Yogyakarta Catat Kasus DBD Terendah Sejak Inovasi Nyamuk ber-Wolbachia

Pada tahun 2016 jumlah kasus di Kota Yogyakarta mencapai lebih dari 1.700 kasus.

www.freepik.com
Nyamuk Aedes aegypti sebagai penyebab penyakit DBD( (ilustrasi). Penyebaran nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia menjadi strategi baru untuk mengatasi penularan kasus demam berdarah dengue di Indonesia.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Pemerintah Kota Yogyakarta pada 2023 mencatatkan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) terendah sepanjang sejarah setelah inovasi teknologi nyamuk ber-Wolbachia diterapkan di wilayah itu.

Baca Juga


Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Lana Unwanah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan kasus DBD terus menurun sejak program pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta dimulai pada 2016.

"Pada tahun 2016 jumlah kasus di Kota Yogyakarta masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta," ujarnya, Rabu (22/11/2023).

Dia mengatakan penerapan World Mosquito Program (WMP) dengan intervensi nyamuk ber-Wolbachia terus berlangsung secara efektif.

Selain mendorong penurunan angka kasus DBD dan tingkat rawat inap, kata dia, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan juga berkurang.

Pada 2023, Dinkes Kota Yogyakarta menganggarkan Rp 246 juta untuk 125 kali pengasapan, sedangkan hingga November 2023 terealisasi sembilan kali.

Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada 2016 atau periode sebelum nyamuk ber-Wolbachia dilepaskan, di mana pengasapan dilakukan lebih dari 200 kali dan pada 2017 lebih dari 50 kali.

Oleh karena penurunan kasus DBD, sebagian besar anggaran untuk pengasapan di Kota Yogyakarta pada akhirnya dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.

"Kami mengalihkan sekitar 100 kali anggaran fogging (pengasapan) untuk diusulkan dalam anggaran perubahan untuk kegiatan lain, sekitar Rp 200 juta," kata dia.

Peneliti WMP Yogyakarta dr Riris Andono Ahmad memastikan fase penelitian nyamuk dengan bakteri Wolbachia sudah selesai sejak akhir 2022.

Riris yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM ini, menegaskan teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang berkelanjutan, lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.

Wolbachia, kata dia, bakteri alami yang terdapat di sebagian besar serangga di dunia yang setelah diteliti terbukti dapat menekan replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Teknologi itu dikatakan berkelanjutan karena sifatnya bisa diturunkan ke nyamuk berikutnya.

"Hanya perlu satu kali melepaskan, kemudian kita tinggal menikmati hasilnya. Populasi Wolbachia di Yogyakarta sampai saat ini masih sangat tinggi, sehingga memberikan proteksi yang berkelanjutan," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler