Sejarah Mudik, Benarkah Sudah Ada Sejak Zaman Kerajaan Majapahit?
Mencintai tempat kelahiran bisa disebut sebagai fitrah dan karakteristik manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi masyarakat Indonesia, mudik menjadi fenomena sosial yang rutin dilakukan oleh para perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Kegiatan mudik biasanya dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha.
Kementerian Perhubungan memprediksi puncak arus mudik Lebaran 2024 akan terjadi pada 8 April 2024 dan puncak arus balik berada di 14 April 2024. Berdasarkan survei Kemenhub sebanyak 71,7 persen warga Indonesia atau 193 juta orang akan mudik lebaran 2024.
Meski istilah mudik mulai populer sejak 1970-an, tetapi akar sejarahnya sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. “Konon, kegiatan mudik dilakukan oleh para petani Jawa untuk kembali ke kampung halamannya atau daerah asalnya untuk membersihkan makam leluhurnya,” ujar Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Abdul Muiz Ali, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/4/2024).
Mencintai Tanah Air atau tempat kelahiran bisa disebut sebagai fitrah dan karakteristik manusia. Seseorang pasti akan ingat kampung halaman, terlebih saat momentum Lebaran seperti hari raya Idul Fitri atau Idul Adha.
Dikisahkan, karena cintanya Rasulullah SAW terhadap Kota Makkah, sebagaimana manusia pada umumnya, Rasulullah SAW merasakan sedih meninggalkan kota Makkah. Seandainya bukan perintah Hijrah, tentu Rasulullah SAW tidak meninggalkan Makkah. Rasulullah sangat mencintai tanah kelahirannya, yaitu Makkah.
“Ekspresi cinta Rasulullah SAW terhadap tanah kelahirannya, terlihat dari riwayat Ibnu Abbas dalam hadist riwayat al-Tirmidzi. Ia menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasullullah pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan kerinduan Nabi Muhammad terhadap Makkah,” ungkap Abdul Muiz.
Rasulullah SAW mengatakan, "Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Makkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini". (HR Al-Tirmidzi)
Abdul Muiz memaparkan tata cara mudik secara Islami. Dalam istilah fikih, orang yang bepergian atau dalam perjalanan disebut musafir. Bagi musafir boleh mengerjakan sholat dengan cara diringkas (qasar sholat), menggabung dua sholat fardhu dalam satu waktu (jamak shalat) dan juga boleh tidak berpuasa.
Perjalanan mudik yang dilakukan pada saat menjelang Idul Fitri hendaknya dapat memperhatikan anjuran dan ketentuan sebagai berikut:
1. Berdoa
Pada saat hendak mudik, ketika sudah memulai melakukan perjalanan hendaknya kita memohon kepada Allah agar selamat sampai tujuan. Berikut ini doa yang selalu dibaca Rasulullah SAW setiap bepergian.
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ
"Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, kesedihan tempat kembali, doa orang yang teraniaya, dan dari pandangan yang menyedihkan dalam keluarga dan harta". (HR Tirmdzi dan Ibnu Majah)
2. Boleh menggabung dan meringkas sholat
Perjalanan yang sudah mencapai kurang lebih 89 km (88,704 km) maka seseorang diperbolehkan meringkas shalatnya atau menggabung dua shalat dalam satu waktu.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
"Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas sholat". (QS An-Nisa: 101)
Praktik meringkas sholat (qasar sholat) hanya berlaku untuk sholat bilangan empat rakaat seperti Asar dan Isya yang kemudian diringkas menjadi dua rakaat. Sedangkan praktik menggabungkan dua sholat (jamak sholat) dalam satu waktu hanya bisa dilakukan untuk sholat Zuhur digabung dengan Ashar, Maghrib digabung dengan Isya'. Untuk sholat Subuh tidak bisa digabung apalagi diringkas.
3. Boleh tidak puasa
Seseorang yang melakukan perjalanan dengan ketentuan jarak tempuh sebagaimana disebutkan, boleh menggabung (jamak) atau meringkas (qasar) shalat, ia juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Puasa yang ditinggalkan karena bepergian wajib diganti setelah bulan Ramadhan.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"...Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." (QS al-Baqarah: 185).
Memilih waktu yang tepat untuk mudik dan menyiapkan bekal selama dalam perjalanan itu penting. “Selain hal di atas tentu tidak kalah pentingnya adalah membekali kita dengan ilmu pengetahuan tentang tata cara ibadah dalam selama dalam perjalanan,” ujar Abdul Muiz mengakhiri.