Ketika Rasulullah Mengganti Nama Para Sahabat
Ada berkah di balik penggantian nama para sahabat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Apalah arti sebuah nama?" Demikian ungkapan terkenal dari penyair Inggris, William Shakespeare. Bagaimanapun, bobot nama sesungguhnya tak enteng. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW menganggap perkara memberikan nama bukanlah sesuatu yang main-main.
Orang-orang Arab pada zaman beliau masih mewariskan tradisi jahiliyah. Tak terkecuali dalam soal pemberian nama.
Pernah suatu ketika, Rasulullah SAW menjumpai seorang laki-laki. Beliau bertanya, "Siapakah namamu?"
"Namaku Ashram (tanah tandus)," jawabnya.
Nabi SAW kurang menyukai arti nama itu sehingga beliau berkata, "Namamu adalah Zur'ah (tanah subur)."
Kepada yang lain, beliau mengajukan pertanyaan yang sama. Orang itu menjawab, "Namaku Hazan (tanah keras berbatu)."
Nabi kemudian menggantinya dengan Sahlun (tanah lembut).
Ada pula seorang lelaki yang dahulu bernama Ghawi bin Zhalim (sesat dan zalim). Rasul SAW mengubah namanya menjadi Rasyid bin Abdir Rabbih (yang mendapatkan petunjuk dari hamba Tuhan).
Berkah nama Rasul
Tak sekadar mengubah nama. Tindakan Nabi Muhammad SAW juga memunculkan keberkahan. Simaklah kisah berikut.
Waktu itu, pasukan Muslimin sedang berjihad dalam Perang Dzi Qarad. Nabi SAW melewati suatu sumur. Beliau lantas bertanya apa nama sumur itu.
Salah seorang sahabat yang mengetahuinya menjawab, "Itu adalah Sumur Bi'san (malang). Dinamakan begitu karena airnya asin."
Rasul berkata, "Tidak. Namanya kini Nu'man (bahagia) dan airnya tawar."
Para sahabat kemudian menciduk air dari sumur tersebut. Ternyata, kini airnya benar-benar tawar, seperti sabda Nabi SAW baru saja.
Lantas, sumur itu dibeli oleh Thalhah bin Ubaidilah, untuk kemudian disedekahkannya. Tak lama berselang, Thalhah menemui Rasulullah untuk mengabarkan hal itu.
"Wahai Thalhah," ujar Nabi, "engkau kini adalah Fayyadh (air yang berlimpah)." Sejak saat itu, sahabat tersebut juga kerap dipanggil Fayyadh.
Waspada syirik
Dalam berbagai kasus, beberapa orang tua memutuskan untuk mengganti nama anaknya sendiri. Sebab, mereka menganggap bahwa nama-lama berkaitan dengan nasib yang sering menimpa putra atau putrinya, semisal sakit atau kecelakaan.
Maka dari itu, perkara mengganti nama haruslah hati-hati. Tindakan ini mesti berangkat dari niat yang benar.
Jangan sampai jatuh pada tathayyur, yakni takhayul karena mempercayai bahwa seorang anak "keberatan nama" sehingga nama-lamanya mesti diganti.
Sebab, penyebab seorang anak sering sakit-sakitan bukan lantaran nama yang dimilikinya. Islam mengajarkan perlunya tindakan rasional: bila sakit, berobatlah ke dokter; bukan malah mengganti nama.