Pemimpin Oposisi Serukan Pemerintah Italia Setop Pasokan Senjata ke Israel

Pemerintah Italia perlu keberanian untuk menghentikan pasokan senjata ke Israel

EPA-EFE/Roberto Monaldo
Pemimpin partai oposisi 5-Star Movement (M5S) di Italia, Giuseppe Conte, menyerukan pemerintahan negaranya untuk menyetop pasokan senjata ke Israel.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA – Pemimpin partai oposisi 5-Star Movement (M5S) di Italia, Giuseppe Conte, menyerukan pemerintahan negaranya untuk menyetop pasokan senjata ke Israel. Seruan itu dilayangkan ketika agresi Israel ke Jalur Gaza sudah berlangsung 40 hari tanpa jeda.

“Segera tangguhkan pasokan senjata ke Israel. Untuk melakukan hal ini, Anda hanya memerlukan satu hal yang kurang: keberanian,” ujar Conte saat sesi tanya jawab mengenai krisis di Timur Tengah bersama Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani, dikutip laman Middle East Monitor, Kamis (16/11/2023).

Pada kesempatan itu, Conte, yang juga pernah menjabat perdana menteri, menyorot sikap Pemerintah Italia yang memilih abstain ketika Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi jeda kemanusiaan di Gaza. Conte menggambarkan keabstainan Italia sebagai sebuah sikap pengecut.

Pada gilirannya, Antonio Tajani menolak label pengecut yang disematkan Conte. “Para pengecut tentu saja tidak duduk di kursi pemerintahan ini. Mungkin para pengecut ada di tempat lain, Tuan Conte, dan saya meminta Anda untuk menggunakan bahasa yang lebih tepat dari seorang pria yang pernah menjadi perdana menteri,” ucap Tajani.

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni juga membela keputusan pemerintahannya abstain dalam pengadopsian resolusi jeda kemanusiaan di Majelis Umum PBB. Menurutnya, itu merupakan posisi paling seimbang dari semua posisi yang ada. “Bukan suatu kebetulan bahwa ini adalah posisi sebagian besar negara-negara Uni Eropa, Eropa, dan G7,” ujarnya.

Setelah menghadapi empat kali kegagalan, Dewan Keamanan PBB akhirnya berhasil mengadopsi resolusi jeda kemanusiaan di Gaza pada Rabu (15/11/2023) lalu. Resolusi rancangan Malta itu didukung 12 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan. Tiga negara, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Rusia memilih abstain.

Resolusi itu menyerukan pentingnya memperpanjang jeda dan koridor kemanusiaan di Gaza selama “jumlah hari yang cukup”. Hal itu guna memungkinkan akses penuh, cepat, aman, dan tanpa hambatan bagi badan-badan serta para mitra PBB dalam menyalurkan bantuan. Resolusi turut menekankan perlunya memastikan bahan bakar diizinkan memasuki Gaza.

Resolusi juga meminta semua pihak tidak merampas layanan dasar dan bantuan yang sangat dibutuhkan bagi penduduk sipil di Gaza. Selain itu, resolusi turut menyerukan evakuasi orang-orang yang sakit dan terluka di Gaza, khususnya anak-anak.

Baca Juga


Lagi-lagi Israel menolak resolusi....



Meski resolusi Dewan Keamanan PBB bersifat mengikat, namun Israel menolaknya. Tel Aviv telah mengisyaratkan enggan mematuhi resolusi jeda kemanusiaan di Gaza yang sudah disahkan Dewan Keamanan. “Tidak ada tempat untuk jeda kemanusiaan yang berkepanjangan (di Gaza),” kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Israel dalam sebuah pernyataan, dikutip surat kabar Israel, Haaretz, Rabu lalu.

Israel enggan menerima jeda kemanusiaan panjang di Gaza selama Hamas belum membebaskan para sandera. Ketika melakukan operasi infiltrasi ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, Hamas diduga menculik lebih dari 200 orang yang terdiri dari warga Israel, warga Israel berkewarganegaraan ganda, dan warga asing.

Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan juga mengkritik keras diadopsinya resolusi jeda kemanusiaan oleh Dewan Keamanan. Menurutnya resolusi itu tidak sesuai kenyataan karena di dalamnya tidak turut mengutuk serangan dan operasi infiltrasi Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.

Agresi Israel ke Gaza telah membunuh sedikitnya 11.630 warga Gaza. Mereka termasuk 4.710 anak-anak dan 3.165 perempuan. Sementara korban luka sudah mendekati 30 ribu orang. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler