Pengamat: Ada Split Suara Cukup Fatal di 03, Bahkan di Basis-Basis Kandang Banteng
Gap suara yang jauh dinilai membuat perolehan kubu dari 02 akan sulit terkejar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC), Ahmad Khoirul Umam, mengatakan perbedaan suara pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan dua kompetitornya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD cukup besar. Hal itu terlihat berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei.
Menurut Khoirul, kondisi ini memaksa kubu Amin dan Ganjar-Mahfud menerima hasil Pilpres dengan kemenangan Prabowo-Gibran satu putaran. Karena kecenderungan hasil hitung cepat dengan penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan jauh berbeda.
"Analisa prediktif atas pertanyaan-pertanyaan kritis di atas, kemungkinan kubu 01 dan kubu 03 terpaksa menerima hasil Pilpres 2024 ini," kata Khoirul, Kamis (15/2/2024).
Khoirul menjelaskan alasan AMIN dan Ganjar-Mahfud harus menerima kekalahan adalah, pertama, gap suara antara kubu 02 dengan kubu 01 dan 03 sangatlah jauh. Jauhnya perbedaan suara yang memenangkan kubu 02 ini dipicu oleh hancurnya soliditas basis pemilih loyal paslon 03 yang betul-betul tergerus dan bermigrasi ke kubu 02.
Dengan bekal kekuatan politik berbekal kursi parlemen 25 persen dari PDIP dan PPP, dan sekarang Ganjar-Mahfud hanya mendapatkan 16 persen, maka menurut analisa Khoirul ada 9 persen pemilih yang hilang atau berpindah.
"Artinya, terjadi split ticket voting yang cukup fatal di kubu 03. Bahkan Split ticket voting itu terjadi di basis-basis kandang utama Banteng, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan lainnya. Sehingga melakukan gugatan untuk mengejar ketertinggalan suara dari kubu 02 tentu amat tidak mudah," ujar Khoirul.
Alasan kedua menurut Khoirul, partai-partai kelas menengah dan bawah secara elektoral akan cenderung 'mencari selamat' pasca kontestasi selesai. Partai-partai menengah ke bawah kata Khoirul tidak dididik untuk siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan, atau bahkan berpuasa dari kekuasaan.
"Selain akan berdampak pada aliran logistik, dalam praktiknya pilihan politik oposisi seringkali berdampak pada soliditas internal dan potensi gangguan eksternal yang bisa memecah belah kekuatan partai. Sehingga, ini bukan sekadar pragmatisme, tetapi juga cara mereka bertahan dari keterpurukan dan kehancuran kekuatan politik," ujarnya