Cara Diaspora Palestina Berjuang di Tanah Rantau
Palestina akan terus mempertahankan kawasannya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Agresi yang dilakukan Israel kepada Palestina pada 2023 ini, boleh dikatakan yang paling kejam yang pernah ada di muka bumi. Dimulai dari pendudukan Israel dan terusirnya warga Palestina dari tanahnya sendiri, nyatanya terdapat jejak-jejak yang patut dijadikan pelajaran dan perjuangan tiada henti.
Agresi militer yang dilakukan Israel tersebut mendapatkan perlawanan, salah satunya adalah gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS), yang didukung oleh koalisi kelompok masyarakat sipil Palestina pada 2005 lalu. Gerakan ini berupaya untuk menantang dukungan internasional terhadap apa yang mereka sebut sebagai apartheid Israel dan kolonialisme pemukim di mana penjajah menggantikan komunitas Pribumi dan menjunjung tinggi prinsip bahwa “Warga Palestina berhak atas hak yang sama seperti umat manusia lainnya”.
Bagi A’siah Abdalah (21) boikot adalah bagian penting dari kehidupan sehari-harinya. Bahkan, sebelum serangan mematikan yang terjadi pada 7 Oktober lalu. Lahir dan besar di Nikaragua, Abdalah sering melakukan demonstrasi menentang pemberitaan yang tidak seimbang serta pembunuhan terhadap perempuan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah.
Bahkan, berbagai upaya yang dilakukannya terkadang membuat orang tuanya khawatir akan keselamatannya. Abdalah menceritakan kakek buyutnya adalah orang Palestina, tapi dia tidak pernah bertemu dengannya.
Ketertarikannya terhadap warisan budayanya meningkat ketika pada usia 14 tahun, beberapa anak laki-laki mencoba mengganggunya di sekolah dengan mengatakan kepadanya bahwa “kamu tidak punya negara.” Untuk membuktikan bahwa para penindasnya salah, dia mulai belajar lebih banyak tentang sejarah Palestina.
Abdalah juga mengungkapkan banyak orang yang terkejut ketika dia memberi tahu orang-orang bahwa dia adalah seorang Kristen Palestina. Bahkan, banyak yang beru mengetahui bahwa tidak semua orang Palestina adalah Muslim.
"Ini adalah genosida di dalam genosida. Ada antara 800 dan 1.000 warga Kristen Palestina kiri. Identitas Palestina saya tidak terpisah dari identitas Kristen saya. Penting bagi masyarakat untuk melihat dan memahaminya, terutama di negara yang sangat menyamakan Kekristenan dengan Zionisme," tegasnya.
Abdalah saat ini adalah mahasiswa di Universitas New Orleans di negara bagian Louisiana, AS dan berharap untuk melanjutkan ke sekolah hukum. Selama ini, ia selalu memboikot merek tertentu dan terus memantau daftarnya.
"Sangat penting untuk memeriksa situs resmi BDS," ucapnya.
Namun, Abdalah juga menghadapi kendala unik di Louisiana. Pada tahun 2018, Gubernur Bel Edwards menandatangani kesepekatan yang melarang negara membuat kontrak dengan bisnis yang mendukung kampanye BDS atau yang dikenal dengan nama undang-undang anti-BDS.
Meski begitu, Abdalah berharap organisasi mahasiswa di universitasnya akan mengeluarkan pernyataan simbolis untuk mendukung Palestina. Untuk saat ini, dia fokus memboikot McDonald's, Starbucks, dan Disney.