Indonesia tidak Tanda Tangani Ikrar Peningkatan Energi Terbarukan di COP28, Ini Alasannya

Indonesia, China, dan India tidak tandatangani dokumen energi terbarukan di COP28.

Dok. PLN
Ilustrasi Pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga bulan yang lalu di Delhi, India, para pemimpin negara-negara ekonomi utama G20 mendukung peningkatan kapasitas energi terbarukan global sebesar tiga kali lipat pada 2030. Kemudian, pada Sabtu lalu di KTT Iklim COP28, lebih dari 120 delegasi negara menandatangani ikrar serupa dengan menandatangani sebuah dokumen.

Baca Juga


Namun, negara-negara G20 seperti Cina, India dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Padahal, Cina mendominasi rantai pasokan energi terbarukan. International Energy Agency memperkirakan bahwa Cina dan India akan menggandakan energi terbarukan mereka pada 2027 sehingga mereka akan mencapai kapasitas tiga kali lipat pada 2030 tanpa usaha ekstra. Jadi, mengapa ada keengganan?

Menurut analisis peneliti dari Centre for Science and Environment, Avantika Goswami, ikrar dalam COP28 dibarengi dengan bahasa anti-batu bara dan target yang lebih menantang untuk menggandakan efisiensi energi, tanpa target keuangan yang terukur. Negara-negara berkembang utama seperti China dan Indonesia diduga merasa khawatir tentang pendanaan dan enggan membuat komitmen di luar proses iklim resmi PBB.

Berbeda dengan kesepakatan G20, Ikrar COP28 menyerukan kepada para penandatangannya untuk mengakhiri investasi yang terus berlanjut pada pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak berkelanjutan, yang tidak sesuai dengan upaya untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celsius. Di antara mereka, empat negara G20 yang tidak menandatangani ikrar COP28 membangun lebih dari empat per lima pembangkit listrik tenaga batu bara baru di dunia, menurut Global Energy Monitor.

"Mungkin itulah sebabnya mengapa negara-negara besar yang sedang berkembang prihatin dengan deklarasi energi terbarukan karena deklarasi ini terkait dengan pembangkit listrik berbasis batu bara," ujar Goswami.

Meskipun ikrar tersebut tidak mengharuskan setiap negara untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan mereka, sebuah sumber yang mengetahui posisi pemerintah Indonesia, mengatakan bahwa mereka khawatir deklarasi tersebut akan menekan mereka untuk melakukannya. Bagi Indonesia, hal ini bisa jadi akan mengharuskan penutupan lebih awal pembangkit listrik tenaga batu bara dan investasi untuk stabilitas jaringan listrik di wilayah Jawa-Bali.

"Keduanya menyiratkan peningkatan beban keuangan bagi PLN dan pemerintah. Alasan bahwa janji ini tidak disertai dengan dukungan finansial dan teknis membuat Indonesia enggan untuk mendukungnya,” kata seorang sumber seperti dilansir Climate Change News, Rabu (13/12/2023).

Li Shuo, pimpinan Asia Society, mengatakan bahwa Cina akan kesulitan memenuhi target untuk menggandakan efisiensi energi pada 2030, yang tidak tercantum dalam perjanjian G20 atau dalam perjanjian Sunnylands antara Amerika dan Cina. Efisiensi energi dihitung dengan membagi ukuran ekonomi dengan konsumsi energinya dan pertumbuhan ekonomi Cina telah melambat dalam beberapa tahun terakhir, membuat target tersebut lebih sulit dicapai.

“Cina tidak menyukai kesepakatan dan deklarasi sampingan di perundingan iklim PBB. Mereka sering merasa bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut menyimpang dari konvensi iklim PBB dan Perjanjian Paris dan mungkin akan ditentang di masa depan,” ujar Li.

Joyce Lee, direktur kebijakan di Global Wind Energy Council, menambahkan bahwa negara-negara tersebut merasa telah melakukan banyak hal dalam hal mengurangi emisi, dan bahkan mungkin telah melakukan lebih dari yang seharusnya karena mereka telah berkontribusi lebih sedikit terhadap emisi historis dibandingkan dengan negara-negara kaya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler