Benarkah Menggauli Istri dari Belakang Dilarang Nabi?
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa istri–istri itu bagaikan ladang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di dalam Islam, hubungan seksual antara suami istri halal bahkan bernilai ibadah. Dalil yang populer dalam Alquran mengenai perintah untuk menggauli istri ada dalam Surah Al-Baqarah: 223.
"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman." (al-Baqarah/2: 223)
Dikutip dari Seksualitas dalam Perspektif Alquran dan Sains terbitan Balitbang Kemenag, ayat tersebut mengungkapkan, bahwa kita dihalalkan untuk menggauli istri dengan gaya apa saja. Persoalan gaya dalam hubungan seksual juga merupakan hal yang dibicarakan dalam koridor umum. Hal tersebut juga dalam rangka menjelaskan kepada kaum Muslim tentang anggapan orang Yahudi di Madinah bahwa melakukan hubungan seksual dari arah belakang akan menyebabkan anaknya terlahir dengan mata juling.
“Orang-orang Yahudi (di Medinah) berkata bahwa jika seorang suami menggauli istrinya dari arah belakang maka anak hasil hubungan itu akan terlahir dengan mata yang juling. (Untuk menolak anggapan itu) maka turunlah ayat, “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (Riwayat al-Bukhāri dari Jābir)
Para sahabat dari kalangan Ansar agaknya terpengaruh oleh pandangan orang Yahudi tersebut, sehingga mereka hanya melakukan hubungan seksual dengan istri-istri mereka dari arah depan saja. Disebutkan dalam satu riwayat dari Ummu Salamah, istri Nabi, bahwa orang-orang Ansar tidak pernah melakukan hubungan seks dari arah belakang.
Bertanya pada Nabi..
Sampai pada saat banyak orang Muhajirin dari Makkah mengawini perempuan Madinah (Ansar), mereka (kaum Muhajirin) melakukannya dari arah belakang, perempuan Ansar pun protes dan tidak mau melakukannya sampai mereka bertanya kepada Nabi. Setelah hal tersebut ditanyakan kepada Nabi, Nabi membacakan ayat dari Surah al-Baqarah di atas.
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa istri–istri itu bagaikan ladang, tempat untuk bercocok tanam. Seseorang diperbolehkan berhubungan dengan istrinya dengan gaya dan cara yang dia inginkan, asalkan yang dituju itu adalah jalan depan, bukan jalan belakang. Karena “jalan depan atau qubul” itulah tempat di mana orang bercocok taman. Karena dari situlah akan terjadinya seorang anak manusia yang merupakan buah dari bercocok tanam.
Seorang yang menginginkan bibitnya membuahkan hasil, dia akan menanamnya di tempat di mana bibit itu akan tumbuh dan akhirnya membuahkan hasil yang bagus yaitu di tanah yang subur. Begitu juga dalam urusan seksual. Jika seorang akan menanam benihnya, dia harus menaruhnya di tempat yang akan menghasilkan keturunan, yaitu di “depan” bukan di belakang atau “dubur/anus”, karena dubur bukanlah tempat untuk membuahkan anak. Islam sangat melarang suami istri melakukan hubungan badan dari “pintu belakang” atau dubur, karena hal tersebut sangat membahayakan bagi kesehatan.
Dalam mengartikan kata “annā syi’tum” terdapat beberapa pengertian. Nabi sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, mengartikan dengan “muqbilah, mudbirah” artinya boleh dari arah depan (berhadap-hadapan) atau dari belakang atau yang perempuan membelakangi lelaki. Sementara itu beberapa ulama tafsir dari kalangan tabiin memberikan pengertian yang beragam. Al-Alūsi dalam tafsirnya Rūĥul-Ma‘ānī menukil perkataan mereka.
Qatādah dan Rabī‘ mengatakan (menafsirkan ayat di atas), “Dari mana saja kamu mau”; Mujāhid menafsirkannya, “bagaimanapun kamu mau”; dan aď-Ďaĥĥāk menafsirkannya, “Kapan pun kamu mau.”