PBB: Krisis Iklim adalah Krisis Kesehatan
Perubahan iklim berkontribusi terhadap kondisi darurat kesehatan manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bumi telah mencatat suhu rata-rata yang lebih tinggi setiap tahunnya, dengan tahun 2023 menjadi rekor terpanas. Lapisan es mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kebakaran hutan telah membuat udara menjadi berbahaya di beberapa wilayah, sementara di wilayah lain, banjir secara teratur mengancam untuk mencemari air minum.
Dengan latar belakang ini, semakin banyak orang yang terkena dampak bencana, penyakit yang sensitif terhadap iklim, dan kondisi kesehatan lainnya.
Perubahan iklim memperburuk beberapa ancaman kesehatan yang sudah ada dan menciptakan tantangan kesehatan masyarakat yang baru. Di seluruh dunia, hanya dengan mempertimbangkan beberapa indikator kesehatan, 250.000 kematian tambahan per tahun akan terjadi dalam beberapa dekade ke depan karena perubahan iklim, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, mengatakan bahwa perubahan iklim telah berdampak langsung pada kesehatan. Karenanya, dia pun mengapresiasi inisiatif COP28 yang mendedikasikan hari khusus kesehatan untuk menyoroti kemitraan publik-swasta untuk aksi iklim kesehatan dan untuk membuka komitmen keuangan dan politik yang relevan.
"Meskipun krisis iklim adalah krisis kesehatan, baru COP28 kita berdiskusi serius tentang kesehatan masyarakat,” kata Tedros seperti dilansir UN, Kamis (29/2/2024).
Perubahan iklim secara langsung berkontribusi pada keadaan darurat kesehatan kemanusiaan yang disebabkan oleh gelombang panas, kebakaran hutan, banjir, badai tropis dan angin topan. Guncangan iklim tersebut dan guncangan iklim serupa lainnya semakin meningkat dalam skala, frekuensi, dan intensitasnya.
Lebih dari tiga miliar orang telah tinggal di daerah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, menurut badan kesehatan PBB. Antara tahun 2030 dan 2050, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan puluhan ribu kematian tambahan per tahun akibat kekurangan gizi, malaria, diare, dan stres akibat cuaca panas.
Dampak-dampak ini terhadap kesehatan dan kehidupan sehari-hari dirasakan di seluruh dunia, dan masyarakat adat sering kali menanggung beban terberat.
Reudji Kaiabi, bagian dari suku Kaiabi yudja yang tinggal di wilayah Aldeia Pequizal, Xingu, Mato Grosso, Brazil, mengatakan bahwa meskipun komunitasnya dikelilingi oleh hutan, perubahan iklim sangat mempengaruhi mereka.
“Kami mengalami banyak gelombang panas, perkebunan kami sekarat, masyarakat menderita. Sungai mulai mengering, ikan-ikan mati, dan hewan-hewan tidak dapat hidup di sini lagi," katanya menggambarkan dengan jelas bagaimana perubahan iklim berdampak pada tanah airnya.
Pada pertemuan di COP28, Tedros juga menyoroti beberapa elemen yang sangat penting dalam membangun tanggapan yang efektif untuk mengatasi tantangan kesehatan dan iklim. Dia menunjukkan bahwa para pemimpin harus memahami betapa pentingnya untuk fokus pada keterkaitan antara dampak kesehatan dan iklim, sehingga kesehatan dapat diarusutamakan ke dalam kebijakan iklim.
“Keterlibatan masyarakat juga sama pentingnya, termasuk masyarakat yang terpinggirkan dan rentan, yang sering kali berada di garis depan dalam menghadapi tantangan iklim. Perspektif mereka dalam upaya mitigasi dan adaptasi harus diikutsertakan,” kata dia.
Tedros juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama antar negara, belajar dari contoh-contoh sukses negara lain, dan kemudian menerapkannya dalam konteks lokal.