50 Tahun Malari, Jurnalis Mochtar Lubis ke Paris Saat Pasar Senen Dibakar Massa
Koran-koran meminta pemerintah Orba ketika itu untuk memberantas korupsi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa Malari tahun ini berumur 50 tahun. Ada banyak faset yang bisa kembali ditengok dari salah satu peristiwa kerusuhan terbesar di awal Orde Baru itu. Sejumlah buku dan para tokoh yang terdampaknya pun sudah sempat memaparkan peristiwa itu dari sudut pandang mereka.
Tentu saja pandangan mereka ini ada yang berbeda maupun sama dengan dua tokoh utama dari peristiwa itu, yakni Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, Hariman Siregar, dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soemitro, yang juga sudah dibukukan.
Republika kali ini mencoba melihat dari sudut pandang jurnalis senior ketika itu, Mochtar Lubis. Penulis biografi Mochtar Lubis, David T Hill, mencatatkan satu bab khusus soal Malari di dalam bukunya yang berjudul ‘Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang’.
Berikut cuplikannya:
Koran-koran moderat dan oposisi seperti Abadi, Harian KAMI, dan Indonesia Raya semakin mencerca strategi pembangunan ekonomi pemerintah. Di samping keragu-raguannya praktik investasi Jepang dan hubungan pemodal Tionghoa dengan perwira-perwira militer terkemuka.
Selama tahun 1973 (koran) Indonesia Raya mengemukakan keprihatinannya terhadap lemahnya penegakan hukum dan 'penyederhanaan'atas oposisi yang menjadi hanya dua partai politik. Koran itu juga mengimbau kaum kaya untuk tidak memamerkan kekayaan dan 'hidup sederhana' saja.
Sebagaimana telah dicatat Atmakusumah, dalam tajuk rencana, tulisan, dan 'rubrik pojok', Indonesia Raya mendukung kecaman mahasiswa dan intelektual terhadap korupsi dan politik ekonomi pemerintah, yang mereka lihat telah memerlebar celah antara kaya dan miskin, memromosikan investasi modal asing 'yang bukan pilihan', dan menguntungkan 'warga negara Indonesia keturunan asing'-yang secara tersirat berarti orang Tionghoa.
Pada bulan Maret, karena frustrasi atas tidak adanya tindakan parlemen terhadap korupsi, tajuk rencana Indonesia Raya bertanya secara retorika, 'apakah mahasiswa dan orang muda perlu diperintah agar kembali turun ke jalan seperti tujuh tahun lalu?"
Kecamannya terhadap 'lobi Jepang', Asisten pribadi Presiden (khususnya Soedjono Hoemardani), salah urus ekonomi, kebijakan investasi asing, nepotisme di dalam pemerintah bertambah tajam dalam tiga bulan terakhir tahun 1973.
Bersamaan dengan koran-koran lain seperti Mahasiswa Indonesia, Indonesia Raya memandang baik kegiatan-kegiatan Jenderal Soemitro, walaupun Mochtar Lubis mengatakan kemudian bahwa ia 'tidak merasa kami [Indonesia Raya] berkolaborasi dengan Soemitro." Dalam menjalani persaingan pahit dengan Jenderal Ali Murtopo, Soemitro menuai simpati di kampus-kampus di Jawa ketika mengadakan perjalanan keliling secara kilat bulan November 1973.
Keterbukaannya kepada mahasiswa memberi kesan adanya simpati tingkat tinggi untuk reformasi. Pada foto yang dimuat di halaman depan Indonesia Raya dari diskusi bersahabat bersama penulis drama pembangkang Rendra, Soemitro mengklaim dengan membangkitkan harapan, kalau tidak samar-samar, bahwa bulan April 1974 akan menyambut 'pola baru kepemimpinan."
Mochtar Lubis menyarankan agar Yayasan Indonesia (yang menerbitkan majalah sastra Horison) mengadakan seminar mengenai untung-rugi penanaman modal asing di Indonesia. Dengan Mochtar sebagai pemimpin seminar pada 30 November, para pembicara mencakup wakil presiden pertama RI Mohammad Hatta bersama kalangan akademisi liberal yang dihormati seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Awal Januari 1974 para mahasiswa menyuarakan tiga tuntutan utama: Pembubaran Asisten Pribadi Presiden, penurunan harga-harga, dan pemberantasan korupsi. Wakil Pemimpin Redaksi Indonesia Raya Enggak Bahau'ddin mengkritik pidato Tahun Baru Presiden karena menghindari keluh kesah sentral masyarakat, seperti dugaan bahwa orang yang paling diuntungkan 'pembangunan’ adalah 'pejabat-pejabat tinggi dan keluarga mereka.
Enggak Bahau’ddin menulis dengan nada sarkastis, 'orang yang menyusun pidato Presiden lupa menyinggung masalah ini.' Pernyataan Suharto bahwa modal Jepang dan asing lainnya tidak membuat negara terlilit utang, hal itu sama sekali 'tidak benar,' ia berseru.
Dari 10 Januari, demonstrasi-demonstrasi yang menyerang peran Ali Murtopo, Soedjono Hoemardani, dan Perdana Menteri Jepang Tanaka (yang menurut rencana tiba 14 Januari) mengisi halaman satu koran itu. Protes-protes massal mahasiswa pada tanggal 14 dan pagi hari dengan membakar mobil dan tempat-tempat usaha.
Hanya pada hari berikutnya,perkampungan dan kaum muda yang kecewa memporakporandakan pusat kota. Tanggal 15, diikuti pada sore itu dengan kerusuhan oleh publik ketika pusat belanja Senen dirampok dan dibakar, pasukan antikerusuhan turun ke jalan dalam kekuatan yang memadai.
Banyak pemimpin mahasiswa (dan peneliti asing) percaya bahwa preman-preman kriminal kecil yang digerakkan Ali Murtopo itulah yang menjadi pemicu kerusuhan dan perampokan untuk menyalahkan Soemitro dalam menangani demonstrasi-demonstrasi mahasiswa.
Di antara 470 orang yang ditangkap adalah pemimpin mahasiswa Hariman Siregar, tokoh PSI seperti Soebadio Sastrosatomo (yang pernah berada di penjara Madiun bersama Mochtar Lubis pada tahun 1960-an), pengacara dan aktivis Hak Asasi Manusia seperti Adnan Buyung Nasution dan JC Princen (juga tahanan di Madiun), dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Pelarangan terhadap pers mulai terjadi 16 Januari 1974 ketika surat izin cetak Nusantara dicabut Kopkamtibda Jakarta. Setelah Suluh Berita di Surabaya tiga hari kemudian, berikutnya adalah Mahasiswa Indonesia yang dilarang pada 20 Januari. Dalam satu gerak sapu terhadap koran-koran kritis, pada 21 Januari 1974 Kopkamtibda Jakarta mencabut surat izin cetak Indonesia Raya, Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, dan mingguan Wenang kemudian Pemuda Indonesia. Pedoman, dan mingguan Ekspres menyusul pada 24 Januari.
Indonesia Raya dituduh 'telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan Nasional [... dan tulisan-tulisannya] dianggap menghasut rakyat sehingga membuka peluang yang dapat mematangkan/memeruncing situasi kearah terjadinya kekacauan-kekacauan seperti pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 dan yang dapat mengadu domba antara pimpinan yang satu dengan yang lain' (suatu acuan tersirat mengenai ketegangan hubungan Soemitro-Ali Murtopo).
Mochtar Lubis sedang di luar negeri ketika Malari mencapai titik puncaknya. Berangkat ke Paris pada pagi hari pertama kerusuhan besar, ia melewati Pasar Senen yang dilalap api dalam perjalanannya ke bandar udara Kemayoran. Sepanjang krisis ini, koran itu berada dalam tangan Enggak-Bahau'ddin dan Redaktur Pelaksana Atmakusumah. Mochtar, yang mendengar pelarangan korannya itu sewaktu dalam transit internasional, pulang awal Februari dan disambut oleh seluruh staf di bandar udara.
Setelah kembali dari Paris, Mochtar Lubis diinstruksikan untuk tidak ke luar negeri. Selama dua bulan ia dipanggil untuk diperiksa seminggu sekali. Tidak ada tuntutan hukum formal yang diajukan, tetapi para interogator menuduh dia menggerakkan mahasiswa untuk menggulingkan pemerintah. Wakil Pemimpin Redaksi Enggak Bahau'ddin ditangkap pada 21 Juni 1974 (untuk ditahan selama hampir 11 bulan).
Akhirnya, pada 4 Februari 1975, lebih dari satu tahun setelah kerusuhan, ia ditangkap untuk menghabiskan hampir dua setengah bulan dalam penjara Nirbaya di pinggiran tenggara Jakarta hingga 14 April.