Anak-Anak Jadi Pelaku Pencabulan, Apa yang Harus Dikoreksi di Masyarakat?
Kasus pencabulan oleh anak terkuak beruntun belakangan ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai kasus pencabulan oleh anak belakangan menjadi perhatian publik. Salah satu yang terbaru adalah tindakan pelecehan seksual di sebuah masjid di Lombok, NTB yang dilakukan seorang anak laki-laki.
Tindakan itu terekam dalam video yang menjadi viral, di mana anaklaki-laki itu terlihat melakukan gerakan tak senonoh di belakang seorang jamaah perempuan yang sedang menjalankan ibadah sholat. Ustaz Erick Yusuf menyampaikan keprihatinannya mengenai hal tersebut.
"Melihat video itu, kita semua prihatin. Bukan saja permasalahan yang ditampakkan ini terjadi di dalam masjid, tapi perilaku itu pun dilakukan saat sedang menggunakan atribut ritual (ibadah)," ungkap Erick saat dihubungi oleh Republika.co.id, Jumat (19/1/2024).
Pendiri Yayasan iHAQi Indonesia itu mengatakan ada beberapa hal yang membuat insiden tersebut sangat mengagetkan. Pertama, masjid yang seharusnya menjadi tempat beribadah, membersihkan diri, dan kembali kepada kesalehan, ternyata tidak memberikan efek serupa pada anak pelaku dalam video.
Selain itu, anak lelaki tersebut tertangkap kamera hanya seorang sendiri. Menurut Erick, itu menandakan bahwa tindakan tak senonoh yang dia lakukan memang sudah tertanam dalam pikiran dan alam bawah sadarnya.
Erick menyebut, ada teori yang disebut the power of repetition. Paparan mengenai sesuatu yang berulang-ulang dan terus-menerus akan membuat sesuatu itu tersimpan dalam otak dan alam bawah sadar.
Hal tersebut juga berlaku untuk pornografi. Jika paparan konten pornografi terus-terusan menerpa anak, itu akan mengendap dalam benak anak dan mungkin akan membuatnya menginginkan untuk mengakses lebih, bahkan mempraktikkan apa yang dia lihat.
"Konten-konten pornografi open source dan dari media sosial yang gampang diakses, ini yang harus menjadi perhatian kita bersama," ucap Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam Majelis Ulama Indonesia Pusat itu.
Menurut Erick, orang tua berperan besar untuk mencegah anak terpapar pornografi. Ayah dan ibu harus bekerja sama mengarahkan anak, mengawasi pemakaian ponsel, serta mengecek konten-konten yang diakses anak. Selain itu, berbagai pihak juga perlu turut berkontribusi.
Peran keluarga, sekolah, lingkungan, media massa, para ulama, dan berbagai pihak lainnya perlu terus digencarkan. Sebab, dalam pendapat Erick, video viral itu bisa merupakan tanda permasalahan yang lebih besar.
"Saya menangkap masalah adab dan akhlak ini sebagai peringatan dari Allah yang ditampakkan ke kita semua. Bisa jadi, ada juga di tempat lain yang berpotensi seperti ini," ujar Erick.
Apa yang disampaikan Erick selaras dengan pemberitaan kasus pelecehan seksual oleh anak yang mengemuka. Sebut saja yang terjadi di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Desember 2023, di mana laki-laki berusia 19 tahun melakukan pencabulan dan pelecehan seksual terhadap belasan perempuan.
Bulan ini, terungkap bahwa seorang anak TK di Pekanbaru, Riau yang masih berusia lima tahun menjadi korban perlakuan cabul oleh temannya sendiri hingga berulang kali. Tindakan cabul itu terjadi pada Oktober 2023, namun orang tua korban baru mengetahuinya pada awal November 2023.
Ketika ditanya mengenai kondisi darurat pornografi yang terjadi di Indonesia, Erick berpendapat bahwa itu sudah sejak lama berlangsung. Begitu satu konten pornografi berhasil diblokir, muncul lagi yang baru.
Karena itu, amat penting menumbuhkan self-control pada anak sejak dini, melalui kerja sama kedua orang tua dalam mendidik anak serta partisipasi berbagai pihak. Masalah yang pelik tersebut perlu dihadapi bersama.
"Mari sama-sama kita concern lagi terhadap hal ini, menjaga supaya anak-anak kita tidak terkontaminasi hal-hal semacam itu," ujar Erick yang menjabat sebagai Ketua Komisi Kesejahteraan Rakyat Dewan Riset Daerah (DRD) DKI Jakarta.
Melemahnya Budi Pekerti
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Sunyoto Usman, mengemukakan beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada munculnya perilaku pelecehan seksual yang dilakukan anak-anak. Menurut Sunyoto, secara umum, ada pelemahan budi pekerti di masyarakat.
"Saya kira secara umum itu melemahnya budi pekerti ya," kata Sunyoto kepada Republika.co.id, Jumat (19/1/2024).
Sunyoto mencatat bahwa sekolah lebih fokus pada kinerja akademik, sedangkan pembentukan karakter dan budi pekerti sering kali hanya diserahkan kepada agama. Pembelajaran tentang nilai-nilai ini sering kali hanya sebagai pengetahuan, belum diarahkan untuk mengubah kesadaran dan sikap.
Faktor kedua yang disoroti Sunyoto adalah fenomena di perkotaan. Pendidikan keluarga di perkotaan cenderung melemah karena kesibukan orang tua.
Sering kali, pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, seolah-olah sekolah bisa mengubah segalanya. Padahal, di dalam sekolah pun peran yang terkait dengan budi pekerti juga cenderung melemah.
Dalam konteks masyarakat, Sunyoto menyoroti kurangnya kontrol sosial. Peran tokoh-tokoh adat dan tokoh informal dalam mengendalikan nilai-nilai kultural telah bergeser. Mereka tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat seperti dulu.
"Tokoh informal itu sudah bergeser saat ini. Tidak seperti dulu bisa memengaruhi lingkungan yang sangat kuat," ujar dia.
Sunyoto menyarankan perlunya konseling sebagai respons terhadap masalah ini. Menurut dia, lembaga-lembaga konseling dapat menjadi instrumen untuk diskusi mengenai cara mengatasi masalah anak, terutama anak-anak yang terlibat dalam tindakan kenakalan yang melibatkan hukum.
Selama ini, tiga alternatif solusi yang umumnya direkomendasikan, yaitu diserahkan kepada keluarga, diberi sanksi hukum, atau diserahkan kepada yayasan. Padahal, anak-anak tersebut perlu pendampingan yang lebih baik.
Sunyoto juga menggarisbawahi pentingnya memahami anggaran pendidikan di kementerian secara luas agar tidak hanya sebagai investasi dalam pembelajaran dan pengajaran di sekolah, melainkan juga sebagai dukungan untuk pendidikan di keluarga dan masyarakat secara lebih luas, termasuk dimensi sosial dan kultural.