Israel Bom Posko Pengungsi di Beit Lahiya, Bunuh 20 Anak-Anak: Dunia Diam
Pelapor khusus PBB mengungkap pola serangan Israel yang disengaja dan sembarangan.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA — Pasukan Penjajah Israel telah melancarkan serangkaian serangan udara di jalur Gaza, termasuk pengeboman dahsyat di kota utara Beit Lahia, yang mengakibatkan banyak korban tewas dan luka-luka.
Setidaknya 77 jenazah telah ditemukan pada Selasa dari sebuah bangunan tempat tinggal berlantai lima milik keluarga Abu Nasr, tempat sekitar 100 warga Palestina yang mengungsi berlindung. Di antara korban, terdapat 20 anak-anak, dan masih banyak lagi yang diyakini terjebak di bawah reruntuhan, menurut Aljazirah.
Dr. Hussam Abu Safiya, direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, melaporkan bahwa penembakan hebat terus berlanjut di sekitar rumah sakit tersebut. Sementara itu, staf medis berjuang untuk merawat yang terluka di tengah kekurangan pasokan penting yang berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah korban tewas.
Di tempat lain, tujuh warga Palestina, termasuk seorang anak, tewas dalam serangan udara di dekat kamp Nuseirat di Gaza tengah. Selain itu, pengeboman artileri di kamp Bureij menewaskan lebih banyak warga Palestina, termasuk seorang anak.
Di Gaza selatan, tiga orang tewas, dan beberapa lainnya cedera dalam serangan udara di daerah Khirbet al-Adas di utara Rafah. Sementara itu, para korban dibawa ke Kompleks Medis Nasser di Khan Yunis. Aljazirah juga telah mengonfirmasi bahwa pasukan Israel menargetkan Sekolah Al-Fakhoura yang dikelola UNRWA di Jabalia, yang membakar sekolah dan permukiman di sekitarnya.
Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia pada isu kontra-terorisme, Ben Saul, pada Senin (28/10/2024) mengecam tindakan militer Israel di Gaza dan menyerukan kepada semua negara untuk menghentikan pasokan senjata kepada Israel, dengan alasan pelanggaran hukum humaniter.
Berbicara dalam konferensi pers di New York, Saul menyoroti pola serangan yang disengaja, sembarangan, dan tidak proporsional yang merugikan banyak warga sipil oleh Israel.
Saul menggambarkan penggunaan amunisi dengan daya ledak tinggi di area padat penduduk, yang secara alami tidak dapat membedakan antara warga sipil dan target militer, serta penggunaan kelaparan dan penolakan bantuan sebagai “senjata perang.”
Menggarisbawahi kekhawatiran atas tindakan Israel yang melanggar norma-norma internasional, Saul kembali menyerukan semua negara untuk tidak menyediakan senjata atau amunisi kepada Israel, karena itu akan melanggar kewajiban negara lain dalam memastikan penghormatan terhadap hukum humaniter.
Ia juga menyatakan kekecewaannya terhadap Israel yang mengabaikan seruan berulang dari badan internasional untuk menghormati hukum humaniter.
"Sayangnya, Israel tidak menanggapi pesan dari Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional, jaksa Pengadilan Kriminal Internasional, banyak pemerintah, Majelis Umum, dan Dewan Hak Asasi Manusia,” ujarnya.
Saul juga menjelaskan perbedaan antara perlawanan yang sah dan terorisme, dengan mengatakan bahwa berdasarkan hukum internasional, masyarakat yang menghadapi pendudukan atau kolonialisme memiliki hak untuk melawan.
Ia menekankan, hak untuk melawan ini harus dilakukan sesuai dengan hukum humaniter internasional, seraya menambahkan bahwa pembebasan nasional dan penentuan nasib sendiri adalah tujuan yang adil. "Tetapi... Anda tidak dapat membunuh warga sipil, dengan sengaja menyerang warga sipil, atau menyandera mereka.”
Genosida yang berkelanjutan
Pelanggaran Israel terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera membuat negara zionis itu menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang terus berlanjut di Gaza.
Israel saat ini tengah diadili di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida terhadap warga Palestina. Israel telah melancarkan perang yang menghancurkan di Gaza sejak 7 Oktober. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 43.020 warga Palestina telah tewas dan 101.110 lainnya terluka dalam genosida yang dilakukan Israel di Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Selain itu, sedikitnya 11.000 orang tidak diketahui keberadaannya, diduga tewas di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza.
Israel mengatakan bahwa 1.200 tentara dan warga sipil tewas selama Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober. Media Israel menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa banyak warga Israel tewas pada hari itu karena 'tembakan kawan'. Organisasi Palestina dan internasional mengatakan bahwa mayoritas dari mereka yang tewas dan terluka adalah wanita dan anak-anak.
Perang Israel telah mengakibatkan kelaparan akut, sebagian besar di Gaza utara, yang mengakibatkan kematian banyak warga Palestina, sebagian besar anak-anak. Agresi Israel juga mengakibatkan pemindahan paksa hampir dua juta orang dari seluruh Jalur Gaza, dengan sebagian besar pengungsi dipaksa ke kota Rafah yang padat penduduk di selatan dekat perbatasan dengan Mesir – dalam apa yang telah menjadi eksodus massal terbesar Palestina sejak Nakba 1948.
Dalam perang tersebut, ratusan ribu warga Palestina mulai berpindah dari selatan ke Gaza tengah dalam upaya terus-menerus mencari tempat yang aman.