Hasyim Asyari Muncul Jelaskan Beda Putusan MK Sekarang dengan Saat Ia Loloskan Usia Wapres

Mantan ketua KPU Hasyim Asyari tiba-tiba muncul di tengah akrobat politik DPR.

Republika/Bayu Adji P
Ketua KPU Hasyim Asyari muncul di tengah ramai tentang putusan MK tentang pilkada.
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari muncul di tengah ramai protes 'Peringatan Darurat' akibat akrobat politik yang terjadi. Hasyim yang dipecat secara tidak hormat itu menilai, KPU perlu menunggu pembahasan RUU Pilkada sebelum menuangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam peraturan KPU (PKPU).

Baca Juga


KPU hingga kini diketahui masih belum memberikan pernyataan ihwal pembahasan RUU Pilkada yang dilakukan DPR usai muncul putusan MK. Padahal, MK mengamanatkan KPU untuk menindaklanjuti putusan terkait pencalonan kepala daerah itu sebelum penetapan pasangan calon.

Di tengah ramai protes 'Peringatan Darurat', Hasyim muncul. Dia menilai, lembaga penyelenggara pemilu itu harus menunggu RUU Pilkada disahkan menjadi UU. Pasalnya, tindak lanjut putusan MK itu harus dengan melakukan revisi UU atau membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

"Tindak lanjut putusan MK judicial review UU kalau pakai revisi PKPU itu tidak ideal, karena yang diubah itu norma UU, dan PKPU sebagai pelaksanaan norma UU," kata dia kepada wartawan, Kamis (22/8/2024).

Menurut Hasyim, apabila tindak lanjut putusan MK itu dilakukan dengan merevisi PKPU, KPU tetap harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Sementara, saat ini DPR tengah melakukan revisi terhadap UU Pilkada.

"Jadi idealnya lebih baik KPU merujuk kepada revisi UU sebagai tindak lanjut putusan MK judicial review UU," kata eks ketua KPU yang dipecat secara tidak hormat itu.

Ia mengakui saat ini KPU disebut menggunakan standar ganda dalam menindaklanjuti putusan MK. Hal itu dikarenakan KPU melakukan tindak lanjut putusan MK terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden tanpa menunggu revisi UU dan PKPU pada Pilpres 2024.

Namun, Hasyim menilai, ketika dirinya menjabat sebagai pimpinan KPU saat itu, DPR tidak melakukan revisi terhadap UU Pemilu, meski terdapat perubahan norma UU melalui putusan MK. Sementara saat ini, DPR tengah melakukan revisi UU Pilkada.

"Perbedaannya adalah konteks Pemilu 2024 tidak ada revisi UU, maka tindak lanjut berupa penyesuaian norma dalam PKPU. Konteks Pilkada 2024 sekarang ada revisi UU sebagai tindak lanjut putusan MK dengan cara penyesuaian norma melalui revisi UU," kata dia.

Ia menambahkan, upaya yang dilakukan DPR dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada merupakan tugas wakil rakyat sebagai pembuat UU. Ia mengatakan, lembaga yang berwenang membentuk norma dalam UU adalah DPR, bukan lembaga lain.

"Dengan demikian tindakan DPR melakukan revisi UU adalah konstitusional, alias tidak masuk kategori pembangkangan konstitusi," kata Hasyim.

Benarkah tidak ada pembangkangan konstitusi? Baca di halaman selanjutnya.

Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

Dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai, putusan MK itu bersifat final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. Ketika putusan itu tak dilakukan, menurut dia, sama saja terjadi pembangkangan konstitusi. "Bila terus dibiarlan berlanjut, maka Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan," kata dia, Rabu (21/8/2024).

Titi menilai, MK merupakan satu-satunya penafsir konstitusi yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945. Karena itu, semua elemen bangsa, termasuk emerintah dan DPR, harus menghormati dan tunduk pada putusan MK dengan tanpa kecuali.

Menurut dia, putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA. Pasalnya, putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap UU Dasar, sehingga harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan MA. "Ketika MK sudah memberi tasir, maka itulah yang harus diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang," kata dia.

Sebelumnya, MK telah membuat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia calon kepala daerah, pada Selasa (20/8/2024). Dalam Putusan Nomor 60, MK mengurangi ambang batas pencalonan kepala daerah berdasarkan persentase perolehan suara sesuai dengan rentang daftar pemilih tetap (DPT), menjadi 6,5-10 persen.

Dalam Putusan Nomor 70, MK mengembalikan pemenuhan syarat usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan pasangan calon. Hal itu bertentangan dengan putusan MA yang menjadikan waktu pelantikan sebagai rujukan pemenuhan syarat usia calon kepala daerah.

Namun, sehari setelah, Baleg DPR melakukan pembahasan RUU Pilkada. Dalam RUU Pilkada yang telah disepakati mayoritas fraksi partai politik di DPR, ambang batas dalam putusan MK hanya berlaku untuk partai politik atau gabungan partai politik nonparlemen. Sementara partai politik yang memiliki kursi di DPRD tetap memiliki ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.

Untuk norma terkait syarat usia, RUU Pilkada yang disusun Baleg DPR tetap berpedoman pada putusan MA, alih-alih tunduk pada putusan MK.

Singkatnya, dengan RUU Pilkada yang akan disahkan menjadi UU itu, PDIP tak bisa mencalonkan kepala daerah di Pilgub DKI Jakarta. Sementara itu, putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Kaesang Pangarep, bisa menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur di Pilkada Serentak 2024.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler