Ahli Psikologi Forensik: Pernyataan Kapolri Pintu Eksaminasi Guna Temukan Novum Kasus Vina

Kapolri akui pengusutan awal kasus Vina tak berbasis scientific crime investigation.

NET
Reza Indragiri Amriel
Rep: Bambang Noroyono  Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan Kapolri Listyo Sigit Prabowo tentang penyidikan kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat (Jabar) 2016 yang tak berbasis pada scientific crime investigation semestinya menjadi pintu bagi Polri untuk mengulangi pengusutan dari awal. Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri menyarankan agar pengakuan Jenderal Sigit tersebut sebagai jalan baru untuk dilakukannya eksaminasi atas seluruh berkas dan putusan hukum yang sudah memidanakan sejumlah orang terkait kasus tersebut.

Baca Juga


Reza menilai, pernyataan Kapolri tersebut dapat menghasilkan bukti-bukti baru bagi para terpidana dalam pengajukan Peninjauan Kembali (PK). Menurut Reza, bahkan Polda Jabar, yang saat ini melanjutkan penyidikan kasus kematian Vina dan Eky, bisa membuat terobosan hukum dalam beracara pidana, dengan mengajukan sendiri PK untuk para terpidana.

“Saya menaruh respek ketika Polri selalu menyampaikan, kami (Polri) mengungkap kasus dengan pendeketan yang scientific. Maka konsekuen saja, lakukan eksaminasi ke titik hulu, guna me-review kembali, sudah seberapa jauh sesungguhnya Polda Jawa Barat melakukan uji scientific pada kasus ini,” kata Reza melalui siaran video yang diterima, Ahad (23/6/2024).

Menurut Reza, adanya pengakuan dari Kapolri dan upaya untuk melakukan eksaminasi, diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang sudah kadung dipidana, dan dicap tersangka pembunuhan. Pun menurut dia dengan mengambalikan pengusutan dari awal, juga dapat membuktikan kerja profesional kepolisian di Polda Jabar.

“Seandainya lewat eksaminasi hulu ini disimpulkan, dan diinsafi bahwa ternyata kerja-kerja scientific memang tidaklah memadai, maka ini sesungguhkan merupakan temuan (novum). Sehingga alih-alih menunggu terpidana mengajukan novum, justeru Polri yang dengan kebesaran jiwanya lah, yang membawa novum ini untuk PK,” kata Reza.

Menurutnya, pengajuan PK mengacu pada hukum acara yang berlaku sampai saat ini, memang mengharuskan novum atau bukti baru sebagai syarat dalam upaya hukum luar biasa itu menjadi beban-tanggungjawab pihak terpidana. Akan tetapi, Reza menawarkan defenisi baru tentang PK, yang berbasis pada kebijaksanaan Polri sebagai institusi penegak hukum yang dapat menjadi pihak pengaju novum untuk terpidana lantaran satu dugaan kekeliruan atas hasil kesimpulan suatu penyidikan.

“Tidak akan ada satupun pihak yang dipermalukan ketika seandainya putusan PK itu nantinya menyatakan situasi yang berbalik 180 derajat dari nasib terpidana pada saat ini,” kata Reza.

Kejanggalan kasus Vina Cirebon. - (Republika)

 

Sebelumnya, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengakui pengusutan awal kasus kematian Vina dan Eki 2016 tak didasari pada penyidikan yang berbasis scientific crime investigation. Hal tersebut menurut Jenderal Sigit akhirnya memunculkan persepsi negatif atas hasil penyidikan lanjutan kasus yang kini ditangani oleh Polda Jabar tersebut.

“Pada kasus pembunuhan Vina dan Eky, pembuktian awal (2016) tidak didukung dengan scientific crime investigation. Sehingga timbul isu persepsi negatif, terdakwa mengaku diintimidasi, terjadi korban salah tangkap, dan penghapusan dua DPO, yang dianggap tidak profesional,” kata Sigit dalam amanat yang dibacakan Wakapolri Komjen Agus Andrianto, di PTIK, Jakarta, Kamis (20/6/2024). 

Sebab itu, Kapolri mengingatkan kepada para penyidik kepolisian untuk melakukan penyidikan setiap perkara hanya mengacu pada pembuktian yang diperoleh dari scientific crime investigation. “Oleh karena itu, lakukan penegakkan hukum secara transparan, dan (yang) dapat dipertanggungjawabkan melalui penyidikan berdasarkan scientific crime investigation untuk mengungkap suatu perkara pidana. Hindari pengambilan kesimpulan penanganan perkara secara terburu-buru sebelum seluruh bukti dan fakta lengkap dikumpulkan yang tentunya melibatkan ahli pada bidangnya,” sambung Kapolri.

Pernyataan Kapolri tersebut, disampaikan satu hari setelah Polda Jabar, pada Rabu (19/6/2024) melimpahkan berkas perkara penyidikan lanjutan atas tersangka Pegi Setiawan alias Pegi Perong ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar. Pegi adalah salah-satu dari tiga tersangka, yang selama 8 tahun menjadi DPO alias buronan terkait kasus kematian Vina dan Eky pada 2016.

Polda Jabar baru menangkap Pegi di Bandung, pada Mei 2024, beberapa pekan setelah kasus kematian Vina dan Eky tersebut kembali terekspos ke publik. Sementara Pegi ditangkap, Polda Jabar malah mengumumkan penghapusan dua nama DPO lainnya.

Kasus pembunuhan Vina dan Eky sendiri, saat ini masih menjadi misteri, dan masih mengundang perdebatan serta spekulasi publik. Meskipun sudah delapan orang melalui pengadilan yang inkrah, sudah divonis bersalah melakukan pembunuhan dan semuanya menjalani hukuman penjara. Satu terpidana terkait kasus tersebut, saat ini sudah bebas karena status terpidananya masih di bawah umur.

Komik Si Calus : Kambing Hitam - (Daan Yahya/Republika)

Pernyataan Kapolri tentang penyidikan awal kasus Vina tak berbasis pada scientific crime investigation dinilai Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak memengaruhi putusan dan proses hukum yang sedang berjalan saat ini. “Hal tersebut (tidak berbasis scientific crime investigation) tidak memengaruhi kelengkapan berkas, karena toh alat-alat buktinya sudah ada, dan kasusnya sudah disidangkan,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, Ahad (23/6/2024).

“Dan dari yang sudah disidangkan itu sudah mendapatkan putusan dari majelis hakim sampai tingkat kasasi, dan sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap,” sambung Poengky.

Menurut Poengky, pernyataan Kapolri tentang scientific crime investigation tersebut, sebetulnya cuma penguatan teknis dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Scientific crime investigation tersebut, kata Poengky menerangkan, cuma metode, ataupun sarana keilmuan yang membantu penyidik kepolisian dalam pengusutan, ataupun perumusan suatu peristiwa tindak pidana. Metode modern berbasis sains dan ilmiah tersebut, kata Poengky, memang lebih dapat menguatkan pembuktian oleh penyidik atas satu peristiwa tindak pidana.

Akan tetapi, Poengky menegaskan, penyidikan science crime investigation tersebut, tak ada kaitannya dengan prasyarat dalam keabsahan suatu pembuktian tindak pidana. Karena itu, kata Poengky, pun jika suatu penyidikan peristiwa pidana tak berbasiskan pada penyidikan science crime investigation, bukan berarti bukti-bukti yang telah didapat oleh penyidik dari hasil penyidikannya, menjadi gugur, dan tak meyakinkan.

“Dalam KUHAP (Kita Undang-undang Hukum Acara Pidana), yang paling penting itu adalah lengkapnya alat bukti, yang terdiri dari keterangan saksi, tersedianya bukti-bukti, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa,” kata Poengky. 

Alat-alat bukti yang ditemukan penyidik tersebut, kata Poengky, dalam prosesnya tetap melibatkan lembaga penegak hukum lain sebagai pelapis verifikasi. Yaitu, dengan peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat menerima berkas perkara dan alat-alat bukti sebelum diajukan ke persidangan.

 

Di persidangan pun, kata Poengky, alat-alat bukti yang diajukan penyidik, dan yang disajikan tim JPU ke pengadilan, kembali diuji oleh majelis hakim. “Oleh karena itu, dalam kasus kematian Vina dan Eky ini, sudah disidangkan, dan sudah berkekuatan hukum tetap. Maka berarti, alat-alat buktinya selama ini sudah lengkap dan sah. Jika tidak lengkap, dan tidak sah, tidak mungkin bisa disidangkan,” kata Poengky.

Pun sebetulnya, kata Poengky, penyidikan kematian Vina dan Eky yang dilakukan Polda Jabar 2016, sebetulnya pun tetap mengandalkan adanya bukti-bukti berbasis sains dan ilmiah. Yaitu, kata Poengky, dengan adanya hasil visum, dan autopsi.

“Dan itu dibuktikan di dalam BAP (berita acara pemeriksaan) disebutkan bahwa ada disebutkan hasil autopsi penyebab kematian Vina dan Eki,” kata Poengky.

Namun memang, menurut Poengky, penyidikan 2016 tersebut, kurang secara scientific crime investigation karena tak ada ditemukan bukti visual yang dapat meyakinkan tentang apa sebenarnya yang dialami Vina dan Eky pada saat sebelum kematiannya itu.

“Mungkin, yang dianggap kurang scientific itu, misalnya karena memang tidak ditemukan adanya CCTV pada saat di TKP (tempat kejadian perkara),” kata Poengky. Meskipun begitu, kata Poengky, tetap saja hasil penyidikan 2016, sudah berujung pada proses hukum acara yang sesuai, dan sudah mendapatkan kepastian hukum. 



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler