Eks Kepala BAIS: Usut Siapa Pemberi Perintah Penguntitan Jampidsus Diduga oleh Densus 88
Satu anggota Densus 88 dikabarkan ditangkap seusai menguntiti Jampidsus Kejagung.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengerahan personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam membuntuti pejabat resmi Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai melanggar konstitusi. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis - Tentara Nasional Indonesia (BAIS-TNI) Laksamana Muda (Laksda) Purn Soleman Ponto mengatakan, perlu pengusutan di internal kepolisian antiterorisme tersebut, tentang siapa yang memberikan perintah dalam misi pembuntutan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah itu.
“Pengerahan Densus 88 untuk menguntit Jampidsus adalah pelanggaran terhadap Undang Undang (UU) Terorisme,” kata Soleman melalui pesan singkat kepada Republika, Sabtu (25/5/2024).
“Karena (penguntitan oleh Densus 88) itu sudah keluar dari tupoksi (tugas pokok) Densus 88,” sambung dia.
Tupoksi Densus 88 dalam perundangan hanya terkait dengan penanganan ancaman, dan penindakan dalam tindak pidana terorisme yang terjadi di dalam negeri. Pengerahan satuan khusus antiterorisme dari kepolisian dalam membuntuti pejabat tinggi aktif di Kejagung tentunya melanggar tugas pokoknya itu.
Namun Soleman ragu pengerahan misi pembuntutan Jampidsus tersebut bersifat tanpa komando. “Dan ini harus diusut tuntas, terutama kepada siapa pemberi perintah dan perannya dalam perkara yang sedang diusut oleh Jampidsus,” sambung Soleman.
Dikatakan pakar intelijen tersebut, apalagi mengingat saat ini banyaknya perkara-perkara korupsi besar yang dalam penanganan dan penyidikan oleh Jampidsus. Sebab itu, kata Soleman, harus diusut apakah pengerahan satuan Densus 88 tersebut, ada terkait dengan perkara korupsi yang saat ini dalam penyidikan di Jampidsus-Kejagung.
“Ini (pembuntutan Densus 88 terhadap Jampidsus) masalah yang sangat serius,” tegas Soleman.
Purnawirawan bintang dua Angkatan Laut (AL) itu juga mengingatkan agar Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo memberikan sanksi tegas terhadap anggota Densus 88, maupun yang memberi perintah dari internal kepolisian dalam aksi penguntitan Jampidsus tersebut. “Kalau tidak ada perintah dari Kapolri, yang artinya itu adalah inisiatif sendiri dari anggota Densus, maka yang bersangkutan harus segera dipecat. Karena masalah ini akan menjadi sangat serius bagi hubungan dua institusi penegak hukum (Kejakgung dan Polri),” ujar Soleman.
Misi ‘Sikat Jampidsus’
TNI dari satuan Polisi Militer (POM) yang melakukan pengawalan melekat terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah menangkap satu orang anggota Densus 88. Penangkapan tersebut berawal dari aksi enam anggota Densus 88 yang melakukan pembuntutan, dan penguntitan terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah saat melakukan aktivitas pribadi di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan (Jaksel) pertengahan pekan lalu.
Dari informasi yang diterima kalangan wartawan di Kejagung, enam anggota Densus 88 yang melakukan pembuntutan itu, empat di antaranya dari wilayah penugasan di Jawa Tengah (Jateng), dan dua dari Jawa Barat (Jabar).
“Enam orang anggota Densus 88, empat Jateng, dua Jabar, satu orang tertangkap, lima dalam lidik,” demikian berdasarkan informasi yang diterima wartawan.
Enam anggota Densus 88 itu menjalankan operasi pembuntutan terhadap Febrie Adriansyah dengan misi ‘Sikat Jampidsus’. POM TNI menangkap satu anggota Densus 88 yang diketahui bernama Bripda IM.
POM TNI yang mengawal Jampidsus membawa Bripda IM untuk diinterogasi maksimal di Gedung Kartika yang berada di kompleks Kejagung. Sementara lima anggota Densus 88 yang lainnya berhasil kabur.
Belum diketahui pasti apa motif dalam aksi pembuntutan, maupun penguntitan yang dilakukan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah itu. Namun perlu diketahui, bahwa tim penyidikan Jampidsus-Kejagung saat ini, sedang melakukan pengusutan korupsi jumbo penambangan timah ilegal di Provinsi Bangka Belitung yang merugikan negara sekitar Rp 271 triliun.
Dalam pengusutan kasus tersebut penyidik Jampidsus-Kejagung sudah menetapkan 21 orang sebagai tersangka. Dan dari beberapa nama tersangka itu, ada terkait dengan nama-nama yang selama ini ‘dekat’ dengan kepolisian.
Setelah peristiwa penangkapan yang dilakukan oleh POM TNI terhadap anggota Densus 88 tersebut, sejumlah peristiwa diduga sebagai upaya intimidasi dan provokasi yang dilakukan terhadap koorps Kejagung. Sejak Senin (20/5/2024) lalu, kompleks Kejakgung yang berada di kawasan Kebayoran Baru di Jakarta Selatan (Jaksel) dalam pengamanan maksimal oleh satuan POM TNI, dan Angkatan Darat (AD).
Alasannya, pada Senin (20/5/2024) malam, sekitar pukul 23:00 WIB, terjadi peristiwa pengerahan puluhan personel Polri dengan seragam hitam-hitam dan bersenjata laras panjang menyatroni Gedung Kejagung. Satuan dengan seragam hitam-hitam itu saling berboncengan dengan puluhan motor trail.
Mereka bahkan membawa serta kendaraan lapis baja antihuru-hara untuk ‘pamer’ kekuatan di depan gerbang barat kompleks Kejakgung yang berada di Jalan Bulungan. Puluhan satuan seragam hitam-hitam tersebut berhenti lama di depan gerbang kompleks Kejagung sambil menggeber-geber motor, dan berteriak-teriak. Mereka lalu melakukan konvoi bersenjata mengitari sisi luar kompleks Kejagung dari Jalan Bulungan ke kawasan Blok M yang berada di Jalan Panglima Polim sebanyak tiga sampai empat kali. Kejadian serupa juga terjadi pada Kamis (23/5/2024) malam.
Sejak Selasa (21/5/2024), seluruh personel pengamanan dalam (Pamdal) Kejagung diwajibkan mengenakan rompi antipeluru dalam bertugas. Dan pada Selasa (21/5/2024) petang, satuan pamdal, bersama-sama POM TNI dan AD melakukan sweeping drone di areal Gedung Kartika-Kejakgung tempat anggota Densus 88 ditahan.
Dikabarkan, sweeping drone dilakukan lantaran diketahui adanya aktivitas pesawat pengintai tanpa awak yang mengawasi Gedung Kartika dari udara. POM TNI dan AD, mendatangkan satu unit peralatan penembak drone yang bersiaga di lapangan terbuka di depan Gedung Kartika.
Gedung Kartika, sebetulnya kantor dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Mayor Jenderal (Mayjen) Wahyoedho Indrajit. Namun Gedung Kartika tersebut, sejak Desember 2023 sampai saat ini juga menjadi tempat berkantor Jampidsus Febrie Adriansyah bersama staf, dan seluruh tim penyidikannya. Karena Gedung Bundar, yang merupakan kantor utama Jampidsus dalam pemugaran, dan renovasi total.
Sejak Desember 2023 aktivitas pengusutan berbagai kasus korupsi yang ditangani Kejakgung berada di Gedung Kartika. Termasuk dalam penanganan kasus korupsi timah.
Sejak Selasa (21/5/2024), TNI dari berbagai satuan, dari POM TNI, AL, AU, dan juga AD melakukan pengamanan maksimal di kompleks Kejakgung. Sampai dengan Jumat (24/5/2024) malam, aktivitas di dalam, maupun di luar kompleks Kejakgung dalam pengamanan prajurit berseragam militer bersenjata. Dari informasi yang diterima, satuan pengamanan militer itu melakukan patroli berkeliling setiap satu jam sekali untuk memastikan wilayah Kejagung steril dari aksi-aksi sepihak aparat penegak hukum lainnya.
Namun begitu, sampai Sabtu (25/5/2024) belum ada pernyataan, maupun penjelasan resmi dari Kejakgung perihal rentetan peristiwa tersebut. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana yang saat ini merangkap jabatan sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali mengaku tak tahu dengan pembuntutan Densus 88 terhadap Jampidsus Febria Adriansyah.
“Saya tidak mengetahui informasi tersebut,” kata dia.
Perihal adanya aksi-aksi provokasi, maupun intimidasi pengerahan personel kepolisian bersenjata di kawasan Kejagung, pun Ketut mengaku tak mengetahui. Akan tetapi Ketut menerangkan, peningkatan keamanan dari satuan militer di Gedung Kartika di seluruh areal Kejakgung, sebetulnya situasi yang wajar. Karena dikatakan dia, penyidik Jampidsus-Kejagung saat ini sedang menangani perkara-perkara korupsi dengan nilai kerugian negara yang terbilang besar.
“Pengamanan oleh TNI itu kan sudah dari dulu sejak dari Gedung Bundar. Dan sekarang pengamanan oleh TNI itu ditambah karena banyaknya kasus-kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh penyidikan di Jampidsus,” ujar Ketut.
Pun dikatakan dia, pengamanan oleh militer tersebut, mengingat adanya posisi Jampidmil di Kejagung. “Memang kan di Kejasaan Agung itu, ada pengamanan organiknya dari TNI,” ujar dia.
Sementara dari Mabes Polri, sampai dengan hari ini, juga tak memberikan respons apa pun perihal para personelnya yang melakukan aksi-aksi provokasi, dan intimidasi di Kejagung. Dari Densus 88, juga tak memberikan komentar apapun perihal adanya operasi pembuntutan terhadap Jampidsus tersebut. Juru Bicara Densus 88 Komisaris Besar (Kombes) Aswin Siregar juga tak membalas pertanyaan Republika perihal adanya satu anggota Densus 88 yang ditangkap oleh militer pengawal Jampidsus tersebut.