Ancaman Baru Dunia Digital, Studi Ungkap Sebagian Remaja RI Cari Sex Partner Via Aplikasi
Aplikasi kencan daring bisa menjadi senjata baru para pelaku kekerasan seksual.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI mengungkapkan sebanyak 13,9 persen remaja di Indonesia menggunakan aplikasi kencan daring. Mereka mencari pasangan untuk berhubungan seksual atau sex partner.
"Studi ini menemukan ada 13,9 persen responden remaja yang menggunakan aplikasi kencan online untuk mencari sex partner atau pasangan seksual," kata Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Anastasia Septya Titisari dalam seminar yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Peneliti BRIN yang disapa Titis ini menyoroti hal tersebut, sebab pencarian pasangan seksual merupakan salah satu dari tiga motivasi terbesar para remaja dalam menggunakan aplikasi kencan daring, selain mencari jodoh dan merayu atau flirting. Kondisi tersebut, kata dia, memunculkan ancaman baru di dunia digital, berupa pengunggahan foto atau video intim seseorang atau Non-Consentual Intimate Image (NCII).
"Dari berbagai kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), NCII ini jadi sebuah fenomena global yang kerap muncul dalam proses interaksi dunia digital," ujarnya.
Titis menegaskan, penggunaan aplikasi kencan daring bisa meningkatkan risiko KBGO, karena dapat membuka ruang individu para penggunanya.
"Studi menemukan secara umum aplikasi kencan ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi untuk mengalami kekerasan seksual. Studi yang sama juga menemukan perempuan sebagai kelompok yang riskan dalam mengalami kekerasan seksual," ungkapnya.
Menurut Titis, penggunaan aplikasi kencan daring bisa menjadi senjata baru para pelaku kekerasan seksual. Sebabnya, para pelakunya dapat tampil secara anonim dengan memalsukan identitasnya.
Kondisi tersebut, sambungnya, diperparah dengan tidak optimalnya kebijakan pemblokiran akun atau ban, karena para pelaku dapat mendaftar kembali dengan menggunakan alamat surel baru. Oleh karena itu, ia menekankan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran digitalnya, serta mengajarkan para remaja untuk tidak membagikan konten pribadinya secara digital.
"Mari kita saling mengingatkan agar selalu berhati-hati dalam memilih teman secara online, dan bijak dalam bersosial media dengan memahami konsep persetujuan dan menghormati privasi orang lain," tutur Titis.
Terkait kasus eksploitasi seksual anak di bawah umur secara daring, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri sebelumnya mengungkapkan modus yang digunakan oleh pelaku. Wakil Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Kombes Pol. Doni Kustoni dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/7/2024), mengatakan bahwa para pelaku yang belakangan ditangkap yakni berinisial YM, MRP, CA, dan MIR menggunakan media sosial untuk mencari pelanggan dengan tujuan menawarkan jasa layanan seksual perempuan, mulai dari yang di bawah umur hingga selebritas yang disebut oleh pelaku “skuter” atau selebritas kurang terkenal
“Saudara MIR ini, selaku pelaku utama, adalah yang membuat akun di media sosial X, kemudian membentuk grup Telegram ‘Premium Place’” kata Doni.
Doni menyebut, khusus untuk perempuan di bawah umur, para tersangka mematok harga antara Rp8-17 juta. Saat ini, jumlah anggota Telegram “Premium Place” sebanyak 3.200 anggota.
Untuk bisa masuk ke dalam grup tersebut, kata dia, para anggota harus membayar akses sebesar Rp500 ribu hingga Rp2 juta. Selain itu, pelaku juga menawarkan layanan khusus kepada anggota yang telah menjadi pelanggan loyal. Apabila pelanggan ini terus-menerus menggunakan layanan, maka mereka bisa bergabung dalam grup bernama Hidden Gems.
“Jadi, ada grup tersendiri dalam kelompok mereka yang memungkinkan untuk dimasuki oleh loyal customer dengan membayar deposit Rp5-10 juta,” kata dia.
Di dalam grup Hidden Gems, lanjutnya, para pelaku menawarkan secara khusus perempuan-perempuan yang terbaik menurut mereka. Harga layanan yang dipatok berkisar ratusan juta. Adapun cara pelaku menawarkan korban adalah berawal dari media sosial. Apabila tertarik, pelanggan diarahkan untuk masuk dalam Telegram “Premium Place” dan diberikan katalog talent atau korban.
Selanjutnya, MIR menghubungi tersangka MRP yang berperan menyediakan talent untuk mengakomodasi permintaan pelanggan. Setelah transaksi selesai, korban diantarkan kepada pelanggan.
“Tarif yang diterima oleh talent itu adalah sejumlah Rp2 juta dari pemesanan yang dibayarkan ke admin sebesar Rp8 juta,” kata dia.
Para pelaku juga menawarkan layanan di beberapa kota, yaitu Jakarta, Bali, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Bandung. Doni mengatakan, apabila ada anggota yang memesan layanan di salah satu kota tersebut, maka akan dilayani oleh admin grup per kota yang sudah disiapkan.
Cara perekrutan yang dilakukan para pelaku adalah melalui lingkaran pertemanan. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya, mucikari merupakan seorang talent. Seiring dengan meningkatnya lingkaran pertemanan, korban ikut merekrut dan akhirnya menjadi mucikari untuk teman-temannya.
Saat ini, pelaku YM, MRP, CA telah ditangkap dan ditahan, sedangkan tersangka MIR, saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai narapidana kasus narkoba. Dari vonis 10 tahun yang dijatuhkan, MIR telah menjalani masa tahanan empat tahunan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 52 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Berbicara terpisah sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Nurherwati mengatakan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus ditingkatkan. Hal itu lantaran dari tahun ke tahun, permintaan perlindungan saksi dan korban kasus kekerasan seksual terhadap perempuan serta anak ke LPSK selalu bertambah.
"Kenaikan jumlah permohonan perlindungan ke LPSK ini menunjukkan urgensi penanganan yang diperlukan pada anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum,” kutip Nurherwati dalam keterangan diterima, Rabu (24/7/2024).
Berdasarkan data LPSK, terjadi peningkatan permintaan perlindungan korban kekerasan terhadap anak dari tahun 2022 ke 2023. "Permohonan perlindungan dalam tindak pidana seksual terhadap anak ke LPSK pada 2023 berjumlah 973 permohonan, padahal pada 2022 hanya sebanyak 537 permohonan," kata Nurherwati.
Sedangkan untuk tahun ini per bulan Januari hingga Juni, tercatat ada 135 permohonan perlindungan korban kekerasan seksual terhadap anak yang masuk ke LPSK.
Fenomena serupa juga terjadi dalam kekerasan seksual terhadap perempuan. Tercatat yang sebelumnya hanya 99 permohonan perlindungan di 2022 kini meningkatkan menjadi 214 di 2023. Sedangkan untuk tahun ini saja yakni per Januari hingga Juni terdapat 135 permohonan yang masuk.
Nurherwati mengatakan, mereka yang melapor mendapatkan perlindungan dari LPSK mulai pemulihan psikologi, perlindungan secara hukum, penasihat hukum hingga perlindungan secara fisik. Namun demikian, dia meyakini masih banyak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang belum berani melapor ke LPSK.
Karenanya, dia berharap seluruh korban kekerasan seksual berani untuk melapor agar LPSK agar dapat melakukan perlindungan dan pemulihan mental korban dengan cepat. Dia juga berharap seluruh stakeholder mau bekerja sama mencegah hingga menindak praktik kekerasan terhadap anak dan perempuan.