Guru: Dunia Pendidikan di Persimpangan yang Berbahaya

Masih banyak guru atau pendidik yang hanya sekadar mentransfer pengetahuan.

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Siswa kelas III dan IV mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD Negeri 3 Panaragan, Desa Panaragan, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (19/7/2024).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Silvy Dian Setiawan

Baca Juga


‘Tiap ganti menteri, ganti kurikulum’. Kata-kata ini sering diucapkan ketika pemerintahan baru mulai bekerja. Namun, ganti menteri, maupun ganti kurikulum, pendidikan Indonesia begitu-begitu saja, tidak berubah signifikan.

Hal ini disampaikan seorang guru yang mengajar di salah satu SMK di Kecamatan Jambu, Semarang, Jawa Tengah, Muhammad Ali Sodikin (43 tahun). Ali melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini masih jauh dari harapan.

Kualitas pendidikan masih jauh dibandingkan negara maju, guru masih banyak yang terjebak dalam formalitas, pendidikan yang berorientasi pada menghasilkan angka-angka yang tinggi yang terlihat di atas kertas seolah anak hanya menjadi produk dari sistem pendidikan.

Persoalan itu hanya sepersekian masalah yang ada di pendidikan Indonesia saat ini. Ali menggambarkannya sebagai dunia pendidikan saat ini berada di persimpangan berbahaya. Ali menyebut, pergantian kurikulum tidak serta merta akan mengubah kualitas pendidikan menjadi lebih baik jika persoalan yang mendasar di dunia pendidikan tidak diselesaikan.

Berapa kali pun ganti kurikulum, katanya, pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Meski, Ali tidak menampik bahwa kurikulum yang dibuat tentu untuk menjadikan kualitas pendidikan menjadi lebih baik.

“Kurikulum Merdeka misalnya, dalam eksekusinya banyak miskonsepsi terhadap kurikulum itu. Banyak yang target-target angka, dan untuk memenuhi angka itu penuh dengan manipulasi, yang penting angkanya tercapai, sehingga yang membuat program itu senang, padahal apa yang terjadi di bawahnya tidak seperti itu,” kata Ali yang merupakan guru di SMK Negeri 1 Jambu tersebut kepada Republika, Selasa (26/11/2024).

“Sebenarnya kurikulum mau berubah berapa kali pun, akan begitu saja. Karena kurikulum sejati itu, ya guru itu sendiri, dia jadi modal dan contoh bagi anak-anak. Karena hasilnya masih seperti ini berapa kalipun kurikulum ganti,” ucapnya yang sudah menjadi guru sejak 2005 itu.

Ali melihat masih banyak guru atau pendidik yang hanya sekadar mentransfer pengetahuan kepada anak, mementingkan angka-angka yang tinggi yang tertulis di atas kertas. Padahal, hubungan guru dan anak tidak hanya terbatas pada tembok-tembok akademik, namun lebih dari itu.

Menurutnya, guru-guru masih banyak yang berfokus pada konten pengetahuan atau materi. Padahal, seharusnya guru fokus pada membangun manusianya dalam hal ini anak didik.

“Harusnya kita fokus pada manusianya, bagaimana manusia ini bisa berempati, bagaimana anak ini bisa menghargai orang lain, dan ide-ide orang lain itu lebih bisa dihargai, dan itu tidak terjadi di Indonesia,” jelas Ali.

 

Ali pun tidak menampik bahwa di awal saat ia memutuskan menjadi pengajar, hal yang sama juga ia lakukan yakni melakukan profesinya sebagai formalitas saja. Seiring berjalannya waktu, timbul kegelisahan dalam dirinya melihat situasi pendidikan yang masih ‘carut marut’.

“Kegelisahan saya mengenai pendidikan, saya melihat anak itu ketika dididik di sekolah-sekolah sistemnya seperti perusahaan membuat produk. Saya menemukan ketika anak tidak sesuai dengan aturan, tidak sesuai dengan tuntutan industri, kalau tidak dibina ya dibinasakan seperti produk reject. Padahal anak didik kita kan manusia yang harus dimanusiakan,” ungkapnya.

Dari kegelisahannya melihat kondisi ini, Ali mulai mencari cara untuk mengubah mindset-nya. Ia sendiri terus belajar dan mengevaluasi diri untuk mengembangkan dan membangun anak dengan cara memanusiakan anak itu sendiri.

“Jadi bagaimana anak ini bisa tidak memanfaatkan ilmunya untuk kebermanfaatan, membangun anak ini yang harus kita lakukan. Soft skill yang harus dikembangkan, nanti hardskill bisa ngikut. Yang penting bagaimana pendidikan tidak hanya sekadar di ruang-ruang kelas dan pencapaian-pencapaian, tapi bagaimana narasi pendidikan harusnya bisa membangun peradaban bangsa,” kata Ali.

Ali menemukan cara tersebut bersama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Ali menuturkan, guru-guru harus mengevaluasi diri apakah sistem yang diterapkan selama ini dengan berorientasi pada angka-angka merupakan cara yang benar untuk memahami dan mengukur apa itu pendidikan yang baik?.

Guru, katanya, seharusnya bukan hanya menjadi agen perubahan bagi generasi penerus. Namun, guru seharusnya bisa menjadi agen yang membangun peradaban.

Ali pun turut bergerak menyebarluaskan ilmunya kepada guru-guru lainnya sebagai wujud nyata untuk mengabdi dan berjuang demi pendidikan Indonesia. Tidak hanya terbatas di ruang kelasnya, Ali berkeliling ke berbagai daerah untuk menyebarluaskan ilmunya tersebut.

“Dari Aceh, Medan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Papua, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan Banten saya berkeliling. Kadang lintas jenjang, ke guru-guru SD juga, bahkan sampah perguruan tinggi,” kata Ali.

Ali berharap, dengan Hari Guru yang jatuh pada 25 November menjadi evaluasi dan refleksi bagi guru-guru di Indonesia untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik, yang lebih berpihak kepada anak, dan memanusiakan anak.

“Guru harus memiliki mandat masa depan, dan memprediksi kebutuhan anak di masa depan,” jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler