Telegraph: Israel Akui tak Bisa Hancurkan Hamas Setelah AS tak Veto Resolusi DK PBB
AS dikabarkan tak lagi mendukung rencana serangan Israel ke Rafah, Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Seorang intelijen Israel mengatakan kepada Telegraph bahwa, tujuan pemerintahan Benjamin Netanyahu untuk melenyapkan Hamas dari Jalur Gaza saat ini menjadi semakin tidak tercapai. Terlebih setelah Amerika Serikat mengambil sikap abstain saat voting sebuah resolusi gencatan senjata di DK PBB pada awal pekan ini.
"Jika anda bertanya kepada saya sebulan lalu, saya pasti akan menjawab iya (apakah Israel bisa melenyapkan Hamas) karena pada saat itu, Amerika masih mendukung penuh Israel," ujar pejabat intelijen yang tak disebutkan identitasnya itu dikutip, Kamis (28/3/2024).
“AS tidak mendukung serangan ke Rafah, sehingga kartunya sekarang sedang tidak bagus, dalam artian Israel harus melakukan sesuatu yang dramatis dan drastis untuk mengubah momentum," sumber Telegraph, menambahkan.
Menurut sumber itu, keyakinan di antara struktur organisasi keamanan Israel adalah, bahwa Hamas saat ini tengah berfokus untuk bisa bertahan hingga musim panas tahun ini, berbarengan dengan masa kampanye Pilpres di AS.
Meski sumber Telegraph menyebut AS telah meninggalkan Israel sendirian berperang di Gaza, beberapa media barat melaporkan, Washington telah mengambil keputusan untuk tetap membantu rencana operasi serangan Israel ke Rafah, kota di bagian selatan Gaza di mana saat ini 1,5 juta warga Palestina berlindung. Tekanan global pun terus meningkat kepada Israel dan negara-negara Barat agar mereka menghentikan peperangan dan membolehkan bantuan masuk ke Gaza demi mengatasi bencana kelaparan.
Namun demikian, para pejabat Israel tetap berkeyakian bahwa, operasi ke Rafah adalah sebuah keharusan untuk menghancurkan batalion terakhir Hamas. Di samping rencana serangan ke Rafah, pertempuran sengit antara pejuang Palestina dan IDF terus terjadi setiap harinya di utara dan bagian tengah Gaza.
Terkait rencana serangan ke Rafah, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan media lokal Israel pada Kamis (28/3/2024), akan akan mengirim utusan ke Amerika Serikat pekan depan. Langkah itu diambil Netanyahu setelah dia membatalkan kunjungannya ke Washington pada Senin pekan ini setelah AS tidak memveto resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan senjata ke Gaza, tetapi tidak mendorong pelepasan sandera yang ditawan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Namun pada Kamis, Gedung Putih mengumumkan bahwa Netanyahu setuju untuk menjadwal ulang pertemuan soal operasi di Rafah itu. Seorang sumber mengatakan bahwa Washington telah menghubungi kantor Netanyahu untuk meminta jadwal baru kunjungan pejabat Israel, tetapi tanggal pertemuan belum ditetapkan, dan sang perdana menteri belum menyetujui kunjungan itu.
"Namun, tidak tertutup kemungkinan delegasi akan berangkat pekan depan," kata sumber itu, yang berbicara secara anonim, kepada portal berita Ynet.
Menurut sejumlah sumber lain, sebagian besar menteri Israel meyakini bahwa batalnya kunjungan ke AS adalah kesalahan, sehingga utusan perlu diberangkatkan secepat mungkin. Pada 14 Maret, Dana Kependudukan PBB mengatakan 1,5 juta orang diperkirakan sedang mengungsi di Rafah dan sebagian besar dari mereka kekurangan bahan bakar, air dan obat-obatan setelah Jalur Gaza, wilayah kantong Palestina, digempur habis-habisan oleh Israel.
Pekan lalu, Netanyahu mengatakan dirinya masih bertekad untuk menggempur Rafah karena tidak ada cara lain untuk menumpas Hamas, dan dia akan melakukan hal itu dengan atau tanpa dukungan AS. Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan roket besar-besaran ke Israel dari Gaza dan menerobos perbatasan. Serangan itu menewaskan 1.200 orang dan Hamas menyandera 240 orang lainnya.
Israel lalu membalas dengan serangan habis-habisan, memblokade penuh Gaza, melancarkan serangan darat di dalam wilayah kantong Palestina itu untuk "menumpas pejuang Hamas dan membebaskan sandera". Lebih dari 32.500 orang telah tewas di Jalur Gaza, menurut otoritas setempat.