Revisi UU MK yang Pernah Dicurigai untuk Lengserkan Hakim Tertentu Segera Disahkan DPR
Revisi UU MK pernah ditolak kala Menko Polhukam masih dijabat oleh Mahfud MD.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika
Komisi III DPR bersama pemerintah telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, revisi tersebut tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Kalau saya lihat bahwa keputusan yang sudah diambil antara pemerintah dengan DPR tinggal dilanjutkan di paripurna. Nah sehingga masa sidang yang masih panjang ini juga memungkinkan untuk komisi terkait juga berkoordinasi kembali dengan pemerintah," singkat Wakil Ketua Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Dalam situs resmi DPR pada Senin (13/5/2024), tidak terdapat agenda pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi UU MK. Artinya, revisi UU MK memang tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Atas nama pemerintah, kami menerima hasil pembahasan RUU di tingkat panitia kerja, yang menjadi dasar pembicaraan atau pengambilan keputusan tingkat I pada hari ini. Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di sidang paripurna DPR," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I revisi UU MK lewat keterangan tertulis Kemenkopolhukam, Senin (13/5/2024).
Hadi menjelaskan, sejumlah poin penting revisi UU MK telah dibahas bersama Komisi III. Tujuannya untuk memperkokoh kehidupan berbangsa, bernegara, serta semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi.
"Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah, dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama," ujar Hadi.
Sementara itu, anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Johan Budi Sapto Pribowo mengaku tak mendapatkan undangan dari Sekretariat Komisi III. Sehingga ia tak tahu jika Komisi III sudah melakukan pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi UU MK.
"Saya nggak dapat (undangan rapat pengambilan keputusan tingkat I), karena sekali lagi kan reses (saya) nggak ada di Jakarta. Kalau teorinya orang reses orang ke dapil," ujar Johan Budi di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Johani akan mengkonfirmasi rapat saat masa reses tersebut kepada pimpinan Komisi III. Sebab, Ketua Komisi III yang juga Sekretaris Fraksi PDIP DPR Bambang Wuryanto juga tak hadir, karena sedang kunjungan kerja ke luar negeri.
"Karena belum ada (pengambilan keputusan tingkat I revisi UU MK), setahu saya, saya kan anggota Komisi III, setahu saya belum ada pandangan mini fraksi, mengenai RUU MK itu," ujar Johan.
Diketahui pada akhir 2023, revisi UU MK sempat mendapat penolakan dari pemerintah saat Menko Polhukam masih dijabat Mahfud MD. Mahfud MD saat itu menegaskan, pemerintah masih keberatan dengan revisi UU terkait ketentuan peralihan hakim MK.
Mahfud merujuk keberatannya dengan putusan MK terbaru. MK baru saja memutuskan menolak perkara nomor 81/PUU-XXI/2023 pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU MK) tentang syarat usia minimal hakim MK minimal 55 tahun. Dalam putusannya, MK menegaskan perubahan yang terjadi dalam revisi UU tak merugikan subjek dari revisi itu.
"Sekarang sudah ada putusan MK bertanggal 29 November 2023 itu menyatakan dalam hal terjadi perubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang tersebut, sehingga saya dan Menkumham ini menyatakan itu belum selesai di tahap 1," kata Mahfud dalam konferensi pers pada Senin (4/12/2023).
Mahfud meminta revisi UU MK disesuaikan dengan pedoman universal tentang hukum transisional. Semangat hukum transisional agar suatu aturan berlaku di tahun berikutnya guna mencegah penyalahgunaan hukum.
"Saudara naik gaji pun kalau pejabat menaikan gaji itu kalau yang menandatangani kenaikan gaji itu pejabat yang bersangkutan dapat bagian, itu berlaku tahun berikutnya, periode berikutnya, bukan langsung berlaku begitu. Apalagi kalau orang dirugikan. Itu dalil di dalam hukum transisional," ujar Mahfud.
Oleh karena itu, Mahfud menegaskan pemerintah masih belum sreg dengan formulasi revisi UU MK yang disodorkan DPR RI. Keberatan dari pihak pemerintah itu, lanjut Mahfud, sudah disampaikan ke parlemen.
"Sampai sekarang ya saya sampaikan bahwa belum ada keputusan permusyawaratan di tingkat satu sehingga belum bisa, kan kita belum tanda tangan. Saya merasa belum tanda tangan, Pak Yasonna merasa belum tanda tangan. Jadi ya saya sampaikan ke DPR. Itu saja dari saya," ucap Mahfud.
Merespons Mahfud saat itu, sebanyak sembilan fraksi sepakat menunda pengesahan revisi UU MK. "Sembilan fraksi sudah menyatakan persetujuannya, untuk belum membahasnya pada Paripurna hari ini. Karena memang perlu ada persamaan sikap dan persamaan persepsi, dari kedua belah pihak untuk bisa menyamakan hal tersebut," kata Puan.
Penundaan pembahasan untuk mencari persamaan sikap dan persepsi terkait substansi payung hukum tersebut antara pemerintah dan DPR. Puan melanjutkan, penundaan itu untuk menjaga kondusivitas Pemilu 2024.
"Daripada kemudian nanti membuat kisruh suasana dan menjadi tidak kondusif, DPR menyepakati untuk ditunda terlebih dahulu," kata Puan menegaskan.
Pernah berembus isu, revisi UU MK punya keterkaitan dengan upaya menggusur beberapa hakim MK, salah satunya Saldi Isra. Mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna memandang rencana mengubah UU MK tergolong pelemahan MK.
"Selalu yang diutak-atik adalah persoalan umur, yang tidak ada kaitannya dengan kelembagaan MK, maupun dengan kepentingan publik," kata Palguna saat dikonfirmasi pada Kamis (30/11/2023).
Salah satu wacana dalam revisi UU MK menyangkut perubahan syarat batas usia minimal hakim MK dari 55 diubah menjadi 60 tahun. Palguna merasa heran dengan permasalahan umur yang tiada hendi dibahas saban revisi UU MK.
"Apa masalahnya dengan persoalan umur? Berkali-kali soal umur saja yang diubah, pertama 46 tahun, sudah itu 47 tahun, habis itu 55 tahun, sekarang mau 60 tahun," ujar Palguna.
Palguna mengingatkan sebenarnya ada masalah yang lebih penting untuk dicarikan solusinya dalam revisi UU MK. Palguna mencontohkan hukum acara yang belum diatur lengkap.
"Ada hal-hal yang lebih substansial selama ini yang memerlukan perubahan di ketentuan di UU MK malah tidak disentuh," ucap Palguna.
Palguna juga menyinggung kewenangan MK yang belum maksimal terakomodasi dalam UU MK yang berlaku kini.
"Misalnya soal kewenangan yang lebih mendesak, yang perlu diberikan kepada MK dalam rangka penguatan dia sebagai pengawal konstitusi, yaitu pengawalan konkret judicial review atau constitutional question. Apalagi constitutional complain, yang tanpa perlu melakukan perubahan UUD, yang bisa dilakukan melalui perubahan UU, itu juga tidak pernah disentuh," ujar Palguna.
Sehingga Palguna menyimpulkan ada upaya mengintervensi MK lewat wacana revisi UU MK. Palguna sungguh menyayangkan revisi UU MK yang dijadikan alat politik.
"Bagi saya MK itu, ini bukan lagi pelemahan tapi sudah penghancuran (MK). Dan ini hanya digunakan sebagai alat politik saja," ucap Palguna.
Berbicara terpusah, eks Wamenkumham Denny Indrayana mengungkap revisi UU MK ditujukan guna menyingkirkan seorang hakim MK, yakni Saldi Isra. Caranya menaikkan syarat usia hakim MK menjadi 60 tahun.
"Maka yang belum 60 tahun akan ditendang? Sasaran tembaknya Saldi Isra? Mengapa? Karena tidak bisa ditundukkan kepentingan kekuasaan? Karena tidak sesuai dengan strategi pemenangan?" cuit Denny lagi.
Tercatat, hakim MK yang belum berumur 60 tahun ada tiga orang yakni Saldi Isra, M Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic Pancastakih Foekh. Hakim MK yang belum genap berusia 60 tahun berpotensi diminta konfirmasi ke lembaga pengusulnya. Guntur diusulkan DPR. Sedangkan Saldi Isra dan Daniel diusulkan Presiden.