Negara-Negara Berkembang Ini Berani Menarik Dukungan Hingga Putus Hubungan dengan Israel
Beberapa negara Amerika Latin telah mengambil sikap tegas dalam mendukung Palestina
REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Israel dibuat meradang oleh beberapa negara yang bersuara keras atas serangan ke Gaza sejak 7 Oktober 2023. Beberapa negara Amerika Latin telah mengambil sikap tegas dalam mendukung Palestina dengan memutuskan hubungan diplomatik atau mengutuk keras dengan pemanggilan duta besar.
Bolivia, Cile, dan Kolombia melakukan serangkaian langkah diplomatik untuk memprotes operasi militer Israel terhadap Hamas di Gaza. Bolivia menjadi negara pertama yang memutuskan hubungan diplomatik pada 1 November.
Sedangkan Cile dan Kolombia memanggil kembali duta besar mereka untuk Israel pada 31 Oktober di tengah kritik atas pembunuhan warga sipil di Gaza. Usai tindakan itu Israel langsung memberikan peringatan dan meminta mereka berada di sisinya.
“Israel mengharapkan Kolombia dan Cile mendukung hak negara demokratis untuk melindungi warga negaranya, dan menyerukan pembebasan segera semua korban penculikan, dan tidak bersekutu dengan Venezuela dan Iran dalam mendukung terorisme Hamas,” kata Kementerian Luar Negeri Israel.
Presiden Cile Gabriel Boric menyebut warga sipil yang tidak bersalah adalah korban utama serangan Israel. “Umat manusia tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri melalui ikatan yang tidak manusiawi," katanya.
Presiden Kolombia Gustavo Petro bersikap lebih blak-blakan dengan membagikan banyak pesan di media sosial yang mengecam tindakan Israel. “Ini disebut genosida; mereka melakukannya untuk mengusir rakyat Palestina dari Gaza dan mengambil alihnya,” tulis Petro di X.
“Kepala negara yang melakukan genosida adalah kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya.
Langkah diplomatik yang dilakukan ketiga negara Amerika Selatan yang dipimpin oleh para pemimpin sayap kiri, terjadi ketika negara-negara lain di wilayah tersebut meningkatkan kritik mereka terhadap aktivitas militer Israel. Argentina mengkritik serangan Israel di kamp pengungsi Jabaliya.
“Argentina dengan tegas mengutuk serangan teroris yang dilakukan oleh Hamas pada 7 Oktober dan mengakui hak Israel atas pertahanan sahnya. Namun, tidak ada yang bisa membenarkan pelanggaran hukum humaniter internasional dan kewajiban melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata,” kata Kementerian Luar Negeri Argentina.
Pernyataan Argentina muncul beberapa jam setelah Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva meminta Israel untuk mengakhiri pemboman di Gaza. “Kami melihat, untuk pertama kalinya, sebuah perang yang mayoritas korbannya adalah anak-anak. Hentikan! Demi Tuhan, berhentilah!” tulis Lula di media sosial X.
Sedangkan Presiden Honduras Xiomara Castro mengumumkan menarik duta besarnya dari Israel dalam pernyataan yang diposting ke X. Negara Amerika tengah ini mengutip situasi kemanusiaan serius yang diderita penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza sebagai alasan keputusan Castro.
“Honduras dengan penuh semangat mengutuk genosida dan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional yang diderita warga sipil Palestina di Jalur Gaza,” ujar Kementerian Luar Negeri Honduras.
Tapi mengapa negara-negara Amerika Latin ini satu suara dalam mendukung Palestina? Dalam sebuah analisis yang diterbitkan oleh Elcano Royal Institute di Spanyol, para ahli menemukan, selama krisis saat ini, negara-negara yang mendukung Palestina cenderung memiliki pemimpin sayap kiri. Sementara pemerintahan yang dipimpin sayap kanan menyuarakan solidaritas terhadap Israel.
Mengenai peran para pemimpin sayap kiri, analis senior International Crisis Group Elizabeth Dickinson dikutip dari Anadolu Agency mengatakan, di Amerika Latin memiliki generasi baru pemimpin sayap kiri yang tidak hanya berhaluan kiri tetapi juga cukup kuat dalam isu-isu hak asasi manusia ke panggung global. “Ada kesamaan pemikiran bahwa, secara global, diplomasi adalah jalan ke depan," ujarnya.
Kolombia adalah negara yang telah mengalami konflik kekerasan selama beberapa dekade. Pemerintah saat ini telah mempertahankan kebijakan untuk mengurangi pertempuran dengan kelompok bersenjata internal dan sebagai gantinya mengupayakan dialog.
Dickinson juga berpendapat, bahwa Cile, Bolivia, dan Kolombia mungkin saling berkoordinasi dalam sikap mereka terhadap Israel untuk menyampaikan pesan yang kuat. “Mereka memiliki pemikiran yang sama dalam hal kebijakan luar negeri, sehingga tampaknya keputusan mereka terkoordinasi," katanya.
Menurut Dickinson, negara-negara itu juga telah berkoordinasi dalam kebijakan lain. Mereka memutuskan menjadi blok advokasi dengan pemimpin progresif. Contoh saja pemerintahan sayap kiri yang saat ini memerintah Bolivia selalu sangat berhati-hati dan tidak memiliki hubungan dekat dengan Israel.
Selain itu, pendirian negara-negara ini juga dipengaruhi oleh besarnya populasi penduduk asli Palestina. Menurut Dickinson, Kolombia adalah rumah bagi diaspora Palestina yang signifikan, serta komunitas Yahudi yang besar.
“Situasi ini sangat berdampak bagi banyak keluarga, yang menelusuri asal-usul mereka hingga ke wilayah tersebut,” kata Dickinson.
Cile dikatakan sebagai rumah bagi sekitar setengah juta orang asal Palestina, diaspora terbesar di luar Timur Tengah. “Cile memiliki diaspora Palestina yang sangat penting sehingga mereka harus mempertimbangkan fakta tersebut dalam tanggapan pemerintah,” kata pakar hubungan internasional Mariano de Alba.
Selain negara-negara Amerika Latin, wilayah lain yang juga melakukan tindakan diplomatik terhadap Israel adalah Afrika Selatan. Pemerintah Afrika Selatan mengumumkan pada 6 November bahwa ,mereka menarik duta besarnya dari Israel dan mengakhiri misi diplomatiknya ke negara tersebut.
“Pemerintah Afrika Selatan telah memutuskan untuk menarik semua diplomatnya di Tel Aviv untuk berkonsultasi,” ujar Menteri Kepresidenan Khumbudzo Ntshavheni dikutip dari The Hill.
Afrika Selatan sebelumnya meminta Israel untuk mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan melindungi warga sipil. Namun permintaan ini diabaikan sehingga tindakan diplomatik akhirnya ditempuh.
Beberapa laporan berita pun menyatakan, Chad juga menarik duta besarnya dari Israel karena kekerasan yang terjadi. “Chad mengutuk hilangnya banyak nyawa warga sipil tak berdosa dan menyerukan gencatan senjata yang mengarah pada solusi abadi terhadap masalah Palestina,” kata pernyataan juru bicara pemerintah Chad.
Kemudian Yordania juga menarik duta besarnya dari Israel pada awal November. Tindakan ini sebagai protes atas perang yang sedang berlangsung di Gaza yang telah menyebabkan sekitar 10 ribu orang terbunuh
Yordania adalah sekutu utama AS di Timur Tengah dan telah menampung banyak pengungsi Palestina dari generasi ke generasi. Namun, pemerintah Yordania mengatakan pada saat itu, bahwa keputusannya adalah ekspresi penolakan dan kecaman terhadap perang Israel yang berkecamuk di Gaza.
"Menewaskan orang-orang tak bersalah dan menyebabkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar pernyataan Yordania.
Sedangkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuduh pemerintah Israel dengan sengaja melanggar hukum internasional. Israel dinilai membunuh warga sipil di Gaza dalam upaya secara bertahap menghapus warga Palestina dari sejarah.
Ankara pun menarik duta besarnya dari Israel pada 4 November. “Kami akan mendukung formula yang akan membawa perdamaian dan ketenangan di kawasan. Kami tidak akan mendukung rencana yang akan semakin memperburuk kehidupan warga Palestina, yang secara bertahap akan menghapus mereka dari sejarah,” kata Erdogan.
Selain itu, parlemen Bahrain telah meminta duta besarnya untuk Israel kembali ke negaranya. Sementara duta besar Israel untuk Bahrain sudah pergi dari negara yang melakukan normalisasi hubungan pada 2023.
“Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan bahwa Duta Besar Israel di Kerajaan Bahrain telah meninggalkan Bahrain dan kerajaan Bahrain telah memutuskan kembalinya duta besar Bahrain untuk Israel,” kata parlemen dalam sebuah pernyataan.