MK Mulai Sidangkan Gugatan Novel Baswedan Cs, Akankah Syarat Usia Capim KPK Diturunkan?

MK mulai menyidangkan gugatan Novel Baswedan cs.

Republika/Thoudy Badai
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan besama Koalisi Masysrakat Sipil Anti Korupsi menggelar aksi di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan gugatan Novel Baswedan dan sejumlah mantan pegawai KPK lainnya. Gugatan itu terkait uji materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yakni perihal syarat usia calon pimpinan lembaga antirasuah.

Baca Juga


Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Senin (22/7/2024). Ketua MK Suhartoyo memimpin jalannya sidang panel dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.

Di hadapan Mahkamah, Novel Baswedan mengatakan, Pasal 29 huruf e Undang-Undang KPK yang saat ini berlaku merugikan hak konstitusional para pemohon. Oleh karena itu, para pemohon ingin MK memaknai kembali pasal dimaksud.

"Dengan adanya perubahan Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019, yaitu di Pasal 29 e yang mana mengubah batas usia menjadi 50 sehingga keadaan tersebut membuat saya dan beberapa pemohon lainnya itu menjadi tidak bisa berkontribusi untuk melaksanakan hak kami sebagai warga negara yang tentunya dilindungi oleh konstitusi untuk bisa membantu penguatan KPK," kata Novel.

Pasal 29 huruf e Undang-Undang KPK yang digugat Novel dan kawan-kawan, sejatinya telah dimaknai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi:

Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.

Kuasa hukum para pemohon, Lakso Anindito, mengatakan bahwa batas usia 50 tahun menghalangi para pemohon untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Padahal, para pemohon yang belum berusia 50 tahun itu telah berpengalaman sebagai pegawai KPK.

Dia mengatakan, pegawai KPK yang telah menjabat lima tahun juga berhak mendaftar sebagai calon pimpinan. Menurut Lakso, pengalaman tersebut setidaknya telah memberikan mereka pengetahuan yang cukup mengenai KPK.

Oleh karena itu, para pemohon meminta MK memaknai kembali Pasal 29 huruf e Undang-Undang KPK menjadi:

Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.

Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh 12 orang pemohon, yakni Novel Baswedan, Mochamad Praswad Nugraha, Harun Al Rasyid, Budi Agung Nugroho, Andre Dedy Nainggolan, Herbert Nababan, Andi Abd Rachman Rachim, Rizka Anungnata, Juliandi Tigor Simanjuntak, March Falentino, Farid Andhika, dan Waldy Gagantika.

Di akhir persidangan, majelis hakim memberikan nasihat kepada para pemohon. Enny Nurbaningsih, salah satunya, menyarankan frasa pengalaman sebagai pegawai KPK di dalam petitum perlu diperjelas ruang lingkupnya. "Pegawai KPK yang dimaksud itu apa ruang lingkupnya? Luas sekali kan pegawai KPK itu," kata Enny.

MK memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Berkas permohonan yang diperbaiki paling lambat harus diterima MK pada 5 Agustus 2024.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023). - (Republika)

Ketua MK Suhartoyo angkat bicara.. baca di halaman selanjutnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengatakan permintaan putusan sela Novel Baswedan dan sejumlah mantan pegawai KPK lainnya dalam perkara uji materi Undang-Undang KPK sepenuhnya tergantung kepada rapat permusyawaratan hakim (RPH). "Semua terserah nanti bagaimana rapat hakim menyikapi kalau tadi akan ada permohonan provisi," kata Suhartoyo selaku Ketua Majelis sidang panel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Panel MK, Jakarta, Senin.

Pada mulanya, kuasa hukum para pemohon, Lakso Anindito, mengatakan bahwa pihaknya ingin mengajukan putusan sela yang salah satunya agar proses seleksi calon pimpinan KPK yang sedang berlangsung ditunda terlebih dahulu.

Lakso mengatakan perkara uji materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ini telah diajukan sejak bulan Mei 2024.

Akan tetapi, MK saat itu fokus menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres dan Pileg 2024 sehingga tidak bisa langsung menyidangkan perkara yang mereka ajukan.

Sementara itu, pendaftaran seleksi calon pimpinan KPK periode 2024–2029 telah berakhir pada 15 Juli 2024. Oleh karena itu, para pemohon meminta MK menjatuhkan putusan sela dimaksud.

"Nantinya pada revisi ini kami juga mengajukan terkait dengan putusan sela, Yang Mulia, apabila diperkenankan agar pemohon kami tidak semakin jauh kehilangan haknya dan tetap mendapatkan dispensasi atau bisa juga prosesnya ditunda pada proses seleksi yang sedang berlangsung," ucap Lakso.

Mengenai hal itu, Suhartoyo mengatakan bahwa MK memang tengah fokus menangani perkara PHPU Pilpres dan Pileg saat Novel dan kawan-kawan mengajukan perkara tersebut.

Dijelaskan Suhartoyo, ketika MK melaksanakan kewenangan lain yang bersamaan dengan tahapan perkara pengujian undang-undang (PUU) maka tahapan persidangan PUU menyesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan lain dimaksud.

Hal itu, kata dia, telah diatur dalam Pasal 82 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

"Jadi, memang kemudian selalu dijadikan pendirian MK, perkara Pengujian Undang-Undang di-hold (ditahan), dihentikan, karena memang sidang yang (PHPU) Pilpres itu sifatnya maraton, bahkan kami di hari Sabtu-Minggu pun sampai tidak libur," ucap Suhartoyo.

Di sisi lain, Suhartoyo menyebut permohonan yang dikabulkan dalam putusan sela tergantung kepada argumentasi hukum yang ditawarkan.

"Tapi memang MK pada titik untuk mengabulkan yang putusan sela, provisi itu, jarang sekali. Meskipun memang ada (yang dikabulkan). Itu artinya memang sangat dikaitkan dengan case by case (kasus per kasus) bagaimana relevansi dan bobot argumentasi yang disampaikan," ujar Suhartoyo.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler