Inflasi Pangan Capai 6,7 Persen, Daya Beli Masyarakat Dijaga

Saat ini inflasi volatile food di posisi 6,7 persen.

ANTARA ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Warga antre untuk membeli beras dalam pasar murah di depan kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Ngawi, Jawa Timur, Jumat (26/1/2024). Pasar murah tersebut diadakan setiap hari Jumat dan sudah berlangsung selama 3 bulan terakhir untuk menekan inflasi terutama harga beras yang hingga kini tak kunjung turun dan berada di kisaran Rp13.000 per kilogram meski di kawasan tersebut mengalami surplus beras
Rep: Iit Septyaningsih Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah fokus mengendalikan gejolak inflasi harga pangan atau volatile food guna menjaga kestabilan inflasi. Itu dinilai penting karena memengaruhi daya beli masyarakat.

“Jadi kami akan terus merumuskan langkah APBN sebagai shock absorber dalam rangka menjaga daya beli masyarakat. Terutama pada saat momentum perekonomian global melemah, kita harus melindungi dari sisi domestik,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/1/2024).

Ia menyebutkan, saat ini inflasi volatile food di posisi 6,7 persen. Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) berupaya menjaga inflasi tersebut.

"Terutama dengan daerah ini (TPID), Pak Mendagri melakukan pertemuan mingguan dengan seluruh kepala daerah. Bahkan menyampaikan eksplisit daerah mana inflasinya lebih tinggi dan rendah," tuturnya.

Sementata, lanjut dia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan dukungan dalam bentuk insentif fiskal. Disebutkan, daerah yang memiliki inflasi rendah secara konsisten diberikan penghargaan sebanyak satu kali dalam tiga bulan.

"Ini menyebabkan daerah punya awareness terhadap faktor yang berkontribusi terhadap inflasi. Terutama dari sisi distribusi logistik maupun komoditas," katanya.

Perekonomian global diproyeksikan akan melambat. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari sebelumnya 3 persen pada 2022 menjadi hanya 2,5 persen pada 2023 dan kembali melemah menjadi 2,4 persen pada 2024 ini. Dengan demikian, situasi pada 2024 lebih lemah dibandingkan 2023.

Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menyalurkan bantuan sosial (bansos) sebagai salah satu instrumen. Pada 2023, anggaran bansos mencapai Rp476 triliun, lalu naik sebesar Rp 20 triliun menjadi Rp 496 triliun pada 2024.

Dana tersebut digunakan untuk berbagai program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 9,9 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan Kartu Sembako untuk 18,7 juta KPM. Menkeu mengatakan peningkatan anggaran bansos senilai Rp 20 triliun itu telah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disetujui menjadi Undang-Undang (UU) APBN.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler