Sosok Hantu yang Ditakuti dan Jadi Target Utama Perburuan Zionis Israel
Boudia dikenal sebagai revolusioner anti zionis Israel
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ternyata ada sosok underground yang ditakuti organisasi intelijen Israel, Mossad, selama ini. Mossad sampai harus merancang pembunuhan sedemikian rupa untuk menumpas orang ini.
Sosok 'hantu' yang dimaksud ialah Muhammad Boudia lahir pada 1932 di lingkungan Bab Jadid di Kota Aljir, Aljazair. Sejak kecil, dia sudah tertarik dengan tulisan dan berbagai bentuk teater. Boudia jago menyamar dan bersembunyi. Dia juga memiliki kemampuan menulis karya sastra.
Pada 1954, ketika berumur 22 tahun, Boudia bergabung dengan Institut Seni Drama Regional di Aljazair. Keadaan sosial dan profesional memaksa Boudia mengejar mimpinya dengan pindah ke Prancis.
Namun dia tidak pernah melupakan impian kemerdekaan kolektif bangsanya, Aljazair. Sehingga ia pun bergabung dengan Federasi Front Pembebasan di Prancis. Boudia terlibat dalam beberapa operasi, yang membuat dia terluka.
Boudia juga memimpin pengeboman gudang bahan bakar Prancis di Marbienne, Marseille, pada 1958. Dia kemudian dihukum penjara selama 20 tahun. Selama di penjara, dia menulis puisi dan teks teatrikal seperti "Miilad" (Hari Lahir) dan "Syajaroh Al Zaytun" (Pohon Zaitun).
Kemudian, pada tahun 1961, Boudia berhasil melarikan diri dari penjara dengan bantuan jaringan Johnson, sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang Prancis, Swiss, dan Eropa murni. Kelompok ini secara intelektual anti-kolonial dan praktik, setia pada revolusi Aljazair. Dalam catatan rahasia kepolisian, kelompok tersebut dikenal dengan nama "Hamlah Al-Haqo'ib" (Pembawa Tas).
Boudia bersembunyi sebentar di Belgia, lalu ke Tunisia. Di Tunisia ini, dia bergabung dengan rombongan teater Aljazair bernama Front Pembebasan, bersama Mustafa Kateb dan sekelompok pioner dalam bidang tarik suara, film dan seni peran.
Menjelang kemerdekaan, Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella, mengangkat Boudia menjadi kepala Teater Nasional Aljazair. Dia menjadi direktur pertamanya pada 1963, namun ia tidak mengabaikan kecintaannya pada menulis dan jurnalisme. Dia juga mendirikan dua surat kabar, "November" dan "Aljazaa'ir Haadzal Masaa".
Keadaan Aljazair mengalami ketegangan saat Presiden Ahmed Ben Bellva dikudeta oleh militer pada 19 Juni 1965. Dia bersimpati pada presiden sipil itu dan mengkritik pemimpin militer, dan bahkan sangat menentangnya. Dia menganggap kudeta tersebut tidak pantas dan merupakan bentuk usang dan menyedihkan yang melanggar legitimasi dan melemahkan prinsip kebebasan.
Karena khawatir akan penangkapan terhadap dirinya, Boudia melarikan diri ke arah timur Aljazair, sebelum menyelinap keluar melintasi perbatasan Tunisia, untuk berangkat lagi ke Prancis. Di Prancis, tepatnya pada 1967, Boudia bekerja sebagai pekerja administrasi di Teater Barat di Paris, dan kemudian mendirikan sebuah ruangan untuk teater Maghreb.
Baca juga": Penjelasan Alquran Mengapa Bangsa Yahudi Kerap Membuat Kekacauan
Namun tidak banyak yang tahu, bahwa sebenarnya Boudia sibuk memikirkan persoalan Palestina. Dia punya rahasia dan dunia paralelnya sendiri, yang hanya diketahui sedikit orang. Dia menjalin pertemuan di Kuba dengan tokoh terkemuka dari Front Populer untuk Pembebasan Palestina, Wadie Hadad atau yang dikenal sebagai Abu Hani.
Boudia pun bergabung dengan Front Populer untuk Pembebasan Palestina. Dia ditugaskan dalam misi militer lapangan di Eropa. "Sama seperti isu Aljazair dan revolusinya adalah isu saya, isu Palestina dan revolusinya juga merupakan isu saya," kata Boudia, seperti dilansir laman Arabic Post.
Setelah bergabung, Boudia keluar dengan julukan baru, "Abu Diya". Dia juga bergabung dengan Universitas Patrice Lumumba di Moskow Rusia untuk memperdalam pengetahuan militer dan teknisnya di institusi yang didirikan oleh badan intelijen Uni Soviet, KGB.
Universitas itu didirikan untuk menyatukan elite sayap kiri di seluruh dunia, dan memanfaatkan mereka sebagai alat yang menerapkan ideologi dan kemauan Uni Soviet dalam perjuangan eksistensialnya melawan imperialisme Barat dan kapitalisme global serta mendukung gerakan pembebasan global.
Boudia atau Abu Diya yang fasih dalam empat bahasa, menggunakan kekuatan magnetnya dalam menarik berbagai gerakan anti-imperialis untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dia memperluas jaringan dan menjalin hubungan dengan George Habash dan Yasser Arafat, pemimpin gerakan Fatah.
Selama bertahun-tahun, Boudia menjalani dua kehidupan. Siang hari dia ke teater dan menjalani aktivitas budaya intelektual. Dan di malam hari, didedikasikan untuk perjuangan Palestina. Karena itu, Boudia tidak pernah menimbulkan kecurigaan saat dia pergi menuju kamp pelatihan bagi kaum revolusioner Palestina di Tepi Barat, untuk menentukan persiapan praktis.
Kemungkinan besar semua perjalanan itu dilakukan dengan identitas palsu, dan tujuannya adalah untuk menyiapkan serangan terhadap Israel dan negara-negara Barat di jantung wilayah pendudukan, dan jauh di dalam wilayah pedalaman Israel.
Pada awal 1970-an, amukan Black September pecah di beberapa wilayah di dunia. Pada Agustus 1972, pipa yang menghubungkan Italia dan Austria dibom di wilayah Trieste, menghancurkan 250 ribu ton minyak, dan menimbulkan kerugian sebesar 2,5 miliar dollar, kemudian disusul dengan pembajakan dan penahanan sebuah pesawat Israel di Bandara Lod (saat ini Ben Gurion) sebelah barat Yerusalem, pada 8 Mei 1972.
Pada tanggal 31 Mei di bulan yang sama, bandara yang sama menyaksikan operasi lain, yang dilakukan oleh Sel Tentara Merah Jepang, yang dipimpin oleh tiga orang, yaitu Kozo Okamoto alias Ahmed, Soichi Okudaira alias Bassem, dan Yasuyuki Yasuda alias Sholah. Mereka melemparkan granat tangan ke pesawat Israel yang diparkir di bandara.
Operasi-operasi ini dan pembajakan pesawat lainnya yang sering terjadi, memiliki ciri khas Black September. Operasi tersebut dilakukan untuk menuntut pembebasan tahanan Palestina, dan sebagai tanggapan terhadap serangkaian pembunuhan yang menargetkan para intelektual, aktivis, dan diplomat Palestina. Di antaranya penyair Ghassan Kanafani, politisi Kamal Adwan, dan Abu Mustafa al-Najjar.
Kemudian Boudia mengambil alih tempat perlindungan, persembunyian, dan perjalanan komando Palestina yang dipimpin oleh Muhammad Daoud Odeh, yang dijuluki "Abu Daoud" dengan mobil Renault 16 miliknya.
Di saat itulah, Perdana Menteri Israel Golda Meir ketika itu mulai bergerak. Dia memutuskan untuk mengaktifkan aparat keamanan di bawah pengawasan Mossad, yang bekerja di bawah perintah langsungnya. Israel mengeluarkan daftar nama-nama yang menjadi target.
Baca juga: Baca Doa Ini Agar Allah SWT Limpahkan Rahmat dan Pertolongan-Nya
Di antaranya adalah Wadih Haddad, Pangeran Merah Abu Hassan Salama, Mahmoud Al-Hamshari, dan juga termasuk Muhammad Boudia. Boudia disebut oleh pemerintah Israel sebagai pria berjanggut biru, dan pria berwajah seratus.
Boudia dikenal mahir dalam skenografi berdasarkan profesinya di teater, dan dia mempraktikkan seni penyamaran dan penyembunyian terus-menerus, karena dia berpindah tempat dari waktu ke waktu, dan memakai janggut palsu, yang mana tidak diragukan lagi memberinya julukan "Blue Beard".
Setelah operasi “Wrath of God” yang dilancarkan oleh PM Israel Golda Meir, di mana Mahmoud Al-Hamshari dibunuh pada Januari 1973, respons datang dengan cepat. Seorang perwira senior Mossad bernama Cohen Baruch dibunuh. Baruch, yang memiliki julan "Yuri Molo" saat itu sedang bersembunyi di Madrid, Spanyol.
Di tengah perang bayangan, dan pertarungan hantu antara Mossad dan Black September, Boudia sering melakukan penyamaran. Suatu kali, sebuah mobil mengikuti Boudia lalu dia pun memasuki sebuah toko. Sementara para pengintai tetap menunggunya, tetapi gagal. Sebab ternyata Boudia termasuk di antara mereka yang berangkat beberapa jam sebelumnya, dengan mengenakan pakaian perempuan.
Selama tujuh tahun, sejak pertemuannya dengan Wadie Haddad pada 1967, Boudia sadar bahwa dia dicurigai dan terus-menerus diawasi oleh dinas keamanan Perancis dan Barat, tanpa meninggalkan bukti untuk menghukumnya.
Namun, pagi hari 28 Juni 1973, menjadi hari terakhir Boudia menghembuskan nafas terakhirnya, setelah beberapa pekan menghilang. Pagi itu dia berjalan mendekati mobilnya. Seperti biasa, dia selalu mengecek terlebih dulu dan memastikan tidak ada apapun di dalam.
Lalu ketika menyalakan mesin mobil, ada percikan listrik menyentuh kabel yang terhubung dengan bom yang ditanam tepat di bawah kursi penyetir. Boudia meninggal seketika.
Berita itu bagaikan sambaran petir bagi rekannya, Hussein Zahwan, dan rekannya, Bashir Boumazza, yang menangis dengan sedihnya. Mereka telah memperingatkan Boudia dua pekan lalu untuk menghilang.
Tidak ada yang tahu bagaimana kelompok "Wrath of God" Mossad sampai ke kepala Pria Berwajah Seratus itu. Yang ada hanya dugaan menghubungkan operasi infiltrasi oleh faksi Palestina dan Yahudi Prancis asal Aljazair.
Baca juga: Heboh Wolbachia, Ini Tafsir dan Rahasia Nyamuk yang Diabadikan Alquran Surat Al-Baqarah
Hussein Zahwan, rekan Boudia, mengungkapkan dalam simposium surat kabar Al-Mujahid yang didedikasikan untuk mengenang "Abu Diya", sebagai berikut:
"Dia diburu melalui koordinasi antara agen Prancis dan lembaga Barat yang berkoordinasi dengan Mossad. Mobilnya ditanami smart chip untuk melacak pergerakan kendaraan, dan kemudian dibom setelah dipastikan bahwa itu adalah kendaraannya."
Sumber: arabicpost