Banyak Tentara Israel Tolak Berperang, tapi Pemerintah Seolah Bilang: Diamlah Bunuh Saja

Tentara Israel banyak yang mengajukan surat penolakan berperang

AP Photo/Baz Ratner
Tentara Israel membawa peti mati Sersan. Kelas Satu Nazar Itkin, yang terbunuh dalam operasi darat Israel melawan militan Hizbullah di Lebanon, saat pemakamannya di Kiryat Ata, Israel, Minggu, 6 Oktober 2024.
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Sebuah opini di Haaretz menyoroti kondisi tentara Israel yang saat ini sedang berperang di beberapa front, terutama di Jalur Gaza dengan Hamas dan di Lebanon dengan Hizbullah.

Baca Juga


Sang penulis, Samy Peretz, menyatakan di bawah pemerintahan saat ini, kondisi tentara Israel tidak pernah lebih buruk dari saat ini. Masa wajib militer telah diperpanjang selama empat bulan, lama dinas militer cadangan telah meningkat tiga kali lipat, dan usia pensiun bagi tentara cadangan telah dinaikkan satu tahun.

Selain itu, setiap tentara Israel yang diculik ke Jalur Gaza akan menjadi yang terakhir dibebaskan dalam kesepakatan pemulangan tawanan, jika kesepakatan tercapai, menurut artikel tersebut.

Peretz mengatakan bahwa semua ini terjadi pada saat pemerintah memperkenalkan RUU untuk membebaskan orang Yahudi ultra-Ortodoks (Haredim) dari wajib militer, meskipun tentara telah kehilangan lebih dari 10 ribu tentara yang terbunuh, terluka, atau mengalami gangguan psikologis.

Menurut penulis, situasi ini menimbulkan dua pertanyaan yaitu pertama, mengapa orang masih setuju untuk melakukan wajib militer? Dan kedua, sampai kapan mereka setuju untuk melakukannya dalam situasi yang menandakan perang yang tidak ada ujungnya, tanpa partisipasi saudara-saudara mereka yang sangat religius, dan ketika sudah jelas bahwa jika mereka jatuh ke tangan musuh, kemungkinan mereka untuk kembali sangat kecil?

Dia menjelaskan bahwa jawaban untuk pertanyaan pertama mudah yakni semangat militer di kalangan masyarakat umum di Israel “sangat kuat,” yang dia kaitkan dengan sistem pendidikan agama resmi negara, yang menguatkan kesucian dinas militer. Dia menambahkan bahwa semangat ini telah diperkuat sejak Badai Al-Aqsa.

Peretz percaya bahwa jawaban untuk pertanyaan kedua sulit, karena belum ada jeda yang berkelanjutan di Jalur Gaza yang mengarah pada gencatan senjata permanen, kesepakatan untuk menukar tahanan Palestina dengan semua sandera Israel, penarikan pasukan Israel, dan pembukaan penyeberangan yang memungkinkan lalu lintas barang dan orang.

Sebaliknya, yang terjadi adalah perang telah meluas ke arah utara, periode layanan cadangan telah diperpanjang, dan lebih banyak sandera yang terbunuh dalam tawanan.

Mengingat hal ini, kesimpulan apa yang dapat diambil oleh para prajurit tentang tindakan pemerintah? Jika para prajurit ini hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkannya selama jeda di antara misi militer, kesimpulan yang tak terelakkan adalah bahwa pemerintah tidak peduli dengan mereka.

Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa pemerintah memandang mereka sebagai alat, dan mereka harus melakukan apa yang diperintahkan, yaitu mempertaruhkan nyawa, mata pencaharian, dan keluarga mereka meskipun pemerintah dan mereka yang memimpin mereka tidak mau mengambil risiko apa pun yang akan membahayakan kekuasaan mereka.

Menurut artikel tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu biasa menggambarkan situasi keamanan sebagai ancaman eksistensial bagi negara, tetapi pada saat yang sama ia berusaha untuk membebaskan Haredim dari wajib militer, memuji para prajurit yang gugur dalam pertempuran, tetapi mengabaikan kawan-kawan mereka yang diculik.

BACA JUGA: Jika Benar-benar Berdiri, Ini Negara 'Islam' Pertama yang Halalkan Alkohol dan Bela Israel 

Peretz menutup artikelnya dengan nada yang merupakan campuran antara pesimisme dan sarkasme, yang tampaknya ditujukan kepada pemerintah dan para komandan IDF:

“Biarkan para prajurit mempertaruhkan nyawa mereka agar sehelai rambut pun di kepala Netanyahu tidak tersentuh.”

Sebanyak lima belas (15) tentara Israel menolak untuk bertugas di militer sampai kesepakatan pertukaran tawanan dengan Palestina tercapai. Hal ini disampaikan media Israel pada Rabu (23/10/2024).

Portal berita Walla mengatakan bahwa para tentara baru tersebut bergabung dengan total 138 tentara, yang menandatangani surat yang menyatakan penolakan mereka untuk bertugas tanpa kesepakatan.

Surat tersebut dikirimkan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Kepala Angkatan Darat Herzi Halevi dan pejabat pemerintah Israel lainnya.

“Perang di Gaza membuat saudara-saudara kita dan para tawanan mati,” demikian bunyi surat tersebut, dikutip dari laman Anadolu Agency, Rabu (23/10).

Israel memperkirakan sekitar 101 tawanan masih ditahan oleh kelompok Hamas di Gaza, Palestina. Beberapa tawanan di antaranya diyakini telah terbunuh oleh serangan udara Israel yang terus menerus dan tanpa pandang bulu di daerah kantong kecil tersebut.

Upaya mediasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS), Mesir dan Qatar untuk mencapai gencatan senjata Gaza dan kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas telah gagal. Gagalnya gencatan senjata dan pertukaran tahanan terjadi karena penolakan PM Israel Netanyahu untuk mengakhiri perang.

Tentara Israel telah melanjutkan serangan yang menghancurkan di Jalur Gaza sejak serangan Hamas tahun lalu. Meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel tetap melakukan serangan ke Gaza.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat setidaknya 115 warga Palestina tewas dalam serangan Israel yang tiada henti di Jalur Gaza, sehingga jumlah korban tewas secara keseluruhan sejak tahun lalu menjadi 42.718 orang.

Pernyataan kementerian yang dikeluarkan pada Selasa (22/10) itu juga menyebutkan bahwa sekitar 100.282 orang lainnya juga terluka dalam serangan Israel yang sedang berlangsung selama setahun di Gaza.

“Pendudukan Israel telah melakukan tujuh pembantaian keluarga dalam 48 jam terakhir yang mengakibatkan 115 kematian dan 487 korban luka-luka,” kata kementerian itu.

“Banyak orang masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka,” tambahnya.

Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel terus melanjutkan serangan brutal di Jalur Gaza sejak serangan oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober 2023.

Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade yang terus berlangsung dan menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan.

BACA JUGA: Ehsan Daqsa Komandan Elite IDF Tewas Mengenaskan di Jabalia Utara, Ini Jejak Militernya 

Upaya mediasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar untuk mencapai gencatan senjata di Gaza dan perjanjian pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas telah gagal karena penolakan Kepala Otoritas Israel Benjamin Netanyahu untuk menghentikan perang.

Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tindakannya di Gaza.

Sumber: aljazeera 

Setahun Genosida di Gaza - (Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler