Sambil Menangis, Peraih Nobel Perdamaian: Seharusnya Diberikan untuk Pejuang Damai di Gaza

Peraih Nobel Perdamaian sebut Gaza seperti Jepang setelah bom nuklir.

AP
Toshiyuki Mimaki, di layar, salah satu ketua Nihon Hidankyo, berbicara dalam konferensi pers di Tokyo, Sabtu, 12 Oktober 2024, sehari setelah Nihon Hidankyo, atau Konfederasi Organisasi Korban Bom A dan H Jepang, memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Ketua bersama Terumi Tanaka berada di sebelah kiri, sementara asisten Sekretaris Jenderal Masako Wada di sebelah kanan. (Foto AP/Hiro Komae)
Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Nihon Hindankyo meraih Nobel Perdamaian. Pemimpinnya, Toshiyuki Mimaki menangis saat konferensi pers karena tidak menyangka penghargaan diberikan padanya. Ia mengatakan ada yang lebih layak mendapatkan penghargaan tersebut.

Baca Juga


"Saya tidak pernah memimpikan ini terjadi, mereka memberikan ini pada Nihon Hindankyo? saya pikir mereka yang berjuang keras untuk perdamaian di Gaza lebih layak mendapatkannya," kata dia sambil menangis, Sabtu (12/10/2024).

Situasi anak-anak di Jalur Gaza mirip dengan Jepang, setelah bom nuklir menjatuhkan serangan pada akhir Perang Dunia II, kata Toshiyuki Mimaki, ketua bersama Nihon Hidankyo yang merupakan kelompok pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang terdiri dari penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki.

“Di Gaza, anak-anak yang berdarah dipegang oleh orang tua mereka. Ini seperti di Jepang 80 tahun yang lalu,” kata Mimaki dalam konferensi pers di Tokyo sebagaimana dilaporkan Anadolu pada Sabtu.

Anak-anak di Hiroshima dan Nagasaki, lanjutnya, kehilangan ayah dan ibu mereka dalam perang itu.

“Rakyat menginginkan perdamaian. Namun, para politisi bersikeras melancarkan perang dengan mengatakan, 'Kami tidak akan berhenti sampai kami menang.' Saya rasa hal ini berlaku untuk Rusia dan Israel dan saya selalu bertanya-tanya apakah kekuatan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak dapat menghentikannya," ucapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa senjata nuklir tidak membawa perdamaian. Namun, katanya, senjata nuklir bisa digunakan oleh teroris.

“Jika Rusia menggunakannya untuk melawan Ukraina, atau Israel untuk menyerang Gaza, maka hal ini tidak akan berhenti di situ saja,” tuturnya.

Mimaki berusia tiga tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 yang menewaskan 140.000 orang.

Tiga hari kemudian, bom lain menghantam Nagasaki dan menewaskan 70.000 orang lainnya. Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, mengakhiri Perang Dunia II.

Hadiah Nobel Perdamaian 2024 dianugerahkan kepada Nihon Hidankyo, sebuah gerakan akar rumput yang mewakili para penyintas bom atom tahun 1945 di Hiroshima dan Nagasaki, yang dikenal sebagai Hibakusha.

Nihon Hidankyo yang didirikan pada 1956, telah menjadi suara bagi para penyintas bom atom, memberikan kesaksian tentang kengerian perang nuklir dan menganjurkan penghapusan senjata nuklir secara total.

Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini dianugerahkan kepada Nihon Hidankyo, sebuah organisasi akar rumput anti-bom nuklir dari Jepang, demikian diumumkan Komite Nobel pada Jumat.

“Organisasi tersebut menerima Nobel Perdamaian atas usahanya mewujudkan dunia yang bebas dari senjata nuklir dan menegaskan melalui pernyataan para saksi bahwa senjata nuklir tak boleh lagi digunakan,” demikian sebagaimana pernyataan pers Komite Nobel yang diterima di Jakarta.

Nihon Hidankyo, yang nama lengkapnya dalam Bahasa Jepang berarti “Konfederasi Persatuan Korban Bom A dan H Jepang” – "A" berarti bom atom dan "H" bermakna bom hidrogen – didirikan pada 1956 oleh korban selamat pengeboman nuklir di Hiroshima dan Nagasaki di penghujung Perang Dunia II, atau dikenal sebagai Hibakusha.

Komite Nobel menyoroti pentingnya peran testimoni para Hibakusha, yang di antaranya berupa cerita pribadi maupun kampanye pendidikan berdasarkan pengalaman pribadi, dalam keberhasilan membangun gerakan penolakan senjata nuklir sedunia.

Nihon Hidankyo secara konsisten menerbitkan ribuan testimoni saksi mata, resolusi dan desakan publik, serta secara rutin mengirimkan delegasi ke agenda PBB dan konferensi perdamaian internasional untuk mengingatkan dunia akan bahaya senjata nuklir dan pentingnya pelucutan senjata tersebut.

Atas gerakan global seperti yang dipelopori oleh Nihon Hidankyo, muncullah stigmatisasi penggunaan senjata nuklir sebagai sesuatu yang tak dapat diterima secara moral. Terlebih, senjata nuklir tak lagi digunakan dalam perang manapun selama hampir delapan dasawarsa terakhir.

“Para Hibakusha membantu kita menjelaskan yang tak terjelaskan, memikirkan yang tak terpikirkan, dan memahami rasa sakit dan penderitaan akibat senjata nuklir yang tak bisa dipahami,” ucap Komite Nobel.

Penganugerahan Nobel Perdamaian tahun ini, menurut komite tersebut, dilakukan di bawah bayang-bayang melemahnya tabu terhadap penggunaan senjata nuklir saat ini, di mana semakin banyak negara justru memperbesar cadangan senjata nuklirnya dan dengan mudahnya mengancam menembakkan senjata nuklir dalam perang.

 

Peraih Nobel Sastra, Han Kang juga tolak konferensi pers karena alasan perang...

 

Han Kang, penulis Korea Selatan yang memenangi Hadiah Nobel Sastra 2024, menolak mengadakan konferensi pers untuk merayakan pencapaian tersebut, mengingat tragedi global yang sedang berlangsung akibat perang Ukraina-Rusia dan konflik Israel-Palestina.

Ayah Han, Han Seung-won (85), yang merupakan seorang novelis terkenal, menyampaikan pesannya selama konferensi pers di Sekolah Sastra Han Seung-won di Jangheung, provinsi Jeolla Selatan pada Jumat (11/10).

"(Han) mengatakan kepada saya, 'Dengan perang yang semakin intensif dan orang-orang mati setiap hari, bagaimana kita bisa mengadakan perayaan atau konferensi pers?' Dia mengatakan dia tidak akan mengadakan konferensi pers," katanya seperti dikutip Korea Times.

"Perspektifnya telah bergeser dari menjadi seorang penulis yang tinggal di Korea menjadi kesadaran (penulis) global. Namun, saya tidak dapat menghilangkan perasaan menjadi ayah dari seorang pemenang hadiah yang tinggal di Korea, jadi saya akhirnya mengatur konferensi pers ini," ujar Han Seung-won.

Han Kang juga melarang ayahnya mengadakan resepsi perayaan di sekolah sastra itu.

"Saya berencana mengadakan pesta di sini untuk penduduk setempat, tetapi putri saya melarang saya. Dia berkata, 'Tolong jangan merayakan saat menyaksikan peristiwa tragis ini'," kata dia, merujuk pada dua perang tersebut.

Han Kang diakui atas prosa puitisnya yang secara intens menggambarkan trauma historis dan mengungkap kerapuhan kehidupan manusia, kata Komite Nobel untuk Sastra dalam pengumumannya pada Kamis (10/10).

Penulis tersebut lahir pada 1970 di Korea Selatan, tempat dia tinggal saat ini.

Han Kang memulai karirnya pada 1993 dan menerbitkan terobosan internasional pertamanya dengan novel The Vegetarian.

Novel yang pertama kali diterbitkan pada 2007 itu menggambarkan konsekuensi kekerasan yang terjadi ketika tokoh protagonisnya, Yeong-hye, menolak untuk tunduk pada norma-norma asupan makanan.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler