiap untuk beralih dari aliansi Armenia dengan Moskow ke arah Barat. Dalam pernyataannya, Kemenlu Rusia juga membantah terlibat dalam gelombang demonstrasi di Armenia yang menyerukan pengunduran diri Pashinyan terkait kegagalannya mempertahankan wilayah di Nagorno-Karabakh.

Rusia menekankan, Moskow tak pernah mengobarkan revolusi di negara lain. Hal demikian, kata Rusia, biasanya justru dilakukan oleh Barat. “Kepala pemerintahan Armenia harus menyadari bahwa Moskow tidak terlibat dalam hal-hal seperti itu, tidak seperti Barat yang cukup mahir dalam mengorganisir ‘revolusi warna’,” ungkap Kemenlu Rusia.

Rusia diketahui menyalahkan Amerika Serikat (AS) yang memicu apa yang disebut revolusi warna di beberapa republik pasca-Soviet termasuk Ukraina.

Sementara itu, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan dan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev diagendakan mengadakan pertemuan di Spanyol bulan depan. Mereka bakal membahas tentang eskalasi terbaru di wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan kedua negara.

Dilaporkan laman Euronews, Dewan Keamanan Armenia, pada Ahad (24/9/2023) mengungkapkan, pertemuan antara Pashinyan dan Aliyev akan digelar di kota Granada, 5 Oktober 2023 mendatang. Pertemuan mereka bakal turut dihadiri Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan Ketua Dewan Eropa Charles Michel.

Prancis, Jerman, dan Uni Eropa telah menjadi pemain kunci dalam upaya penyelesaian konflik di Nagorno-Karabakh yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Secara internasional, wilayah tersebut diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Namun selama tiga dekade terakhir, pemerintahan di Nagorno-Karabakh dijalankan oleh kelompok separatis Armenia.

Pada 19 September 2023 lalu, Azerbaijan melancarkan operasi militer terbaru ke wilayah Nagorno-Karabakh. Mereka menyebut operasi itu sebagai operasi “anti-teroris”. Tujuan operasi adalah memukul pasukan etnis Armenia yang mengontrol wilayah tersebut. Menurut Armenia, lebih dari 200 orang tewas dan 400 lainnya mengalami luka-luka dalam operasi militer Azerbaijan.

Pemerintah Azerbaijan mengatakan bersedia melakukan pertemuan dengan pasukan etnis Armenia yang mengontrol wilayah sengketa Nagorno-Karabakh. Namun Azerbaijan meminta mereka terlebih dulu meletakkan senjata dan menyerah. “Untuk menghentikan tindakan anti-teroris, angkatan bersenjata ilegal Armenia harus mengibarkan bendera putih, menyerahkan semua senjata, dan rezim ilegal harus membubarkan diri,” kata Kantor Kepresidenan Azerbaijan dalam sebuah pernyataan, 19 September 2023 lalu.

Pasukan etnis Armenia setuju untuk melucuti senjata mereka berdasarkan ketentuan gencatan senjata yang dicapai pada 20 September 2023 lalu. Rusia, yang memiliki 2.000 pasukan penjaga perdamaian di Nagorno-Karabakh mengatakan, berdasarkan ketentuan gencatan senjata, enam kendaraan lapis baja, lebih dari 800 senjata ringan, senjata anti-tank dan sistem pertahanan udara portabel, serta 22 ribu butir amunisi telah diserahkan pada Sabtu (23/9/2023).

Pada 2020 lalu, Azerbaijan dan Armenia terlibat pertempuran sengit di Nagorno-Karabakh. Konfrontasi berlangsung selama 44 hari dan memakan korban lebih dari 6.500 jiwa. Rusia menjadi pihak yang berhasil mendorong kedua negara menyepakati gencatan senjata. Berdasarkan perjanjian, 2.000 tentara penjaga perdamaian Rusia dikerahkan ke wilayah tersebut.

Azerbaijan memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Hal itu karena Armenia setuju menyerahkan beberapa bagian wilayah di Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler