Soal Impor Susu Bebas Bea Pajak, Begini Kata Dirjen Bea Cukai

80 persen susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia saat ini berasal dari impor

Pxhere
Ilustrasi susu. Sebanyak 80 persen susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia saat ini berasal dari impor.
Rep: Eva Rianti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan pembebasan bea pajak impor susu menjadi sorotan belakangan ini, menyusul adanya aksi protes dari sejumlah peternak susu di berbagai daerah di Indonesia yang disinyalir membuat kegiatan transaksi produksi susu dalam negeri tersendat. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyebut bahwa pembebasan bea masuk susu merupakan kesepakatan bersama. 

Baca Juga


“Itu terkait dengan FTA perjanjian trade agreement ya, antara biasanya dengan ASEAN, Australia, dan New Zealand. Jadi itu yang kita jalankan juga ya,” kata Askolani kepada wartawan di Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Jakarta Timur, Kamis (14/11/2024). 

Saat ditanya mengenai perlu atau tidaknya revisi ketentuan mengenai bea masuk tersebut, Askolani mengatakan bahwa itu merupakan wewenang dari Direktorat Jenderal Pajak. 

“Itu teman-teman dari pajak ya,” ujarnya singkat. 

Sebelumnya diketahui, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Senin (11/11/2024) mengatakan bahwa sekitar 80 persen susu yang dikonsumsi masyarakat Indonesia saat ini berasal dari impor, terbesar pengimpor susu saat ini adalah dari Selandia Baru dan Australia. Hal itu menanggapi persoalan para peternak susu yang melakukan aksi membuang susu atau ‘mandi susu’ sebagai bentuk protes karena produksinya tidak terserap. 

“Selandia Baru dan Australia memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia, yang menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk susu mereka setidaknya 5 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga pengekspor produk susu global lainnya,” ujarnya.

Ia menuturkan situasi semakin buruk karena industri pengolahan susu (IPS) lebih memilih mengimpor susu bubuk (skim) daripada susu segar. Akibatnya, para peternak sapi perah di Indonesia rugi karena harga susu segar produksi mereka menjadi sangat rendah, yaitu hanya Rp 7.000 per liter, di bawah harga ideal Rp 9.000 per liter.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono menambahkan bahwa dari total produksi susu nasional, 70 persen disumbangkan oleh koperasi peternak sapi perah. Namun, jumlah ini baru bisa memenuhi 20 persen dari total kebutuhan susu dalam negeri.

 

Menurut data pemerintah, konsumsi susu nasional pada 2023 mencapai 4,6 juta ton. Namun, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 1 juta ton atau sekitar 20 persen dari total kebutuhan. Sementara sisanya berasal dari impor.

“Oleh karena itu, sisa yang 80 persen yang sementara ini dilakukan importasi susu itu nanti secara bertahap akan kita kurangi dan kita akan mendorong industri pengolahan susu yang berbadan hukum, berbadan usaha koperasi,” ucap Ferry.

Ia menambahkan, Kemenkop juga akan meminta Kementerian Perdagangan untuk meninjau kembali soal pengenaan bea masuk nol persen terhadap produk susu impor, yang saat ini didominasi oleh Selandia Baru dan Australia. 

Di sisi lain Indonesia dan Australia saat ini memiliki perjanjian perdagangan bebas bilateral IA-CEPA, yang telah berlaku sejak 5 Juli 2020. Melalui perjanjian IA-CEPA, Australia telah menghilangkan seluruh tarif bea masuk (6.474 pos tarif) untuk produk-produk Indonesia, sehingga ekspor Indonesia ke Australia sepenuhnya bebas bea masuk. Sementara itu, Indonesia juga telah menghapuskan sebagian besar tarif bea masuknya (94,5 persen) atau setara dengan 10.229 pos tarif) untuk produk-produk Australia.

Kondisi peternak dan koperasi susu menjadi sorotan belakangan ini setelah para peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah mengeluhkan pembatasan kuota penyerapan susu oleh industri pengolahan susu. Para pengepul susu dan peternak melakukan aksi protes di Kabupaten Boyolali pada Sabtu (9/11/2024) dengan aksi mandi susu menggunakan susu yang tak terserap industri pengolahan susu.

Produksi susu oleh peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali mencapai 140 ribu liter per hari. Belakangan ini, serapan IPS hanya sekitar 110 ribu liter per hari. Terdapat sisa sebanyak 30 ribu liter per hari yang tak terserap pabrik. Salah satu koperasi yang terdampak adalah KUD Mojosongo, yang merupakan koperasi produksi susu terbesar di Kabupaten Boyolali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler