4 Orang Terkenal dalam Kasus Korupsi Timah dan Sepak Terjang Mereka
Kasus korupsi timah menjerat sejumlah publik figur
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengusutan korupsi penambangan timah ilegal di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung sudah menetapkan total 21 orang sebagai tersangka.
Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan tiga tersangka di antaranya adalah pihak swasta dari jajaran orang-orang terkenal dari kalangan publik figur, dan pengusaha kelas atas. Mereka di antaranya, Helena Lim (HLM), Harvey Moeis (HM), dan Hendry Lie (HL).
Helena Lim
Helena ditetapkan tersangka sejak Selasa (26/3/2023) lalu. Pengusaha perempuan kaya raya yang digelari sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta Utara itu, ditetapkan tersangka terkait perannya sebagai manager marketing dari PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
Helena yang juga terkenal sebagai motivator dan sosialitas-selebgram itu, digelandang ke sel tahanan oleh tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) di Rutan Salemba, Jakarta Pusat (Jakpus).
Bukan cuma dijerat dengan sangkaan pokok tindak pidana korupsi, Helena juga dijerat dengan sangkaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi pernah menerangkan peran perempuan kelahiran November 1976 itu dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 271 triliun tersebut lantaran partisipasi aktivnya dalam pemberian bantuan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka lain soal pengelolaan hasil tambang timah ilegal.
“Yaitu terkait dengan pemberian bantuan berupa kerja sama dalam penyewaan peralatan processing timah, di mana yang bersangkutan (Helena) memberikan sarana kepada PT QSE untuk kepentingan dan keuntungan para tersangka lain,” begitu kata Kuntadi.
Keterlibatan lainnya, kata Kuntadi, tersangka Helena sebagai general manager PT QSE juga membantu penyaluran keuntungan ilegal dari perusahaan milik para tersangka lain ke dalam bentuk bantuan ke masyarakat. “Dengan dalih melalui penyaluran CSR yang CSR itu sebagai dalih saja,” begitu ujar Kuntadi.
Terkait Helena, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Selasa (26/3/2024), pada Sabtu (9/2/2024), tim penyidikan Jampidsus pernah menggeledah dan menyita sejumlah uang yang diduga bersumber dari tindak pidana kejahatan timah, yang disimpan di rumah, dan kantor milik Helena.
Pada 9 Maret 2024, tim penyidik Jampidsus meyita uang senilai total Rp 33 miliar dalam bentuk mata uang lokal Rupiah (Rp), dan dolar Singapura (USG) dari penggeledahan terkait Helena di PT QSE dan PT SD, serta di rumah tinggal Helena di kawasan PIK II Jakut.
Harvey Moeis
Sehari setelah penyidik Jampidsus mengumumkan Helena, pada Rabu (27/3/2024), menyusul Harvey yang ditetapkan sebagai tersangka. Harvey adalah tersangka ke-16 yang diumumkan. Harvey merupakan pengusaha muda tenar di lahan penambangan timah maupun batubara.
Laki-laki 38 tahun kelahiran Pangkal Pinang itu, adalah suami dari aktris terkenal Sandra Dewi. Harvey, pun punya latar belakang keluarga kaya raya dari Hayong Moeis, bapaknya yang merupakan konglomerat di pertambangan batu bara.
Harvey Moeis, sejak diumumkan tersangka, Rabu (27/3/2024) hingga kini masih mendekam di sel tahanan di Rutan Salemba, cabang Kejaksaan Agung, di kawasan Blok-M Jakarta Selatan (Jaksel). Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi pernah mengungkapkan, peran Harvey dalam kasus ini terkait posisinya sebagai perpanjangan tangan atas kepemilikan PT Rafined Bangka Tin (RBT).
Perusahaan tersebut, adalah salah-satu badan usaha swasta yang menginisiasi perjanjian kerja sama dengan PT Timah Tbk dalam eksplorasi penambangan timah di lokasi milik PT Timah Tbk.
PT RBT, juga merupakan perusahaan pengepul bijih-bijih timah ilegal yang diperoleh di lahan IUP PT Timah Tbk, lalu dilogamkan untuk selanjutnya dijual ke PT Timah Tbk. Dalam penyidikan terungkap, penginisiasi kegiatan tersebut, adalah Harvey.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi juga mengungkapkan, Harvey juga yang memerintahkan empat perusahaan smelter timah lainnya, yakni PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Tinindo Inter Nusa (TIN) untuk bergabung dalam kerja sama ilegal dengan PT Timah Tbk itu.
“Dalam komunikasi dan hubungan tersebut, suadara tersangka HM, bersama tersangka MRPT meminta partisipasi untuk akomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Dan dari beberapa kali pertamuan, disepakati kegiatan mengakomodir tersebut dicover (dibalut) dengan sewa-menyewa peleburan timah yang selanjutnya tersangka HM menghubungi beberapa perusahaan smelter timah lainnya, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN untuk ikut serta dalam kegiatan pertambangan timah ilegal tersebut,” begitu ujar Kuntadi.
Dalam penyidikan berjalan, terungkap selain menjadi perpanjangan tangan kepemilikan PT RBT, Harvey juga terafiliasi atas kepemilikan saham di CV VIP, PT SBS, PT TIN, dan juga PT SIP.
Harvey juga yang memerintahkan lima perusahaan tambang dan smelter itu, untuk menyisihkan hasil dari keuntungan ilegal dari eksplorasi di IUP Timah Tbk tersebut untuk disucikan ke dalam bentuk bantuan sosial masyarakat atau CSR.
Pengelola dana CSR tersebut, adalah PT QSE milik Helena. “CSR tersebut, dikirimkan para pengusaha smelter kepada tersangka HM melalui PT QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLM,” begitu ujar Kuntadi.
Dan Harvey, dikatakan penyidik satu paket dengan Harvey dalam masalah TPPU. Dalam penyidikan berjalan pula, penelusuran harta kekayaan milik Harvey sampai saat ini, menemukan aset-aset yang diyakini bersumber dari tindak pidana korupsi penambangan timah.
Aset-aset tersebut, saat ini dalam penguasaan kejaksaan untuk dijadikan barang bukti. Di antaranya tujuh mobil bernilai lebih Rp 40-an miliar. Serta beberapa barang koleksi jam tangan, yang nilainya juga mencapai puluhan miliar.
Hendry Lie dan Fandy Lingga
Harvey dan Helena, tersangka dari kalangan sosialita, dan publik figur. Sementara Hendry Lie, dan Fandy Lingga (FL) adalah tersangka kakak beradik, yang boleh dibilang dari kalangan pengusaha swasta kelas atas. Hendry Lie dan Fandy Lingga, ditetapkan tersangka pada Jumat (26/4/2024).
Tetapi, penyidik tak melakukan penahanan lantaran dikatakan sakit. Sedangkan Fandy Lingga dijebloskan ke sel tahanan. Keduanya adalah bagian dari keluarga pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air.
Sakitnya Hendry Lie sampai hari ini tak diketahui, pun juga keberadaannya. Karena sejak diumumkan tersangka, Hendry Lie, belum pernah diperiksa kembali di Kejakgung. Pemeriksaan terakhir terhadap kakak kandung bos Sriwijaya Air Chandra Lie itu, dilakukan pada 29 Februari 2024 lalu.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi pernah mengatakan, penetapan tersangka Hendry Lie dan Fandy Lingga tak ada kaitannya dengan perusahaan Sriwijaya Air. “Bahwa keduanya, kami tetapkan sebagai tersangka hanya terkait dengan perkara (timah) yang sedang kami tangani saat ini,” begitu kata Kuntadi
Karena dikatakan Kuntadi, kedua abang-beradik itu dijerat tersangka masing-masing atas perannya selaku beneficiary owner atau pemilik manfaat dan selaku manager marketing dari PT TIN. Peran Hendry Lie, dan Fandy Lingga, kata Kuntadi adalah melakukan pengkondisian dengan sejumlah penyelenggara negara, dan direksi di PT Timah Tbk untuk melegalkan aktivitas penambangan, penampungan, dan peleburan timah tersebut. Caranya, kata Kuntadi, dengan melakukan kerjasama dengan PT Timah Tbk yang menurut penyidik manipulatif.
“Yaitu dengan turut serta dalam pengkondisian pembuatan kerjasama seolah-olah terjadi sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah sebagai bungkus atas aktivitas dan kegiatan pengambilan timah dari IUP PT Timah Tbk,” begitu kata Kuntadi, Jumat (26/4/2024).
Kuntadi mengatakan, untuk melegalkan aktivitas penambangan yang melanggar hukum tersebut, Hendry Lie, dan Fandy Lingga, bersama-sama dengan sejumlah direksi dari PT Timah Tbk juga membentuk perusahaan-perusahaan boneka. Yaitu CV SMS, dan CV BPR.
“Pembuatan perusahaan boneka tersebut, dalam rangka untuk melaksanakan, dan memperlancar aktivitas ilegalnya,” begitu sambung Kuntadi.