Melalui Mimpi, Rasulullah Menegur Bilal

Rasulullah SAW bertanya kepada Bilal, mengapa sahabatnya itu jarang menjenguknya.

Karta Raharja Ucu/Republika.co.id
Kubah hijau di Madinah, Arab Saudi menjadi tanda di bawahnya terdapat makam Rasulullah SAW.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun setelah Pembebasan Makkah (Fath Makkah), kondisi fisik Nabi Muhammad SAW mulai menurun. Setelah musim haji, sakit yang dialami Rasulullah SAW kian menunjukkan gejala.

Baca Juga


Akhirnya, beliau berpulang ke rahmatullah. Seluruh kaum Muslimin berduka cita.

Bahkan, Umar bin Khattab sempat mengingkari kepergian Rasulullah SAW untuk selamanya. Hingga Abu Bakar ash-Shiddiq menenangkannya.

Saat jenazah Rasulullah SAW menjelang dimakamkan, Bilal bin Rabah berdiri untuk mengumandangkan azan. Tiba di lafaz, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah", suaranya menjadi terbata-bata.

Kesedihan menguasai dirinya. Segenap kaum Muslimin menangis. Sosok mulia yang teramat dicintai itu telah meninggal dunia.

Sebuah riwayat menyebutkan, Bilal bin Rabah semenjak wafatnya Rasulullah SAW hanya melakukan azan tiga hari. Sebab, tiap sampai pada lafaz, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah", ia selalu tersungkur dan menangis.

Siapapun Muslim yang mendengarkannya juga akan turut terbawa suasana. Terkenang lagi bagaimana saat-saat Rasulullah SAW masih ada di tengah umat.

Sedemikian sedihnya Bilal, sampai-sampai ia meminta izin kepada khalifah agar boleh pergi dari Madinah. Sebab, kenangan akan tetap menghantuinya.

Bermimpi

Sampailah hari ketika Nabi Muhammad SAW mendatangi Bilal bin Rabah melalui mimpi. Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Wahai Bilal, mengapa engkau tidak pernah menjengukku lagi?"

Sahabat yang berasal dari Afrika itu terkejut. Ia pun langsung terbangun. Bilal bagaikan terpukul lantaran kata-kata Rasulullah SAW itu. Dengan segera, dirinya menuju Madinah.

Kedatangan Bilal bin Rabah diterima dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain. Keduanya lantas meminta agar sang sahabat Nabi mengumandangkan azan begitu waktu shalat tiba.

 

Inilah saat-saat yang teramat dirindukan segenap warga Madinah. Kota itu seakan-akan diliputi kebisuan. Hanya suara azan Bilal yang menggema ke segala penjuru.

Betapa terkesimanya mereka karena merasa zaman kembali berputar, seperti ketika masih bersama Rasulullah SAW. Seluruh orang keluar dari rumah masing-masing. Tangis pun pecah mengiringi usainya azan dari lisan Bilal bin Rabah.

Bagaimanapun, perasaan Bilal masih belum kuasa untuk tetap tinggal di Kota Nabi. Hanya beberapa hari di sana, ia pun pergi lagi ke Syam.

Suatu saat, Umar bin Khattab melintasi wilayah Syam. Di Damaskus, sang khalifah kedua bertemu dengan Bilal bin Rabah.

Al-Faruq bersyukur menjumpai sosok yang lama meninggalkan Madinah itu dalam keadaan sehat. Satu permintaan dari Khalifah Umar, yakni agar Bilal mengumandangkan azan.

Ia sungguh-sungguh merindukan suara azan dikumandangkan, sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dahulu. Tidak kuasa, Umar pun menangis lantaran mengingat kenangan-kenangan bersama Nabi SAW begitu mendengarkan lantunan azan dari lisan Bilal.

Sampai ajal menjemputnya, Bilal bin Rabah menetap di Damaskus. Ia wafat pada 20 Hijriyah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler