Kurangnya Pasokan Listrik Ancam Kehidupan Bayi Prematur di Gaza

50.000 wanita hamil di Gaza tak dapat mengakses layanan kesehatan penting.

AP Photo
Seorang bayi di Jalur Gaza menjalani operasi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, DEIR AL BALAH -- Seorang bayi prematur menggeliat di dalam inkubator kaca di bangsal neonatal Rumah Sakit al-Aqsa di Jalur Gaza tengah. Dia menangis saat saluran infus terhubung ke tubuh mungilnya. 

Baca Juga


Sebuah ventilator membantunya bernapas saat kateter memberikan obat dan monitor menunjukkan tanda-tanda vitalnya yang rapuh. Hidup bayi prematur itu bergantung pada aliran listrik yang konstan. Aliran listrik terancam habis dalam waktu dekat kecuali rumah sakit bisa mendapatkan lebih banyak bahan bakar untuk generatornya. 

Direktur rumah sakit, Iyad Abu Zahar khawatir jika listrik berhenti menyala, bayi-bayi di bangsal neonatal itu yang tidak dapat bernapas sendiri, dan mereka akan binasa. “Tanggung jawab kami sangat besar,” kata Abu Zahar.

Abu Zahar khawatir berapa lama fasilitasnya bisa bertahan. “Jika generator mati, yang kami perkirakan dalam beberapa jam mendatang karena banyaknya permintaan dari berbagai departemen di rumah sakit, inkubator di unit perawatan intensif akan berada dalam situasi yang sangat kritis,” kata Abu Zahar.

Para dokter yang merawat bayi prematur di seluruh Gaza juga bergulat dengan ketakutan serupa.  Setidaknya 130 bayi prematur berada pada risiko besar di enam unit neonatal, kata pekerja bantuan. 

Kekurangan bahan bakar yang berbahaya ini disebabkan oleh blokade Israel terhadap Gaza, yang dimulai bersamaan dengan serangan udara, setelah kelompok perlawanan Palestina Hamas menyerang kota-kota Israel pada 7 Oktober.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 50.000 wanita hamil di Gaza tidak dapat mengakses layanan kesehatan penting, dan sekitar 5.500 akan melahirkan dalam bulan mendatang. Setidaknya tujuh dari hampir 30 rumah sakit terpaksa ditutup karena kerusakan akibat serangan Israel yang tiada henti serta kurangnya listrik, air, dan pasokan lainnya. 

Para dokter di rumah sakit lainnya mengatakan mereka berada di ambang krisis. Sementara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina pada Ahad (22/10/2023) mengatakan, mereka memiliki cukup bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan penting selama tiga hari.

“Dunia tidak bisa hanya melihat bayi-bayi ini terbunuh akibat pengepungan di Gaza. Kegagalan untuk bertindak berarti menghukum mati bayi-bayi ini,” kata Melanie Ward, kepala eksekutif kelompok bantuan Bantuan Medis untuk Palestina.

Tak satu pun dari 20 truk bantuan yang menyeberang ke Gaza pada Sabtu (21/10/2023) membawa muatan bahan bakar. Persediaan bahan bakar yang terbatas di Gaza dikirim ke generator rumah sakit.

Tujuh tanker mengambil bahan bakar dari depot PBB di sisi perbatasan Gaza, namun tidak diketahui apakah tanki itu ada yang ditujukan untuk rumah sakit. Juru bicara WHO, Tarik Jašarević mengatakan, 150.000 liter (40.000 galon) bahan bakar diperlukan untuk memberikan layanan dasar di lima rumah sakit utama di Gaza.

Koordinator medis untuk Doctors Without Borders di wilayah Palestina, Guillemette Thomas mengatakan, beberapa bayi bisa meninggal dalam beberapa jam. Sementara beberapa lainnya dapat meninggal dalam beberapa hari, jika mereka tidak menerima perawatan khusus dan pengobatan yang sangat mereka perlukan.

“Pastinya bayi-bayi ini berada dalam bahaya. Merawat bayi-bayi ini merupakan keadaan darurat yang nyata, sama halnya dengan keadaan darurat untuk merawat penduduk Gaza yang menderita akibat pemboman ini sejak dua minggu terakhir," ujar Thomas.

Thomas mengatakan,  Rumah Sakit al-Aqsa  harus merawat pasien di Gaza utara dan tengah sejak beberapa rumah sakit lainnya ditutup, sehingga memaksa rumah sakit tersebut untuk melipatgandakan kapasitas pasiennya.  Hal ini juga membebani keterbatasan listrik.

Thomas mengatakan, banyak wanita yang telah melahirkan di sekolah-sekolah yang dikelola PBB. Sekolah itu menjadi tempat penampungan sementara bagi puluhan ribu pengungsi yang mencari perlindungan.

“Para wanita ini berada dalam bahaya, dan bayi-bayi mereka juga berada dalam bahaya saat ini. Itu adalah situasi yang sangat kritis," ujar Thomas.

Nisma al-Ayubi membawa putrinya yang baru lahir ke Rumah Sakit al-Aqsa dari Nuseirat, tempat dia baru-baru ini mengungsi dari Gaza utara, setelah dia menderita kekurangan oksigen dan rasa sakit yang luar biasa. Bayi perempuan itu lahir tiga hari lalu tetapi mengalami komplikasi. 

"Rumah sakit kekurangan persediaan. Kami khawatir jika situasinya memburuk, tidak akan ada lagi obat yang bisa menyembuhkan anak-anak kami," ujar al-Ayubi.

Masalah ini diperparah dengan banyaknya air kotor yang terpaksa digunakan sejak Israel memutus pasokan air.  Abu Zahar menyatakan, para ibu mencampurkan susu formula dengan air yang terkontaminasi untuk memberi makan bayi mereka. Hal ini berkontribusi pada peningkatan kasus kritis di bangsal.

Di Rumah Sakit al-Awda, sebuah fasilitas swasta di Jabalia utara, hingga 50 bayi dilahirkan hampir setiap hari. Direktur rumah sakit, Ahmed Muhanna mengatakan, rumah sakit tersebut menerima perintah evakuasi dari militer Israel, namun mereka menolak dan tetap beroperasi.

“Situasinya tragis dalam segala hal. Kami mencatat defisit besar pada obat-obatan darurat dan anestesi, serta pasokan medis lainnya," ujar Muhanna.

Untuk menjatah persediaan yang semakin menipis, Muhanna mengatakan, semua operasi yang dijadwalkan telah dihentikan. Rumah sakit mengerahkan seluruh sumber daya untuk keadaan darurat dan persalinan. Sementara kasus neonatal yang kompleks dikirim ke Rumah Sakit al-Aqsa.

Al-Awda memiliki bahan bakar yang cukup untuk bertahan paling lama empat hari. “Kami telah mengimbau banyak lembaga internasional, Organisasi Kesehatan Dunia, untuk memasok bahan bakar ke rumah sakit, tetapi sejauh ini tidak berhasil,” kata Muhanna.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler