Heboh BPIP dan Jilbab Paskibraka, Ini Sejarah Kain Penutup Aurat Muslimah

Allah perintahkan perempuan Muslimah untuk memakai hijab, yang dapat berupa jilbab.

ANTARA/Ahmad Subaidi
Pedagang merapikan jilbab yang dipajang di sebuah toko busana muslim di Mataram, NTB.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jilbab, khimar, maupun hijab merupakan hal yang sama. Ketiganya memiliki makna kain yang digunakan untuk menutupi kepala dan dijulurkan hingga dada seorang perempuan. Dalam kamus Lisaan al-Arab, jilbab berasal dari kata al-jalb yang artinya menjulurkan atau memaparkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Baca Juga


Khimar dalam kitab yang sama diartikan sebagai kerudung. Sebagian ahli bahasa mengatakan, khimar adalah yang menutupi kepala wanita. Jamaknya akhmarah, khumr, khumur, atau khimirr. Sementara hijab dalam Lisan al-Arab diartikan sebagai penutup.

Adapun perintah untuk menggunakan jilbab diturunkan oleh Allah SWT dan tertulis dalam QS al-Ahzab ayat 59, "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka! Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali (menjadi identitas), dan karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang."

Dalam surah tersebut, terdapat dua sebab atau alasan Allah SWT memerintahkan perempuan Muslimah untuk memakai hijab. Alasan pertama yakni agar Muslimah bisa lebih dikenali dan menjadi ciri pembeda dari perempuan lainnya. Alasan berikutnya agar terjaga kewibawaan karakter dan watak keperempuannya, dalam ayat tersebut dijelaskan agar tidak disakiti atau diganggu.

Sebagian besar ahli tafsir menjelaskan ayat ini turun pada saat situasi sosial tidak aman dan ramah terhadap perempuan. Pada saat itu, lokasi untuk buang hajat jauh dari rumah, sehingga banyak perempuan memutuskan keluar tengah malam untuk menyelesaikan urusan tersebut. Namun, di Madinah saat itu masih banyak orang fasik yang suka menganggu perempuan, terutama pada malam hari.

Biasanya perempuan merdeka (hurrah) pergi bersama dengan budak perempuan (amah). Dalam perjalanannya, sering terjadi sekelompok orang menganggu budak perempuan. Namun, karena tidak jelas perbedaan budak dan perempuan merdeka di malam hari, perempuan merdeka pun juga tidak bisa menghindar dari gangguan laki-laki hidung belang.

Supaya aman dan tidak diganggu, Allah SWT menyuruh perempuan mukmin untuk menggunakan jilbab agar terlihat berbeda dengan budak perempuan. Syekh Ali al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan mengatakan, budak perempuan tidak diperintahkan berjilbab karena bisa memberatkan mereka. Budak pada saat itu dibebankan pekerjaan oleh majikannya dan sering keluar rumah untuk bekerja, sulit bagi mereka jika ikut diwajibkan mengenakan jilbab. Hal ini berbeda dengan perempuan merdeka yang pada waktu itu jarang keluar rumah kecuali untuk kebutuhan tertentu.

Di lain waktu, Allah SWT juga menekankan tentang aurat bagi perempuan. Wanita, secara keseluruhan disebut sebagai aurat dan hanya boleh diperlihatkan kepada mahramnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, "Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya." Hal ini memperkuat alasan seorang wanita muslimah menggunakan hijab, yakni untuk menutup auratnya dan menghindari dari fitnah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler