Survei Ini Ungkap Penurunan Daya Beli Kelas Menengah Berdampak Signifikan di Sektor Ritel

Sektor ritel grade B dan C mengalami koreksi minus 3.

Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung berjalan di dekat backdrop sosialisasi renovasi mal The Plaza Semanggi di Jakarta, Rabu (1/11/2023). PT Lippo Mal Indonesia (LMI) memulai renovasi bangunan mal The Plaza Semanggi yang merupakan bagian dari strategi dan perencanaan LMI untuk meningkatkan nilai mal dan juga mempercepat pertumbuhan sektor bisnis ritel yang melambat akibat pandemi.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan daya beli masyarakat dan jumlah masyarakat kalangan kelas menengah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan bisnis ritel di Jakarta. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Knight Frank Indonesia, sektor ritel yang terbagi menjadi empat segmen, yakni premium grade A, grade A, grade B, dan grade C mengalami tekanan yang berbeda-beda.

Baca Juga


Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/9/2024), mengatakan segmen grade B dan grade C, yang umumnya menyasar kelas menengah, mengalami koreksi paling dalam. Performa ritel grade B dan C, yang umumnya merupakan ritel strata, juga terlihat makin melemah dampak perluasan ruang belanja online dan berlanjutnya pelemahan daya beli.

Ritel atau mal memiliki dua jenis kepemilikan utama, yaitu strata dan sewa. Pada ritel strata, unit atau ruko dapat dibeli dan menjadi hak milik pemilik. Sedangkan pada ritel sewa, unit atau ruko hanya dapat digunakan dalam jangka waktu tertentu. Mereka menyewa dari pemilik properti.

“Sektor ritel grade B dan C yang umumnya adalah strata ritel ini mengalami koreksi sekitar minus 3 atau kalau kita bedakan berdasarkan tipe, sektor ritel strata ini mengalami koreksi atau berada di bawah rata-rata tingkat hunian ritel di Jakarta saat ini,” kata Syarifah.

Sementara itu, performa untuk sektor ritel grade A dan premium grade A relatif masih kuat. Syarifah menyebut ritel grade A dan premium grade A cenderung terus berinovasi dan beradaptasi dengan kondisi pasar yang berubah.

Pertumbuhan sektor makanan dan minuman (F&B), misalnya, cukup pesat dengan variasi segmen yang merata. Pelaku bisnis F&B tidak hanya fokus pada segmen premium, tetapi juga berinovasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen di segmen grade B dan C.

Menurut dia, meskipun volume belanja cenderung menurun, kebutuhan dasar seperti pangan dan sandang tetap menjadi pendorong utama aktivitas ritel. Namun, perubahan pola konsumsi masyarakat membuat pelaku bisnis harus lebih kreatif dalam menawarkan produk dan layanan.

“Jadi kami melihat bahwa kecepatan inovasi dari peritel ini cukup mampu mengimbangi pasar yang ada saat ini,” katanya.

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

 

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami tren penurunan. Pada 2021 jumlah kelas menengah mencapai 53,83 juta orang, tetapi angka ini menurun menjadi 49,51 juta pada 2022, menurun lagi menjadi 48,27 juta pada 2023, dan 47,85 juta pada 2024.

Kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 mencapai Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara.

Sementara, jumlah penduduk kelompok kelas atas relatif stabil, di mana pada 2021 sebanyak 1,07 juta orang dan pada 2024 juga sebanyak 1,07 juta orang. Artinya, kelas menengah yang hilang itu turun kelas, bukan naik kelas. Penurunan kelompok kelas menengah itu mengindikasikan adanya tekanan ekonomi.

Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, penurunan kelas menengah ini dapat berdampak pada perekonomian Indonesia yang kurang resilien terhadap guncangan. “Kelas menengah memiliki peran yang sangat krusial sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Ketika proporsi kelas menengah relatif tipis, perekonomian kurang resilien terhadap guncangan. Jadi, peran kelas menengah menjadi penting untuk menjaga daya tahan suatu ekonomi,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Jumat (30/8/2024).

Menurut Amalia, mayoritas pengeluaran kelas menengah dan menuju kelas menengah menyasar kelompok makanan serta perumahan, dengan pengeluaran untuk perumahan mencakup biaya sewa dan perabotan rumah tangga dan tidak termasuk biaya cicilan pembelian rumah atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Secara tren, proporsi pengeluaran kelas menengah untuk makanan mengalami peningkatan, sementara hiburan dan kendaraan mencatatkan penurunan.

“Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga untuk kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class),” kata Amalia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler