Cara Krisis Iklim Turunkan Kualitas Belajar di Asia
Hawa yang terlalu panas buat Filipina dan Bangladesh menutup sejumlah sekolah.
REPUBLIKA.CO.ID, Cuaca panas terik dapat berdampak buruk bagi para pelajar. Di Filipina, indeks panas telah mencapai 50 derajat Celcius.
Penyebabnya adalah fenomena cuaca El Nino yang memperparah suhu panas pada bulan-bulan musim panas antara Maret hingga Mei. Bukan tak mungkin hawa panas menurunkan kualitas pendidikan.
Filipina memiliki nilai terendah di dunia dalam bidang matematika, sains, dan membaca, sebagian karena pembelajaran jarak jauh yang tidak memadai selama pandemi, menurut Programme for International Student Assessment, sebuah studi internasional tentang sistem pendidikan.
"Sekarang cuaca sangat panas. Panasnya membakar kulit saya, tidak seperti panas (musim panas) biasanya yang masih bisa ditoleransi," kata seorang siswa sekolah menengah atas, Kirt Mahusay (23 tahun), yang pendidikannya terhenti selama Covid-19.
Ribuan sekolah telah meliburkan kelas karena cuaca panas, yang berdampak pada lebih dari 3,6 juta siswa, menurut data Kementerian Pendidikan. "Pada bulan Mei, kami memperkirakan akan ada lebih banyak penangguhan kelas karena gelombang panas. Kami melihat suhu rata-rata lebih dari 52 derajat Celcius, jadi bisa dibayangkan betapa stresnya hal itu bagi para siswa," kata Xerxes Castro, penasihat pendidikan dasar untuk Save the Children Filipina, seperti dilansir Reuters, Kamis (2/5/2024).
Panas terik yang menyebar di sebagian besar Asia Selatan dan Tenggara telah diperburuk oleh perubahan iklim, sehingga mempersulit para siswa untuk belajar. Menurut Save the Children Philippines, anak-anak sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan panas seperti pusing, muntah, dan pingsan ketika terpapar panas yang ekstrem dalam waktu yang lama.
Para siswa dan guru telah menyatakan keprihatinan mereka mengenai kesulitan dalam proses belajar mengajar jarak jauh. Terutama di daerah-daerah miskin di mana rumah-rumah tidak kondusif untuk belajar dan mungkin tidak memiliki akses ke konektivitas internet yang baik.
"Saya tidak bisa fokus karena saya pusing karena kepanasan,” kata Esmaira Solaiman, seorang siswa SMA berusia 20 tahun yang pembelajarannya tertunda selama pandemi, setelah menghadiri kelas daring dari rumah.
Para siswa yang menghadiri kelas tatap muka di ibu kota Manila menggunakan kipas angin portable, buku catatan, dan bahkan kotak kardus untuk mendapatkan sedikit angin segar.
"Tekanan darah saya sudah meningkat karena panas. Punggung kami basah dan terkadang kami merasa pusing,” ujar Memia Santos, seorang guru sekolah menengah berusia 62 tahun.
Di Bangladesh hawa panas juga mempengaruhi proses belajar mengajar. Bangladesh kembali menutup semua sekolah dasar dan institusi pendidikan di hampir separuh distrik termasuk ibukota, karena gelombang panas yang parah membuat suhu naik di atas 43 derajat Celcius pada Senin (29/4/2024) waktu setempat.
Sekolah-sekolah di Bangladesh yang ditutup pekan lalu karena gelombang panas dibuka kembali pada Ahad, meskipun suhu tinggi terus berlanjut yang membuat tingkat kehadiran siswa menurun.
Kelas-kelas di semua sekolah dasar pemerintah akan ditutup hingga Kamis dan lembaga-lembaga pendidikan di 27 distrik dari 64 distrik, termasuk ibu kota Dhaka, tutup hingga Selasa. Demikian menurut pengumuman dari Kementerian Pendidikan Bangladesh.
“Jika suhu di distrik mana pun melebihi 42 derajat Celcius, lembaga-lembaga pendidikan di distrik-distrik tersebut akan ditutup,” kata Menteri Pendidikan Mohibul Hasan Chowdhury Nowfel seperti dilansir Reuters.
Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan iklim berkontribusi pada gelombang panas yang lebih sering, parah, dan panjang selama bulan-bulan musim panas.
Sepanjang bulan April 2024, Bangladesh telah dilanda gelombang panas setiap harinya kecuali pada tanggal 9 dan 10 April. Pihak berwenang telah mengimbau seluruh warga untuk tetap berada di dalam rumah pada siang hari.
Akan tetapi imbauan tersebut sulit diterapkan oleh mereka yang bekerja di luar ruangan seperti pengemudi becak bernama Mohammed Shameem.
"Terlalu sulit untuk bekerja di bawah terik matahari selama gelombang panas. Tidak banyak orang yang keluar sehingga sulit untuk mendapatkan penumpang. Tapi kami tidak punya pilihan selain keluar dan bekerja," kata Shameem.
Seperti Shameem, puluhan ribu operator becak di Dhaka menderita di bawah teriknya matahari berusaha mencari nafkah. Sementara itu, kebanyakan orang memilih untuk tetap tinggal di dalam rumah.
"Saya tidak pernah mengalami panas seperti ini dalam hidup saya. Ya, musim panas memang seharusnya panas, tapi pasti ada hembusan angin dan hujan. Namun kali ini hal itu tidak terjadi. Rakyat sangat menderita," kata operator becak, Shaheb Ali.