Apakah Amil Perorangan di Masjid Dapat Jatah Zakat Fitrah?

Hak amil adalah 12,5 persen atau 1/8 dari harta zakat yang terkumpul.

Republika/Yogi Ardhi
Seorang muzaki membacakan ijab kabul penyerahan zakat fitrah.
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara umum zakat fitrah wajib dilakukan bagi umat Islam yang mampu. Biasanya, zakat fitrah dikeluarkan umat Islam sejak awal Ramadhan hingga saat matahari mulai terbenam di akhir bulan Ramadan. Zakat fitrah ini pun dikelola oleh amil zakat.  

Amil zakat adalah panitia atau badan yang dibentuk pemerintah. Dalam konteks di Indonesia, lebih tepatnya adalah lembaga atau badan yang sudah mendapatkan izin operasional dari pemerintah, dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).

Amil zakat ditugaskan berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari Baznas. Mereka pun berhak mendapatkan bagian dari zakat fitrah yang ditunaikan muzakki. Hak amil adalah 12,5 persen atau 1/8 dari harta zakat yang terkumpul.

Namun, bagaimana amil zakat perorangan yang tidak mendapatkan SK dari pemerintah, apakah juga mendapatkan jatah bagian? Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Abdul Muiz Ali menjelaskan amil zakat yang mendapatkan SK resmi dari pemerintah atau dari Baznas berhak menerima zakat dari muzakki, lalu didistribusikan kepada para mustahik.

"Maka, kalau ada kelompok swadaya masyarakat yang ia kapasitasnya tidak mendapatkan SK dari pemerintah, ya berarti bukan amil zakat. Maka, ia tidak mendapatkan jatah," ujar Kiai Muiz Ali kepada Republika.co.id, Ahad (17/3/2024).


Kiai Muiz sendiri masih banyak menemukan...

Kiai Muiz sendiri masih banyak menemukan orang yang menerima zakat fitrah di mushala atau masjid, padahal dia bukan amil resmi yang sudah mendapatkan SK dari pemerintah atau Baznas.

"Jadi kalau gak dapat SK dari pemerintah kayak yang sering ditemukan di masjid dan mushala itu bukan amil, ia tidak mendapatkan apa-apa. Dia hanya membantu proses pelaksanaan. Maka, sifatnya dia sebagai wakil dari muzakki, wakil dari orang yang mau menegeluarkan zakat," ucap Kiai Muiz.  

Dia pun menyayangkan adanya para pemilik mushala yang masih mengambil jatah dari zakat fitrah. Karena, menurut dia, sebenarnya mereka bukanlah amil resmi yang ditunjuk pemerintah.

"Banyak pemilik mushala atau masjid memberikan imbauan yang mau mengeluarkan zakat bisa melalui masjid ini. Itu statusnya bukan amil. Maka, mereka itu gak berhak mengambil jatah itu," kata dia.

Tidak hanya itu, kata dia, ada juga praktik yang lebih parah lagi, yang sebenarnya menyalahi tata cara pengelolaan zakat fitrah. Misalnya, zakat fitrah yang telah ditunaikan masyarakat itu ternyata dijual lagi untuk kemudian digunakan untuk operasional mushalanya atau masjidnya.

"Kadang kan begini orang-orang itu, zakatnya itu kalau misalkan beras itu dijual. Ada kalanya untuk operasional kegiatannya atau diberikan untuk ke mushala. Padahal, mestinya bukan begitu," jelas Kiai Muiz.

Seharusnya, menurut dia, setelah menerima zakat...

Seharusnya, menurut dia, setelah menerima zakat fitrah berupa beras dari masyarakat, maka harus diberikan kepada mustahiknya, yaitu orang fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, pejuang fi sabilillah, dan ibnu sabil.

"Jadi bukan ditumpuk-tumpuk lalu dijual, apalagi dijual untuk operasional kegiatannya," ujar Kiai Muiz.

Kiai Muiz menambahkan, masyarakat biasanya menunaikan zakatnya dengan uang atau dengan beras. Namun, ada juga masyarakat yang tetap ingin menunaikan fitrahnya dengan beras, tapi ketika sampai masjid dia hanya membawa uang.

Lalu, amil pun terkadang menjual beras yang sudah dikumpulkan untuk dibeli oleh orang yang mau zakat tersebut. Padahal, menurut dia, praktik seperti itu tidak boleh dilakukan seorang amil.

"Misalnya, kalau ada orang berikutnya mau zakat fitrah pakai beras padahal dia bawa uang dari rumahnya, beras yang sudah diterima itu seolah-olah dijual, padahal itu bukan miliknya. Nah, itu gak boleh," ucap Kiai Muiz.

Lalu solusinya bagaimana?

Menurut Kiai Muiz, solusinya adalah amil zakat itu bisa bekerja sama dengan toko beras atau pun bisa menyediakan beras jual beli di masjid. Jadi, bukan menggunakan beras yang sudah dikumpulkan dari muzakki.

"Jadi beli dulu beras lalu dizakatkan, bukan menggunakan berasnya orang yang sudah dizakatkan yang ditumpuk itu seolah-olah diakad, bukan begitu," kata Kiai Muiz.

Dia menambahkan, masih banyak pengelola masjid yang tidak memahami tata kelola zakat fitrah. Sehingga, praktik-praktik salah di atas masih banyak dilakukan.  

"Pengelola di masjid yang tidak paham tata kelola yang benar, itu melakukan itu di beberapa tempat. Padahal jelas salah itu," jelas Kiai Muiz.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler