Penyakit Kronis Anak Muda, Dari FOMO Sampai YOLO, Bikin Keuangan Makin Loyo
Gen Z-milenial sumbang 37,17 persen kredit macet pinjaman online
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi rumah tangga menempati 55 persen kontribusi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto, kata Badan Pusat Statistik.
Mayoritas pengeluaran konsumsi ini didorong oleh konsumsi generasi muda. Menurut data sensus penduduk terbaru tahun 2023, Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 sudah mendominasi populasi nasional dengan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau 27,94 persen populasi.
Sementara milenial sebagai kelompok yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996, menyusul dengan jumlah sekitar 69,38 juta jiwa. Milenial menjadi penduduk dominan urutan kedua dengan presentase 25,87 persen. Total keduanya mencapai 53,81 persen.
Dua kelompok ini menjadi kekuatan utama ekonomi Indonesia, baik dari sisi produktif maupun konsumtif. Dari sisi produktif, generasi muda ini masih jauh dari potensinya. Mayoritas generasi muda masih meniti karir atau membangun pondasi ekonomi kemapanan.
Mayoritas generasi muda adalah kelas menengah. Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan satu tiga penduduk kelas menengah adalah generasi Z dan generasi Alpha. Keduanya menempati porsi 36,89 persen dari total kelas menengah, dengan jumlah 17,65 juta orang.
Penduduk menuju kelas menengah juga didominasi oleh Gen Z yang menempati porsi 25,45 persen. Diikuti oleh milenial sebesar 24,08 persen.
Menurut BPS, mayoritas kelas menengah bekerja di sektor formal, khususnya jasa. Mayoritas juga tamatan SMA dengan jumlah 37,07 persen. Yang lulus perguruan tinggi berjumlah sekitar 25,17 persen.
Dengan perkembangan ini, mayoritas generasi muda hanya punya penghasilan rata-rata setara Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu, jumlah pekerja muda yang bergelut di sektor informal juga semakin naik jumlahnya.
Hasil Survei Angkatan Kerja BPS pada Februari 2024 mencatat jumlah pekerja informal naik menjadi 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17 persen dari total penduduk yang bekerja, naik dari 57,27 persen pada 2019.
Jumlah pengangguran di usia muda pun cukup tinggi. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada kelompok umur muda mencapai 16,42 persen. Artinya, dari 100 orang usia muda antara 15-24 tahun, yang menganggur ada sekitar 16 orang.
Sebanyak 8,15 persen dari pengangguran adalah penduduk umur muda. Rasio TPT umur muda itu juga lima kali lebih tinggi dibanding TPT umur dewasa. Di tengah kondisi keuangan dan pendapatan yang tidak mapan ini, generasi muda berhadapan dengan gaya hidup keuangan yang tak sehat.
Anak muda 'berkelahi' dengan promo Paylater... (baca di halaman selanjutnya)
Kondisi keuangan anak muda yang kurang mapan ini dihadapkan dengan gaya hidup yang kurang sehat. Mulai dari merebaknya Fear of Missing Out (FOMO) hingga You Only Live Ones (YOLO) membuat 'tren' menjadi 'kebutuhan'. Gaya hidup seperti ini didorong oleh media sosial.
Guru besar bidang manajemen di Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali menyampaikan FOMO telah menjadi driver konsumsi masyarakat.
"Sebagian besar mereka (kelas menengah) memang konsumsi didasari oleh rasa tidak ingin ketinggalan," tuturnya.
Terlihat perbedaaan antara analisa ekonomi dan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat lantaran dorongan FOMO yang begitu kuat. Dalam bisnis ada dua hal yang sangat berbeda antara daya beli dan keinginan membeli.
"Daya beli dan keinginan membeli adalah dua hal yang berbeda, yang dianalisa adalah daya beli, tapi keinginan membeli itu bukanlah purchasing power, tapi itu adalah atu willingness to pay, jadi orang kalau sudah ingin bisa menggunakan berbagai hal, seperti pinjaman atau pinjam dengan orang-orang yang dikenal atau banyak juga yang menggunakan paylater," jelas Rhenald.
Daya beli yang sebenarnya tidak ada ini menjadi ada dengan bantuan kredit cepat dan mudah. Industri paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) telah menjadi 'penolong' generasi muda untuk memenuhi 'kebutuhan'nya. Namun demikian, muncul masalah karena generasi muda ternyata tidak mampu membayar cicilan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan generasi Z dan milenial berkontribusi sebesar 37,17 persen pada kredit macet atau tingkat wanprestasi (TWP) 90 Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online untuk Juli 2024.
“Dari data yang ada pada kami di Juli 2024 porsi wanprestasi 90 hari atau TPW 90 untuk gen Z dan milenial ini yang kami kategorikan di usia 19 sampai 34 tahun itu adalah 37,17 persen,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulanan Agustus 2024, Agusman menuturkan tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP 90 pada P2P lending, dalam kondisi terjaga di posisi 2,53 persen pada Juli 2024, menurun dibandingkan pada Juni 2024 yang sebesar 2,79 persen.
Sementara, outstanding pembiayaan di industri fintech peer to peer lending pada Juli 2024 terus meningkat menjadi 23,97 persen yoy, dengan nominal sebesar Rp69,39 triliun.
Untuk memitigasi risiko kredit macet oleh masyarakat termasuk generasi Z dan milenial, penyelenggara peer to peer lending telah diminta oleh OJK untuk membuat pernyataan peringatan kepada konsumen pada laman utama website maupun aplikasinya.
Kalimat peringatan tersebut berbunyi: Hati-hati, transaksi ini berisiko tinggi. Anda dapat saja mengalami kerugian atau kehilangan uang. Jangan berutang jika tidak memiliki kemampuan membayar. Pertimbangkan secara bijak sebelum bertransaksi.
“Mudah-mudahan pendekatan ini akan membantu untuk menyeleksi gen Z dan milenial dan siapapun juga yang ingin bertransaksi di peer to peer lending untuk lebih sadar dari awal risiko yang akan dihadapi,” ujar Agusman.
Anak muda harus belajar mengelola keuangan, bagaimana caranya...?
Consumer Business Community Manager Bank Jago Edo Velandika mengatakan bahwa sebagian besar permasalahan keuangan kaum muda muncul dari perilaku konsumtif yang tidak diimbangi dengan pengelolaan keuangan yang sehat.
"Untuk itu generasi muda harus melek keuangan dan belajar mengelola keuangan yang baik. Bisa diawali dengan introspeksi gaya hidup, lalu menabung atau membuat pos-pos anggaran berdasarkan skala prioritas, dan terakhir mulailah investasi sejak dini,” ujar Dika dalam keterangan di Jakarta, Ahad (6/10/2024).
Dika mengemukakan konsep dasar pengelolaan keuangan 3F yaitu fix, fun, and future, yang merujuk pada tiga kriteria anggaran yang harus dipahami dalam membuat perencanaan keuangan. Fix berarti memisahkan pengeluaran yang bersifat pasti atau fixed cost, seperti biaya makan, cicilan atau sewa tempat tinggal, dan pengeluaran lain yang bersifat wajib. Ini biasanya sekitar 50 persen dari total penghasilan bulanan.
Lalu, fun yang merupakan alokasi dana untuk kegiatan bersenang-senang, seperti nonton film atau konser musik, hobi, olahraga, maupun liburan atau traveling.
"Anggaran ini kalau dikeluarkan bisa bikin senang, tetapi kalaupun tidak ya tidak apa-apa juga. Untuk fun budget ini usahakan tidak lebih dari 30 persen dari total penghasilan," kata Dika.
Terakhir adalah future, yaitu alokasi dana yang dipersiapkan sejak dini untuk memenuhi kebutuhan yang tak terduga dan sesuatu yang bersifat jangka panjang atau untuk masa depan. Misalnya, dana darurat, dana pensiun, atau biaya untuk melanjutkan pendidikan. Anggaran future setidaknya memiliki alokasi 20 persen dari total penghasilan.
Menurut Dika, yang terpenting dalam pengelolaan keuangan bukanlah seberapa besar nominal yang ingin dicapai tetapi lebih kepada membangun kebiasaan finansial yang baik. Untuk itu kita perlu menetapkan target-target keuangan pribadi secara cermat dan realistis, merinci dan mengkalkulasi anggaran yang sifatnya pasti atau rutin, serta membuat alokasi anggaran berdasarkan skala prioritas dan tujuan jangka panjang.
Ia melanjutkan bahwa sekarang banyak aplikasi atau metode yang memudahkan untuk memisah-misahkan anggaran. Salah satunya adalah menggunakan Aplikasi Jago dengan fitur Kantong di dalamnya. Pengguna Aplikasi Jago dapat memisahkan uang ke dalam pos-pos yang berbeda sesuai kebutuhan dan keinginan hingga 60 kantong, yang memiliki nomor rekening yang berbeda untuk setiap kantongnya.
Jika penghasilan bulanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, Dika merekomendasikan untuk mencari sumber penghasilan lain, seperti pekerjaan sampingan atau memulai bisnis. Kemudian jika penghasilan bulanan sudah lebih dari cukup, mulailah berinvestasi sejak dini dan mulailah dari jumlah yang kecil dengan konsisten dan teratur.
"Pelajari dulu dasar-dasar investasi biar tidak cuma ikut-ikutan atau FOMO (fear of missing out). Kalau ada yang pompom atau menjanjikan keuntungan yang tidak masuk akal, besar kemungkinan itu investasi bodong," ujar Dika.