Kejagung: Pembekingan Penambangan Timah di Bangka Terlalu Lama Dibiarkan

Galian seluas 81.462 hektare tidak memiliki IUP atau izin usaha pertambangan.

Puspenkum Kejagung
Kejagung menahan RL sebagai tersangka ke-11 dalam kasus korupsi timah PT Timah Tbk.
Rep: Bambang Noroyono Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kerugian perekonomian negara akibat kerusakan lingkungan dan ekologi disebut dampak dari penambangan timah ilegal di Provinsi Bangka Belitung yang sudah terlalu lama dibiarkan. Penambangan ilegal itu diduga tidak dilakukan penindakan hukum yang tegas.

Baca Juga


Kejaksaan Agung (Kejagung) meyakini selama ini adanya pembekingan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi penambangan timah yang berkedok resmi, maupun ilegal di tujuh wilayah kabupaten dan kota di provinsi tersebut. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi menegaskan, akan menindak para pembuat regulator di tingkat daerah, maupun di level pusat, pun juga kementerian yang melakukan pengawasan.

Hal tersebut dikatakan Kuntadi sebagai bagian dari pengusutan korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha penambangan (IUP) PT Timah Tbk. “Terkait dengan penambangan timah ilegal, pembekingan ini sudah sekian lama dibiarkan. Memang mungkin dibiarkan, dan dilakukan hanya penindakan-penindakan skalanya kecil. Bahwa memang baru kali ini, kami (Jampidsus-Kejagung) mengambil tindakan yang skala besar,” kata Kuntadi, Kamis (22/2/2024).

“Terkait dengan regulator, dari pejabat di daerah, juga di instansi pusat (kementerian) tentu saja masih kami evaluasi untuk didalami terus, apakah ditemukan keterlibatan pidananya. Tentu saja yang turut terlibat, turut juga ada pertanggungjawaban hukumnya,” tegas Kuntadi menambahkan.

Jampidsus-Kejagung bersama tim ahli lingkungan dan ekologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) merilis hasil penghitungan kerugian perekonomian negara akibat kerusakan lingkungan dan ekologi dampak dari korupsi penambangan timah di Bangka Belitung sepanjang 2015-2023. Profesor Bambang Hero Suharjo selaku guru besar perlindungan hutan dan ahli lingkungan hidup, salah satu anggota tim, dalam pemaparannya, Senin (19/2/2024) mengungkapkan, nilai kerugian akibat kerusakan lingkungan dari korupsi tersebut mencapai Rp 271 triliun.

Galian tanpa izin...

 

Bambang menjelaskan, wilayah penghitungan kerusakan lingkungan berada di tujuh titik kawasan eksplorasi penambangan timah di lokasi milik PT Timah Tbk di Bangka Belitung. Kata dia, dari penghitungannya tercatat 170,36 ribu Hektare (Ha) galian.

Cakupan luas galian penambangan tersebut terdiri dari 75,34 ribu Ha galian di kawasan hutan dan 95,01 ribu Ha galian di kawasan nonhutan. Dari total luas galian tersebut, kata Bambang terverifikasi hanya 88,90 ribu Ha yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP). “Selebihnya galian seluas 81.462,602 hektare tidak memiliki IUP atau non-IUP,” kata Bambang, Senin (19/2/2024).

Bambang melanjutkan, dari pemantauan berdasarkan satelit, dan hasil tinjauan langsung di lapangan, diketahui pembukaan kawasan pertambangan timah di wilayah daratan, dan laut mencapai 915,85 ribu Ha. Pembukaan kawasan pertambangan itu, terbagi seluas 349,65 ribu Ha di wilayah daratan, dan 566,20 ribu Ha pembukaan pertambangan di areal laut-perairan.

“Dari 349.653,574 hektare pertambangan yang berada di kawasan darat tersebut, 123.012,010 hektare di antaranya berada di dalam kawasan hutan lindung,” tegas Bambang.

Dari penghitungan timnya, kata Bambang, kerusakan lingkungan atau ekologi dari dampak eksplorasi timah tersebut, terbagi ke dalam tiga klaster. Pertama terkait dengan kerugian lingkungan atau ekologis sebesar Rp 183,70 triliun.

Klaster kedua dalam kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,47 triliun. Terakhir terkait dengan kerugian dalam kewajiban pemulihan lingkungan senilai Rp 12,15 triliun. “Sehingga total kerugian negara dari kerusakan lingkungan hidup setotal Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun),” kata Bambang. 

Dalami peran kementerian ESDM dan LHK...

 

Kuntadi, pada Selasa (20/2/2024) menyampaikan, akan mendalami peran sejumlah pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) dalam kasus tersebut. Kuntadi menerangkan, pendalaman peran para pejabat di Kemen ESDM tersebut mengingkat korupsi timah yang dalam penyidikan tersebut dilakukan dilokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Namun, eksplorasinya diserahkan ke perusahaan-perusahaan swasta boneka. Pun juga, kata Kuntadi aktivitas penambangan tersebut sebagian ilegal karena dilakukan di kawasan yang tak ada IUP-nya. Serta aktivitas penambangan timah ilegal tersebut, yang juga masuk ke wilayah-wilayah perhutanan lindung.

“Terkait dengan pengawasan lingkungan, dan pertanggung jawaban hukumnya, kita masih terus mendalami pihak-pihak yang (diduga) terlibat di dalam kasus ini. Apakah itu dari kementerian yang mengawasi ada pembiaran, ataupun justru turut serta dalam perbuatan kejahatan di dalamnya, termasuk dari KLHK, dan juga Kementerian ESDM,” kata Kuntadi di Kejagung, Jakarta, Selasa (20/2/2024).

“Apakah nanti ada keterlibatan dari pihak-pihak tersebut? Semua pihak kami pandang perlu untuk dimintai keterangannya. Dan apabila kami temukan di situ ada pelanggaran hukumnya, pasti kami minta pertanggung jawaban hukumnya,” sambung Kuntadi. 

Hingga Kamis (22/2/2024) penyidikan kasus tersebut sudah menetapkan 13 orang sebagai tersangka. Dua di antaranya, adalah penyelenggara negara. Yakni  Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) yang ditetapkan tersangka selaku Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk, dan Emil Emindra (EE), yang dijerat tersangka terkait perannya sebagai Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Timah Tbk.

Tersangka lainnya, adalah pengusaha-pengusaha swasta dari perusahaan-perusahaan penambangan timah. Tiga belas tersangka perorangan tersebut dijerat dengan sangkaan pokok perbuatan korupsi, dan satu tersangka dijerat obstruction of justice atau perintangan penyidikan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler