Ekonom: Cuma Di Indonesia, Rasio Utang Negara Jadi Isu Politik Seksi

Kata kuncinya adalah upaya memacu pertumbuhan ekonomi.

dok BTN Syariah
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah.
Rep: Eva Rianti Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengkritisi mencuatnya isu rasio utang negara yang dikabarkan bakal dinaikkan menjadi 50 persen di era kepemimpinan Prabowo Subianto mendatang. Menurutnya, isu itu telah menjadi isu politik yang seksi di Indonesia.

Baca Juga


“Seharusnya pahami dulu kondisinya secara lebih objektif. Isu ini kenapa bolak balik maju mundur di kubu Prabowo karena isunya sensitif. Isu utang menjadi isu politik yang sensitif karena masyarakat enggak paham, selama ini kita digiring pemahaman bahwa utang itu jahat,” kata Piter saat dihubungi Republika, Jumat (12/7/2024).

Alih-alih menganggap utang adalah hal yang buruk dilakukan oleh pemerintah, Piter mengatakan bahwa kata kuncinya adalah pada upaya memacu pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, selama tidak melanggar ambang batas 60 persen dari PDB, persoalan utang tidak perlu dijadikan sebuah masalah.

“Hanya di Indonesia isu utang pemerintah dipermasalahkan terus. Di luar negeri enggak pernah jadi isu besar,” tuturnya.

Dia mencontohkan negara Amerika Serikat yang utangnya pada 2023 telah melampaui batas di 31,4 triliun dolar AS dan mengalami kesulitan pendanaan. Rasio utang AS diketahui telah mencapai 124 persenan. Tapi atas hal itu, tidak ada isu utang dihebohkan dan tidak pernah jadi isu politik besar di AS, padahal sudah melewati batas toleransi UU yang berlaku di Negeri Paman Sam tersebut.

Atau Jepang yang tercatat rasio utangnya bahkan mencapai hingga 260 persen dari PDB. Masyarakat Jepang tidak meributkan perihal besaran rasio utang yang fantastis itu.

“Yang mesti kita tuntut dari pemerintah adalah bagaimana pemerintah menjaga perekonomian untuk tumbuh dan memberikan lapangan kerja yang cukup. Mengenai bagaimana pemerintah mewujudkan, itu urusan pemerintah,” tuturnya.

Sehingga, Piter menekankan bahwa tidak masalah jika rasio utang negara semakin naik hingga ke angka 50 persen sekalipun, karena tidak melampaui ambang batas yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Beda cerita jika ingin melampaui batas 60 persen.

“Kalaupun 50 persen, pemerintah tidak melanggar UU, karena masih dalam koridor,” tuturnya, menekankan bahwa persentase ambang batas dipastikan sudah diperhitungkan pula mengenai kemampuan negara dalam membayar utang.

Sebelumnya diketahui, desas desus Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikan rasio utang dari 39 persen menjadi 50 persen dari produk domestik bruto (PDB) kembali mencuat. Hal tersebut disampaikan adik kandung Prabowo Hashim Djojohadikusumo.

Menurut Hashim rencana tersebut bahkan sudah dilaporkan ke Bank Dunia. “Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50 persen adalah tindakan yang bijaksana,” ujar Hashim saat berbincang dengan Financial Times dikutip di Jakarta, Jumat (12/7/2024).

Kepada Financial Times, Hashim mengakui kenaikan rasio utang untuk membiayai makan bergizi gratis yang merupakan program unggulan pasangan Prabowo-Gibran. Namun, lanjut Hashim, kenaikan rasio utang tersebut akan dilakukan bersamaan dengan menaikkan pendapatan negara.

“Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Untuk Pendapatannya bisa mulai dari pajak, pajak ekspor, royalti dari penambangan dan pajak impor,” kata Hashim.

Saat dikonfirmasi terpisah, Bank Dunia tidak mau menanggapi permintaan komentar perihal hal itu. Berdasarkan peraturan, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60 persen dari PDB.

Rencana pinjaman pemerintah Prabowo menandai pergeseran besar dari sikap fiskal konservatif Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengubah Indonesia menjadi kekuatan komoditas. Hashim adalah salah satu penasihat terdekat Prabowo dan akan memainkan peran penting pada Oktober nanti.

Hashim disebut sudah menyampaikan ide itu dalam pertemuan dengan perusahaan dan konsultan pada Juni 2024. Menurut sumber, Hashim mengatakan, pemerintah Prabowo akan mencapai target dari 39 persen menjadi 50 persen utang dari PDB secara bertahap yakni naik sebanyak dua persen dalam jangka lima tahun. 

 

 

Ada kekhawatiran Indonesia tak bisa bayar hutang di masa depan.... (baca di halaman selanjutnya)

Sementara itu, Peneliti yang juga Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini menyampaikan ada kekhawatiran dalam upaya pembayaran utang ke depan karena makin tertekannya kondisi fiskal.

“Kita perlu bicara keberlanjutan fiskal ke depan, artinya ketika kita ambil utang saat ini, mampu enggak dibayar di masa yang akan datang? Jangan sampai ketika kita ambil utang sekarang dengan mau dimaksimalkan 50 persen, kan ada utang-utang baru nih, nanti sanggup enggak bayarnya? Ini akan menjadi beban ke depan,” kata Eisha saat dihubungi Republika, Jumat (12/7/2024).

Dia berpendapat, meskipun berdasarkan Undang-Undang ambang batas rasio utang negara adalah 60 persen dari PDB, namun semestinya tidak sampai dimaksimalkan. Hal itu melihat rasio utang negara saat ini yang bergerak di angka 38—39 persen. Sehingga jika dinaikkan hingga ke angka 50 persen, ruang fiskal jadi makin sempit.

Menurut catatan Indef hingga Mei 2024, Indonesia memiliki utang lebih dari Rp8.300 triliun. Adapun utang jatuh tempo pada 2025—2029 mencapai Rp3.749 triliun. Sementara itu, berbagai proyek ambisius ingin digulirkan, seperti program makan bergizi gratis dan melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kalau kita lihat saat ini mengenai pembayaran utang kita, tahun depan saja utang jatuh tempo masih tinggi, sedangkan dari sisi penerimaan kita masih stagnan segitu-gitu saja,” ujar dia.

Selain itu, Eisha melanjutkan penting pula untuk mempertimbangkan risiko-risiko ke depan mengenai pertumbuhan ekspor yang berpotensi turun dan penerimaan PPH badan yang terkontraksi.

“Perlu juga melihat risiko ke depan misalnya penurunan ekspor, penurunan penerimaan dari PPH badan karena kan sekarang situasi ekonommi masih tidak menentu dan ada perlambatan. Sudah kelihatan penerimaan dari perusahaan-perusahaan turun atau stagnan. Dari sisi penerimaan (APBN) juga masih belum meningkat,” terangnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler