PPDS Berbasis RS Pendidikan Diharapkan Dapat Penuhi Kebutuhan Dokter Spesialis
Indonesia masih kekurangan lebih dari 27 ribu dokter spesialis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mencanangkan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit pendidikan dan kolegium pada Senin (6/5/2024). Kebijakan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dokter spesialis di Indonesia.
Budi mengatakan bahwa saat ini produksi dokter spesialis Indonesia mencapai 2.700 per tahunnya. Kebutuhan nasional berkisar antara 29 ribu hingga 30 ribu.
"Jadi butuh waktu 10 tahun lebih. Dan itu terjadi terus setiap tahun. Sebagai komparasi, Inggris yang penduduknya 50 juta, seperenam dari Indonesia, produksi dokter spesialisnya 12 ribu per tahun. Hampir lima kali lipat dari produksi di Indonesia," ujar Budi dalam peluncuran program pendidikan dokter spesialis dengan rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama (PPDS RSPPU) di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita di Jakarta.
Budi menuturkan, selama 79 tahun, distribusi dokter yang tidak merata di Tanah Air masih menjadi masalah yang tak dapat diselesaikan. Oleh karena itu, Pemerintah berkolaborasi dengan Institute of Health Metric Evaluation (IHME) dalam pembuatan kebijakan bidang kesehatan untuk 15 tahun ke depan.
IHME membantu menghitung kebutuhan dokter spesialis di level kabupaten dan kota, berdasarkan pola demografis dan epidemiologis, dan mendapatkan angka 29 ribu tersebut. Oleh karena itu, Indonesia pun mengadopsi sistem pendidikan berbasis RS, yang sudah menjadi standar global, guna memenuhi kebutuhan dokter spesialis.
"Ada 420 rumah sakit pendidikan sekarang akan mendampingi 24 fakultas kedokteran yang sudah melakukan pendidikan spesialis, sehingga bukan hanya 24 fakultas kedokteran yang bisa produksi dokter spesialis, tapi ditambah lagi 420," katanya.
Budi menyebut, pendidikan spesialis dokter memakan biaya yang mahal. Akan tetapi, pada program ini, para residen tidak perlu membayar uang kuliah ataupun uang pangkal, dan mendapatkan keuntungan yang sama dengan tenaga kerja lainnya.
"Mereka akan mendapat perlindungan kesehatan, perlindungan hukum, jam kerja yang wajar, dan statusnya bukan status di bawah. Bukan status pesuruh, bukan status pembantu," katanya.
Untuk kualitas program, lanjut Budi, pihaknya melibatkan seluruh kolegium Indonesia untuk pembuatan kurikulum. Kemenkes juga berkolaborasi dengan para ahli dari luar negeri untuk memperkaya kurikulum tersebut.
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan, Indonesia kini masih kekurangan lebih dari 27 ribu dokter spesialis. Program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit pendidikan nantinya memprioritaskan para dokter dari daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).
Menurut Arianti, selain peralatan, tenaga medis menjadi salah satu faktor penting guna mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dokter spesialis dibutuhkan terutama untuk menangani empat penyakit penyebab kematian tertinggi, yakni strok, penyakit jantung, kanker, dan penyakit ginjal.
Pihaknya juga menggandeng Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME), yang mengakreditasi program sejenis yang ada di Amerika, Singapura, Filipina, dan lain-lain. ACGME dilibatkan guna memastikan standar PPDS berbasis RS berkualitas global.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, terdapat enam RS milik Kemenkes yang sudah ditunjuk sebagai RSP-PU Pilot atau percontohan untuk program studi dokter spesialis, yakni RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (6 kuota), RS Anak dan Bunda Harapan Kita (6 kuota), RS Ortopedi Soeharso (10 kuota), RS Mata Cicendo (5 kuota), RS Pusat Otak Nasional (5 kuota), dan RS Kanker Dharmais (6 kuota).
Sementara itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia berharap PPDS berbasis Rumah Sakit Pendidikan (RSP) mampu menjawab masalah maladistribusi dokter spesialis di Indonesia. Penyebaran dokter tidak lepas dari adanya peran serta supervisi kolegium, sehingga diharapkan kerja sama seluruh pihak dapat berjalan dengan baik.
"Yang paling penting juga untuk diperkuat bukan hanya produksi, tapi kita juga harus bicara bagaimana nanti ada sebuah regulasi yang mempertegas bahwa produksi ini akan ada yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia, sehingga juga akan bisa menjawab masalah maaldistribusi," kata Ketua Umum PB IDI Dr Moh Adib Khumaidi saat ditemui di Jakarta, Senin.
Adib juga menekankan kepada seluruh pihak terkait untuk tidak membeda-bedakan antara dokter spesialis lulusan PPDS berbasis universitas maupun PPDS berbasis RSP. Sebab, semua nanti akan bekerja untuk masyarakat, dengan kompetensi yang sama.
"Tidak boleh ada perbedaan antara satu dokter dengan dokter lainnya dalam aspek profesionalisme, kolegialitas, dan etika," ujarnya.