Sebar Ranjau Paku Buat Cari Nafkah, Gimana Islam Memandang Orang yang Rugikan Orang Lain?

Keberadaan penyebar ranjau paku merugikan pengguna jalan.

Republika/Putra M. Akbar
Ranjau paku (ilustrasi). Melariskan bengkel tambal ban dengan menyebar paku merupakan tindakan yang merugikan orang lain.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu, unggahan tentang penyapu ranjau paku viral di platform media sosial X (dulunya Twitter). Cicitan tersebut mengisahkan seorang pria bernama Ramdani yang mengangkat ranjau paku di jalanan dengan tongkat yang di ujungnya diberi magnet.
"Kok ada ya tukang tambal ban yang marahin tukang paku jalanan karena ngerasa dirugiin? Kalau ngga ada tukang paku kyak pak Ramdani, banyak kendaraan yang bannya bocor karena paku," kata Ardi, pemilik akun X @haluan kata.

Baca Juga


Berdasarkan cerita Ardi, Ramdani ditegur oleh tukang tambal ban untuk tidak membawa magnet kalau lewat bengkelnya. Kejadian tersebut sering sekali dialami Ramdani.
Tukang tambal ban itu disebut merasa pekerjaan Ramdani mengganggu penghasilan bengkelnya. Di lain sisi, warganet mengapresiasi tindakan Ramdani.
Lalu, bagaimana Islam memandang orang-orang yang suka merugikan seperti menebar paku untuk melariskan bengkel tambal ban?


Guru Besar di Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. mengingatkan bahwa orang yang beriman dan beragama dengan baik, mestinya juga harus berakhlak baik, tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain dengan berbagai cara, baik secara halus maupun kasar.
Contoh merugikan orang lain dengan cara halus adalah penipuan dengan cara yang canggih, sehingga orang tidak merasa seperti tidak ditipu. Sementara itu, merugikan orang lain dengan cara yang kasar, contohnya, menebar paku di jalan.
Menurut Prof. Sudarnoto, ada motif-motif jahat lainnya yang mengikuti ketika ban kendaraan sudah terkena paku. Pertama, pelaku mengikuti korban dan ditawari untuk datang ke bengkel. Kedua, korban bisa saja dirampok.
"Jadi sudah melakukan kejahatan yang berlipat. Satu, merusak ban orang. Kedua, merusak perjalanan orang, ya kan? Kemudian merusak hati orang itu, kan berarti sudah membuat sakit hati, ya kan? Yang kemudian selanjutnya tadi itu merampas, menipu, dan sebagainya," kata Prof. Sudarnoto saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Prof. Sudarnoto kemudian menjelaskan alasan orang melakukan hal tersebut. Pertama, ada kepentingan ekonomi, misalnya, orang susah mencari kerja atau karena dia memang tidak mau bekerja atau juga bingung mau bekerja apa karena belum tentu diterima, maka dia melakukan jalan pintas.
Jalan pintasnya bermacam-macam, misalnya dengan menebar paku, menodong, merampas, dan mencuri. Prof. Sudarnoto mengingatkan bahwa itu sangat merugikan.
Prof. Sudarnoto juga membagi tindakan-tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain menurut skala, yakni skala pribadi dan skala besar.  Menebar paku, menodong, merampas, dan mencuri termasuk dalam tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain secara skala pribadi. Kemudian, tindakan yang menimbulkan kerugian skala besar adalah korupsi.
Menurut Prof. Sudarnoto, langkah-langkah pencegahan perlu dilakukan. Pertama, harus ada peraturan dan hukum. Hukum adalah usaha preventif agar orang tidak melakukan kejahatan dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan secara fisik.
"Itulah makanya masyarakat perlu pemerintah yang adil, yang bisa mencegah kejahatan dengan menerapkan peraturan dan hukum," ujar dia.
Kedua, faktor pendidikan. Menurut Prof. Sudarnoto, sekolah-sekolah jangan hanya menjadi tempat belajar ilmu, tetapi harus menjadi tempat untuk menempa akhlak, membina akhlak kepribadian yang mulia di samping ilmu pengetahuan.

Ketiga, masyarakat lain mestinya juga peduli kepada lingkungan. Prof. Sudarnoto menyebut ini penting. Dia sering kali mendapatkan cerita banyak orang sedang menyaksikan kejahatan atau tindakan-tindakan yang merugikan di depan umum, tetapi mereka diam saja.

Sebut saja ketika terjadi pencopetan di kereta. Prof. Sudarnoto mengatakan orang yang dicopet atau ditodong sudah berteriak, tetapi tidak ada satu pun yang menolong.
"Padahal, pencopetnya atau pelakunya mungkin cuma ada dua-tiga orang, sementara di gerbong banyak orang, tapi tidak ada yang peduli. Ini berbahaya juga," katanya.
Prof. Sudarnoto mengingatkan, kita harus menjadi masyarakat yang peduli. Dia sering menyebutnya sebagai "caring society", yakni masyarakat yang peduli kepada lingkungan dan banyak orang.

"Nah itu mesti harus dibangun. Jadi kepedulian sosialnya harus dibangun, pendidikan harus dibangun, pendidikan agama harus dibangun, hukum juga harus ditegakkan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler