Aljazirah Hapus Video yang Sebut Normalisasi Saudi-Israel Tindakan Bunuh Diri

Pangeran MBS dinilai 'bunuh diri' jika menormalisasi hubungan dengan Israel

Saudi Royal Court/Bandar Algaloud
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman dan Raja Salman.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Saluran media Aljazirah telah menghapus video sebuah program dari situs web dan saluran Youtube yang memuat pernyataan kontroversial akademisi dan aktivis terkemuka Arab Saudi. Dalam wawancara itu, pakar tersebut mengatakan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) akan melakukan tindakan “bunuh diri” jika menormalisasi hubungan dengan Israel.

"Ini merupakan tindakan bunuh diri jika dia melakukan normalisasi apa pun dengan Israel dalam situasi saat ini," ujar Rasyid dalam salah satu cuplikan video tersebut.

Sebuah program diskusi yang dipandu oleh Marc Lamont Hill, UpFront, menampilkan akademisi Saudi yang merupakan profesor tamu di London School of Economics Madawi al-Rasheed dan wakil presiden eksekutif di Center for International Policy yang berbasis di Washington Matt Duss. Episode berjudul "Israel-Gaza: Bisakah eskalasi lebih lanjut menyebabkan konflik yang lebih luas?" awalnya disiarkan di Aljazirah Bahasa Inggris pada 3 November.

Kemudian video itu diterbitkan di situs Aljazirah dan di YouTube pada hari yang sama saat ditayangkan. Tapi pada 5 November, video tersebut telah dihapus dari kedua platform tersebut. Halaman di situs web tempat pertunjukan berdurasi 25 menit itu sebelumnya dapat disaksikan malah bertuliskan "Halaman tidak ditemukan".

Akun X dan Facebook UpFront telah memberikan cuplikan klip berdurasi 1:41 menit dari episode tersebut. Sedangkan versi audio dari keseluruhan acara tetap tersedia di situs web Aljazirah dan di beberapa platform podcast. Tidak jelas mengapa program video tersebut dihapus.

Rasheed menulis di media sosial X pada 6 November, dia sedang menunggu konfirmasi dari Aljazirah untuk menjelaskan mengapa video seluruh episodenya telah ditarik. Kedua tamu acara tersebut juga telah meminta penjelasan tetapi belum mendapat tanggapan.

Jaringan Media Aljazirah didanai dan dimiliki oleh pemerintah Qatar tetapi telah lama menyatakan bahwa mereka independen secara editorial.  “Saya benar-benar tidak peduli, karena situasi dan pertumpahan darah di luar dugaan dan tidak bisa dipercaya. Perselisihan Qatar tidak relevan," ujar Rasheed yang juga merupakan salah satu pendiri dan juru bicara kelompok oposisi pro demokrasi Partai Majelis Nasional (NAAS) dikutip dari Middle East Eye. 

Baca Juga


Ini pernyataan soal normalisasi Arab Saudi-Israel yang menyinggung Pengeran MBS....



 

Selama diskusi, Rasheed ditanya oleh Hill apakah dia yakin Saudi akan menormalisasi hubungannya dengan Israel, sebuah langkah yang didorong oleh pemerintahan AS di bawah Donald Trump dan Joe Biden. Setelah kunjungan Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Khalid bin Salman ke Washington pekan lalu, Hill mencatat bahwa juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengatakan bahwa kerajaan masih berkomitmen terhadap rencana tersebut.

"Saya pikir jauh di lubuk hati, putra mahkota Arab Saudi ingin mengambil langkah maju, tetapi dia tidak bisa melakukannya saat ini hanya karena kehancuran yang dilihat setiap orang Saudi di layar mereka, di media sosial," kata Rasheed.

Hill kemudian meminta Rasheed menjelaskan maksudnya. “Dia mungkin tidak akan bertahan sebagai calon raja Arab Saudi jika dia terus maju dan bersikap normal dalam konteks perang ini,” jawabnya.

Rasheed juga mempertanyakan mengapa normalisasi hubungan Israel dan tujuh negara Arab sejak 2020 disebut sebagai perjanjian damai berdasarkan Abraham Accords yang dipimpin AS. “Jika Anda melihat UEA atau Maroko, mereka tidak pernah berperang dengan Israel. Jadi menyebutnya sebagai perjanjian damai tidak ada artinya dan tidak akurat… Jika kita berbicara tentang perjanjian damai, maka itu harus antara Israel dan rakyatnya yang tinggal di tempat seharusnya,” katanya.

“Abraham Accords memproyeksikan era baru di Timur Tengah di mana perdamaian akan terwujud. Kita masih berada di titik nol, di mana senjata perang dan serangan udara menjadi bahasa sehari-hari. Bukan perdamaian yang dibicarakan. Ini adalah perang," ujar Rasheed.

Duss yang menjabat sebagai penasihat kebijakan luar negeri Senator Bernie Saunders dari 2017 hingga 2022 mengaku setuju dengan penilaian Rasheed. “Penting untuk diingat, Arab Saudi, seperti sebagian besar rezim di kawasan ini, hidup dalam ketakutan terhadap rakyatnya. Dan rakyatnya, di tingkat mayoritas, masih banyak dukungan untuk perjuangan Palestina,” ujarnya.

Menurut Duss, upaya pemerintahan Biden terhadap Abraham Accords sebagai konsep keamanan untuk kawasan telah terbalik oleh peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. “Premis keseluruhannya adalah kita dapat mencapai stabilitas, mencapai kepentingan Amerika, mengeluarkan Cina dari kawasan ini melalui kesepakatan pertahanan ini. Itu tidak akan berhasil,” katanya.

“Saya pikir banyak dari kita yang mengetahui wilayah ini dan telah mempelajarinya menduga hal ini tidak akan berhasil. Namun pertanyaan saya adalah, apakah pemerintahan Biden tahu bahwa hal ini tidak akan berhasil?” kata Duss. Dwina Agustin

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler