Setelah Tiga Dekade, Etnis Armenia Kembali Melarikan Diri

Banyak penduduk etnis Armenia mengungsi karena ketakutan

EPA-EFE/NAREK ALEKSANYAN
Warga etnis Armenia dari Nagorno-Karabakh tiba di pusat pendaftaran Kementerian Luar Negeri Armenia, dekat kota perbatasan Kornidzor, Armenia, (25/9/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Untuk kedua kali dalam hidupnya, Samvel Alaverdyan melarikan diri dari Azerbaijan. Lahir dari keluarga etnis Armenia di ibu kota Baku, Alaverdyan pertama kali meninggalkan negaranya saat masih anak-anak pada 1989, ketika kekerasan terjadi antara suku Azeri dan Armenia di wilayah Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri.

Kini Alaverdyan kembali melarikan diri dari Karabakh, tempat Azerbaijan melancarkan serangan kilat pekan lalu untuk mengakhiri tiga dekade kemerdekaan de facto bagi 120 ribu etnis Armenia yang tinggal di sana.  Banyak penduduk kini mengungsi karena ketakutan. Penduduk  mengumpulkan barang-barang mereka di dalam kantong plastik dan menaiki mobil serta bus yang menghalangi satu-satunya jalan dari Karabakh ke Armenia.

“Ini mimpi buruk,” kata Alaverdyan, sambil duduk bersama istrinya Monika, putranya Hayk yang berusia 21 tahun, dan mertuanya di luar sebuah teater di kota perbatasan Goris di Armenia yang menjadi tempat pemrosesan utama bagi para pengungsi.

Alaverdyan yang merupakan mantan polisi berusia 45 tahun itu, mengaku bekerja sebagai warga sipil di pangkalan militer Armenia Karabakh. Dia salah satu orang Armenia pertama yang melarikan diri dari ibu kota Karabakh, Stepanakert, atau yang disebut Khankendi oleh suku Azeri.

Pada 1989, Alaverdyan dan keluarganya melarikan diri ke ibu kota Armenia, Yerevan, dari Baku, yang saat itu merupakan kota multinasional Soviet dengan minoritas Armenia yang besar, setelah pogrom anti-Armenia di kota terdekat Sumgait. Tetangga suku Azeri mengantar keluarga tersebut ke perbatasan untuk melindungi mereka.

“Mereka orang-orang baik,” kata Alaverdyan.

Para tetangga juga mengirimkan harta benda mereka, dan Alaverdyan serta keluarganya pindah ke Karabakh.  Kali ini, Alaverdyan kehilangan segalanya.

Di Stepanakert, keluarga Alaverdyan tinggal di sebuah rumah pribadi dengan empat kamar.  Hal ini membantu mereka bertahan dari kekurangan pangan cukup parah yang melanda Karabakh selama sembilan bulan blokade Azerbaijan, yang dimulai Desember lalu.

“Saya pergi ke Stepanakert, saya tinggal di sana, menikah, mulai membangun rumah. Sekarang saya menjadi pengungsi lagi,” kata Alaverdyan.

“Yang kami bawa hanyalah mantel,” ujar istri Alaverdyan, Monika, yang merupakan seorang akuntan, sambil duduk di trotoar di samping kantong selimut yang dibagikan oleh para relawan.

Keluarga tersebut meninggalkan Stepanakert pada Ahad (24/9/2023) dengan menggunakan kendaraan Nissan. Mereka melarikan diri setelah mendengar bahwa ada rombongan yang meninggalkan kota. Kini mereka berencana pindah ke Kota Charentsavan, dekat Yerevan. Mereka mempunyai kerabat di kota itu.

Baca Juga


Melewati penjaga perbatasan Azerbaijan saat keluar adalah sebuah risiko. Alaverdyan memiliki pengalaman militer sebelumnya dengan pasukan Karabakh. Sementara putranya, Hayk bertugas di tentara Armenia Karabakh hingga minggu lalu.

"Kami mengambil pertaruhan besar," kata Alaverdyan.

Warga Armenia menyalahkan Rusia...



Monika mengatakan penjaga perbatasan Azerbaijan mengidentifikasi Hayk sebagai seorang tentara di pos pemeriksaan. Tetapi membiarkan mereka lewat setelah memeriksa senjata di mobil. Ketika ditanya siapa yang mereka yakini bertanggung jawab atas bencana tersebut, keluarga tersebut mengatakan, Rusia bertanggung jawab atas kekacauan ini.

“Saya tidak banyak bicara tentang Azeri. Banyak yang ingin saya katakan tentang Rusia," kata Monika.

Alaverdyan dan Monika menyalahkan tindakan kontingen penjaga perdamaian Rusia, dengan jumlah 2.000 orang yang dikerahkan ke Karabakh setelah perang antara Azerbaijan dan Armenia pada 2020. Mereka mengatakan, sebelum konflik, mereka mempunyai perasaan hangat terhadap Rusia dan pernah belajar di sekolah berbahasa Rusia.

Alaverdyan dan Monika mengatakan, Rusia meminta suap untuk membawa warga sipil keluar dari Karabakh selama blokade. Namun pernyataan tersebut yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

“Tentu saja itu salah mereka (Rusia). Ketika mereka datang pada 2020, kami pikir mereka akan melindungi kami," ujar Monika.

Orang-orang Armenia yang beragama Kristen secara historis mengandalkan Moskow untuk melindungi mereka dari tetangga mereka yang sebagian besar beragama Islam dan Turki. Pada Senin (25/9/2023), juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan, Rusia masih menganggap Armenia sebagai sekutunya. Tetapi Peskov menolak upaya Armenia untuk menyalahkan Moskow atas situasi di Karabakh.

"Rusia akan berupaya memastikan hak-hak etnis Armenia di Karabakh dihormati," ujar Peskov.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler