Godfather dan Para Pengusaha Berpengaruh di Gaza Gugur Akibat Pengeboman Israel
Godfather kewirausahaan Gaza juga telah gugur
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Para pengusaha di Gaza terguncang dengan pembunuhan tanpa henti terhadap rekan-rekan mereka oleh Israel saat mereka membombardir Jalur Gaza yang diblokade. Mohammed Sharif Yousef, seorang konsultan kewirausahaan di Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO), telah kehilangan banyak teman dan rekannya.
Beberapa dari mereka terbunuh setelah mereka mengungsi ke daerah-daerah di selatan yang diklaim aman oleh tentara Israel. Sementara Yousef mengungsi dari rumahnya di Kota Gaza dan kini berada di Khan Younis, Gaza selatan.
Yousef memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai wirausaha, pelatih, dan mentor. Namun pengeboman Israel yang telah berlangsung selama dua bulan menempatkannya pada peran baru yaitu sebagai pekerja sukarela dan pemberi bantuan.
“Keluarga tidak punya uang untuk membeli tepung, yang hampir tidak tersedia, atau makanan kaleng atau sayuran,” kata Youse, dilaporkan Aljazirah.
Yousef menggunakan sepeda motornya untuk mengantarkan perbekalan kepada keluarga yang membutuhkan. Hingga pada akhirnya sepeda motor Yousef kehabisan bahan bakar. Namun dia tak habis akal. Dia tetap menjalankan motornya dengan menggunakan pengencer cat, yang menyebabkan beberapa kerusakan namun tetap memungkinkan dia untuk keluar rumah setiap hari. Namun karena jumlah korban akibat pemboman udara Israel terus meningkat, dia berhenti keluar.
Para pengusaha dalam jaringan Yousef adalah orang-orang yang menemukan solusi teknologi untuk permasalahan Gaza. Seiring dengan berkembangnya institusi mereka, jaringan itu telah menciptakan lapangan kerja bagi para lulusan yang memiliki sedikit kesempatan kerja akibat pengepungan Israel selama 17 tahun di Gaza. Pada 30 Oktober, Yousef mendengar bahwa teman baiknya Tariq Thabet, yang memimpin inkubator bisnis di Fakultas Ilmu Terapan Universitas di Gaza, telah dibunuh.
“Saya tidak menduganya. Dia baru saja kembali dari Amerika setelah menerima beasiswa Fulbright," kata Yousef.
Yousef mengatakan, Thabet telah membantu ribuan generasi muda mendapatkan pekerjaan, dan membuat perbedaan besar di wilayah yang terkendala seperti Gaza. Pada 14 November, dua minggu setelah kematian Thabet, Yousef menerima berita yang lebih menyedihkan, seorang teman lainnya, Abdelhamid al-Fayoumi terbunuh dalam pengeboman Israel.
Yousef dan kedua mendiang temannya menjadi teman dekat setelah bekerja sama termasuk di Gaza Sky Geeks dan Work Without Borders. Yousef mengatakan, al-Fayoumi adalah juru masak yang luar biasa. Dia biasa memasak mujadara (nasi dan lentil dengan bawang karamel) dan maqlubas (hidangan daging, sayuran, dan nasi berlapis yang dimasak dengan satu cara dan dibalik saat disajikan).
Yousef dan kedua temannya berjanji untuk duduk bersama setelah perang, untuk membicarakan ide-ide dan mengeksplorasi cakrawala baru. Al-Fayoumi mendirikan Sanabel, yang memproduksi perangkat lunak dan sumber daya multimedia untuk pasar Arab lokal dan regional.
“Sanabel beralih dari kegagalan menuju kesuksesan dan kemudian keberlanjutan, dengan tim yang bekerja di tingkat internasional,” kata Yousef.
“Hal yang saya sukai dari dia adalah ketekunannya dan produktivitas tinggi timnya. Dia meraih kesuksesan bagi banyak pengusaha di Gaza, namun kini semuanya terhenti. Israel membunuh kader pengusaha di Gaza," ujar Yousef.
Godfather kewirausahaan Gaza juga gugur...
Pada hari yang sama ketika al-Fayoumi terbunuh, para pengusaha Gaza kembali mendapat pukulan berat ketika Dr Yasser al-Alam, yang merupakan 'Godfather kewirausahaan' terbunuh dalam serangan Israel di pusat kota Deir el-Balah. "Dr Yasser adalah seorang pemikir yang tenang dan tertarik pada inisiatif untuk mencari solusi inovatif,” ujar Yousef.
Al-Alam dikenal karena menemukan solusi tak terduga dan menciptakan strategi pemasaran yang inovatif. Yousef mengatakan, para pengusaha Gaza memperkirakan al-Alam akan memberikan dampak besar untuk masa depan Gaza.
“Semua orang yang gugur dalam perang ini, baik yang saya sebutkan atau tidak, meninggalkan dampak yang menyakitkan. Kita harus menjadikan pembunuhan mereka sebagai bahan bakar yang mendorong kita menuju kesuksesan kewirausahaan di Gaza untuk menyelesaikan perjalanan mereka," ujar Yousef.
Ketika serangan brutal Israel terhadap warga Palestina di Gaza mendekati akhir bulan kedua, skala kehancurannya tidak hanya bersifat fisik. Korban jiwa sangat besar. Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, lebih dari 17.000 orang meninggal dunia dan 6.800 lainnya hilang di bawah reruntuhan rumah mereka, dan diperkirakan meninggal dunia. Sementara lebih dari 41.000 orang lainnya terluka. Dengan angka-angka tersebut, satu dari setiap 40 warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza terbunuh atau terluka akibat serangan Israel.
Sebagian besar korban adalah warga sipil yang mencakup laki-laki, perempuan dan anak-anak. Termasuk kalangan profesional, puluhan dokter, dosen universitas, pemilik bisnis, dan jurnalis telah terbunuh.
Penargetan kepemimpinan politik dan ekonomi suatu kelompok etnis dikenal sebagai “eliticide”, sebuah kata yang diciptakan pada tahun 1990-an oleh jurnalis Inggris Michael Nicholson untuk menggambarkan pembantaian Bijeljina di Bosnia dan Herzegovina. Menurut Arnesa Buljusmic-Kustura, pakar genosida, peneliti dan dosen, tujuan pembunuhan elitis adalah untuk mencegah komunitas sasaran melakukan regenerasi atau membangun kembali dirinya sendiri.
“Menargetkan kaum intelektual, akademisi, aktivis, pemimpin apa pun selalu menjadi benang merah dalam genosida. Pembunuhan terhadap orang-orang paling terkemuka di komunitas Anda dilakukan untuk mengingatkan Anda bahwa tidak ada orang yang aman, untuk membuat Anda kehilangan harapan, untuk memastikan komunitas tidak melawan atau melakukan reorganisasi," ujar Buljusmic-Kustura.