Hukum Menggugurkan Kandungan Korban Pelecehan Seksual, Begini Penjelasannya

Korban pelecehan seksual tidak bisa disamakan dengan pelaku zina.

Dok Kemendikbud
Setop pelecehan seksual (ilustrasi).
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak menjadi korban pelecehan seksual tidaklah sedikit. Selain tekanan psikologis, si korban wanita terkadang mengandung anak dari kejahatan tersebut. Lalu apakah kandungan tersebut dapat diaborsi?

Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, KH Muhammad Yusran Anshar menjawab pertanyaan tersebut. Terkait dengan pertanyaan hukum aborsi bagi wanita korban pemerkosaan ada beberapa hal yang perlu diterangkan. Sebagaimana diketahui bahwa zina adalah dosa besar.

"Namun seorang wanita yang menjadi korban pemerkosaan dan dia telah berusaha membela dirinya dari perbuatan tersebut, kemudian dia menjadi korban pemerkosaan, maka dia tidak berstatus sebagai orang yang berdosa karena hal itu terjadi tanpa keinginannya," kata Kiai Yusran kepada Republika, Rabu (4/1/2023).

Ia menjelaskan, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT tidak mencatat sebagai dosa atau memaafkan dosa dari umat Nabi Muhammad dari perbuatan atau dosa yang dilakukan karena tidak sengaja, karena lupa, dan dosa yang dilakukan karena dipaksakan kepadanya tanpa keinginan dari orang tersebut untuk melakukannya."

Baca Juga


Berdasarkan hadits itu termasuk di dalamnya adalah korban pemerkosaan, statusnya tidak berdoa. Karena yang berdosa adalah yang memperkosanya. Di samping itu, hukum asal bayi yang lahir adalah suci. Karena dia adalah bayi yang tidak berdosa maka lebih baik janin itu dibiarkan untuk tetap hidup dan tidak digugurkan.

Bayi hasil zina atau pemerkosaan harus tetap hidup, berdasarkan hadits ini. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang wanita yang melapor kepada Nabi SAW bahwa dia telah berzina dan dia minta untuk dihukum oleh Nabi SAW. Karena wanita itu ingin bertobat dan merasa bersalah atas perbuatan zinanya. Tapi wanita tersebut sudah hamil, karena dia adalah seorang wanita yang sudah nikah sebelumnya, maka dalam Islam dihukum rajam.

Namun Nabi Muhammad SAW tidak mau menegakkan hukum rajam sampai wanita tersebut melahirkan bayinya, padahal bayi hasil dari perzinaan. Bahkan ketika bayi itu lahir, wanita itu datang kepada Nabi SAW lagi untuk minta dihukum. Kemudian Nabi SAW menyuruh wanita itu untuk menyusui anaknya sampai anaknya sudah bisa makan dari selain dari air susu ibu. Setelah itu ditegakkan hukum rajam kepada sang ibu yang berzina.

"Dari sini ulama kita mengambil dalil bahwa jika ada bayi yang lahir dari proses perzinaan maka bayi itu bukan bayi yang berdosa, tidak boleh kesalahan ditimpakan kepada bayi tersebut," jelas Kiai Yusran.

Pendapat yang membolehkan aborsi

Kiai Yusran menyampaikan, sebagian ulama ada yang membolehkan bagi wanita korban pemerkosaan melakukan aborsi. Jika wanita tersebut tidak mampu menanggung akibat atau hal-hal yang berat akibat pemerkosaan yang membuatnya hamil.

Berdasarkan hal tersebut mungkin ada pertimbangan masalah kesehatannya atau korban pemerkosaan sangat terpukul sampai dia tidak mampu untuk meneruskan kandungannya. Sehingga dia memutuskan untuk menggugurkannya. Maka sebagian ulama dalam hal ini menyebutkan ada rincian yang perlu diketahui.

"Ketika umur bayi tersebut sudah sampai pada empat bulan lebih atau 120 hari, maka ulama sepakat hal itu tidak dibolehkan, tidak boleh lagi digugurkan kandungannya," ujar Kiai Yusran.

Ia menambahkan, namun ketika umur bayi dalam kandungan wanita korban pemerkosaan tersebut kurang dari 120 hari atau masih di hari-hari awal. Maka sebagian ulama membolehkannya untuk melakukan aborsi.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan imam Muslim. Hadist tersebut menjelaskan tentang rincian fase yang dialami oleh bayi itu. Fase pertama atau 40 hari pertama bayi itu dalam bentuk air mani. Kemudian fase kedua atau 40 hari kedua, bayi sudah dalam bentuk segumpal darah. Fase ketiga atau 40 hari ketiga, bayi sudah dalam bentuk daging.

Setelah bayi dalam kandungan sempurna di 120 hari, saat itulah Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya. Jadi nyawa dari bayi itu baru ada setelah usia 120 hari atau usia empat bulan di perut ibu.

"Maka di sinilah diambil hukum ketika usia dari bayi tersebut sudah melewati 120 hari, artinya nyawanya sudah ada, maka di sini ulama kita secara ijma mereka sepakat untuk tidak membolehkan digugurkan kandungan karena ketika digugurkan kandungan, kita telah membunuh nyawa yang telah ada," jelas Kiai Yusran.

Kiai Yusran menambahkan, kecuali jika memang ternyata menurut dokter bayi tersebut bisa membahayakan ibunya dan akan menyebabkan resiko sang ibu mati. Maka ada sebagian ulama yang membolehkan untuk menggugurkan kandungan, walaupun sudah berumur 120 hari.

"Tapi umumnya para ulama kita sepakat secara ijma mereka mengatakan bahwa kalau sudah 120 hari, ruh sudah ditiupkan maka tidak boleh lagi digugurkan hanya dengan alasan dia adalah anak zina atau anak hasil pemerkosaan," kata Kiai Yusran.

Ia mengatakan, jika anak itu belum berumur 120 hari atau ruhnya belum ditiupkan, artinya masih dalam bentuk daging atau gumpalan darah. Ada ulama yang membolehkan korban pemerkosaan melakukan aborsi, tapi lebih cepat diaborsi lebih baik, jangan menunggu bayinya tumbuh dalam kandungan.

"Jadi kesimpulannya bahwa ulama kita tidak membolehkan untuk menggugurkan kandungan kalau bayi tersebut sudah berumur 120 hari atau empat bulan, karena sang bayi itu sudah memiliki nyawa dan sudah ditiupkan ruh, karena kalau kita menggugurkan berarti kita membunuh makhluk hidup, membunuh manusia," jelasnya.

sumber : Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler