Ini Ancaman dari Asosiasi Driver Jika Pemerintah Putuskan Ojol tak Berhak Atas Subsidi BBM
Bahlil sebelumnya menyebut ojol tak masuk kriteria penerima subsidi BBM.
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Minyak (ESDM) berancang-ancang untuk mengubah skema subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang bisa berakibat naiknya harga BBM. Sebagai salah satu kalangan yang akan terdampak langsung, kalangan ojek online (ojol) mengancam menggelar unjuk rasa turun ke jalan.
"Jika sampai ojol tidak dapat menerima atau mengisi BBM bersubsidi nanti, maka pastinya akan terjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia untuk memprotes keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ini," kata Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono, di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Igun menilai rencana pencabutan BBM subsidi tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Menurutnya, banyak pengemudi ojol kesulitan mencukupi kebutuhan harian, bahkan untuk membeli BBM bersubsidi sekalipun.
"Jangankan untuk membeli BBM non-subsidi, terkadang untuk mengisi BBM subsidi saja ojol ini harus menukar dengan rasa lapar di jalanan agar sepeda motornya tetap bisa beroperasi," ucap Igun.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming dapat memperhatikan dan mensejahterakan pengemudi ojol. Salah satunya dengan tidak mencabut BBM bersubsidi bagi mereka.
"Ojol ini penghasilan tidak seberapa bahkan sudah menjadi sapi perah dari perusahaan aplikasi. Di mana hati nurani kepada rakyat kecil yang berprofesi sebagai ojol," ujar Igun.
Igun menegaskan dampak jika subsidi BBM bagi ojol dibatasi atau dicabut maka inflasi akan melonjak, karena jumlah empat juta pjol diseluruh Indonesia melayani sekitar 21 juta pengguna jasa ojol. Kemudian 60-70 persen pengemudi ojol menjalankan profesi sebagai pengiriman barang atau kurir barang, yang menjadi tulang punggung ekonomi digital.
Garda Indonesia juga akan meminta revisi tarif jasa ojol jika kebijakan ini tetap diberlakukan. Menurut mereka, kenaikan tarif diperlukan untuk mengkompensasi beban operasional yang meningkat akibat pembatasan BBM bersubsidi.
"Dan kami juga akan tuntut perusahaan aplikasi hingga pemerintah baik Kemenkomdigi maupun Kemenhub untuk revisi biaya jasa ojol agar dinaikkan biaya jasanya, lalu yang akan dirugikan bukan saja ojol namun seluruh pengguna jasa ojol," tegasnya.
Menurutnya keputusan tersebut tidak realistis karena mengabaikan kondisi di lapangan. Apalagi, banyak pengemudi ojol harus mengorbankan kebutuhan dasar mereka hanya untuk memastikan kendaraan tetap beroperasi.
"Jangan main asal cabut atau batasi BBM subsidi bagi ojol hanya karena nopol plat hitam bukan kuning seperti angkutan umum," ucapnya.
Dengan ancaman mogok nasional yang melibatkan jutaan pengemudi ojol, Garda Indonesia mendesak untuk segera mengkaji ulang kebijakan tersebut.
"Harus batalkan rencana mencabut subsidi BBM bagi pengemudi ojol atau akan terjadi gelombang aksi massa ojol di seluruh Indonesia dan kami akan gerakan massa ojol seluruh Indonesia untuk demo besar maupun mogok nasional," tegas Igun.
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan terkait skema pengemudi ojol yang tak masuk kriteria penerima subsidi BBM tepat sasaran untuk pembelian Pertalite bukan merupakan keputusan akhir. Dikatakan Bahlil hingga saat ini pihaknya masih menggodok formulasi subsidi energi untuk BBM dan listrik agar lebih tepat sasaran.
"Belum ada keputusan final," ujar Menteri Bahlil ditemui di Jakarta, Jumat.
Bahlil menyampaikan formulasi subsidi yang tengah diolah pihaknya hanya memiliki satu tujuan yakni untuk menciptakan distribusi insentif yang adil bagi semua kalangan masyarakat.
"Yang jelas kita akan membuat adil semuanya," ujar dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan sudah melapor terkait rencana formulasi subsidi yang bakal digunakan kepada Presiden Prabowo, serta tinggal menunggu data penerima yang dikerjakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
"Saya sudah laporan, kita tinggal tunggu data yang untuk penerima dari keluarga. itu akan dikerjakan oleh BPS. Sebentar lagi," kata dia.
Bahlil sebelumnya mengisyaratkan untuk tidak memasukkan pengemudi ojol dalam daftar penerima subsidi BBM tepat sasaran. Hal itu dikarenakan menurutnya kendaraan yang digunakan para pengemudi ojol untuk usaha, sementara subsidi BBM tepat sasaran yang disasar pemerintah ditekankan untuk penggunaan transportasi publik.
Adapun skema subsidi energi yang diajukan oleh Bahlil, salah satunya yakni formula campuran (blending), yakni subsidi diberikan kepada barang dan sebagian lainnya dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Skema ini, ditegaskan Bahlil untuk menggairahkan daya beli masyarakat dan memastikan subsidi tepat sasaran.
Setidaknya tiga skema penyaluran subsidi BBM agar tepat sasaran dan tepat volume. Skema pertama, mengalihkan seluruh anggaran subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (BLT).
Opsi kedua adalah kombinasi pemberian BLT dan subsidi BBM secara terbatas untuk transportasi umum dan fasilitas umum seperti rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah. Adapun, skema ketiga adalah melalui kenaikan harga BBM subsidi secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya.
Pemberian subsidi selama ini memang diakui salah sasaran. Bahlil dalam suatu kesempatan menyebutkan antara 20 persen hingga 30 persen alokasi subsidi BBM dan juga listrik tidak tepat sasaran. Nilainya cukup besar, pada 2024 ini diperkirakan mencapai Rp100 triliun.
Data Kementerian Keuangan juga mencatat subsidi bahan bakar minyak ternyata lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga mampu atau orang kaya. Untuk BBM penugasan pemerintah jenis Pertalite, tercatat sebanyak 86 persen dikonsumsi oleh rumah tangga dan 14 persen sisanya diserap oleh dunia usaha.
Dari porsi rumah tangga tersebut, sebanyak 80 persen ternyata dinikmati golongan mampu dan hanya 20 persen yang tepat sasaran atau dikonsumsi oleh golongan tidak mampu atau orang miskin. Adapun untuk produk BBM subsidi jenis minyak Solar, sebanyak 89 persen dikonsumsi oleh dunia usaha dan 11 persen sisanya dinikmati oleh rumah tangga.
Lebih rinci lagi, dari segmen golongan rumah tangga penerima BBM subsidi jenis Solar tersebut, ternyata 95 persen dinikmati oleh rumah tangga mampu atau orang kaya dan hanya 5 persen saja, yang benar-benar dikonsumsi rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan kecil.
Padahal, setiap tahun negara mengalokasikan anggaran subsidi BBM yang cukup besar hingga ratusan triliun rupiah. Data Kementerian Keuangan mencatat realisasi penyaluran dana subsidi energi dan kompensasi energi hingga Oktober 2024 mencapai Rp254,7 triliun.
Realisasi tersebut terdiri atas Rp139,6 triliun untuk pemberian subsidi energi dan Rp115,1 triliun sisanya untuk penyaluran dana kompensasi energi. Dari realisasi subsidi dan kompensasi energi yang mencapai Rp254,7 triliun itu, tercatat digunakan untuk produk BBM sebanyak 13,476 juta kiloliter hingga Oktober 2024.
Tahun depan, pemerintah dan DPR telah menetapkan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp394,3 triliun dengan alokasi untuk subsidi energi sebesar Rp204,5 triliun dan sisanya disiapkan untuk dana kompensasi energi sebesar Rp189,8 triliun. Total kuota volume BBM bersubsidi yang dialokasikan pada 2025 diproyeksikan mencapai 19,41 juta kiloliter, dengan rincian untuk minyak tanah sebesar 0,52 juta kiloliter dan minyak Solar bersubsidi sebanyak 18,89 juta kiloliter.
Besaran subsidi untuk minyak Solar untuk 2025 sudah ditetapkan sama seperti tahun sebelumnya, yakni konstan sebesar Rp1.000 per liter. Sementara, besaran subsidi untuk minyak tanah tergantung fluktuasi harga pasar. Artinya, makin tinggi harga pasar, kian besar subsidinya, begitu pula sebaliknya.
Demikian pula, besaran dana kompensasi negara, yang dialokasikan untuk BBM penugasan jenis Pertalite, mengikuti harga keekonomiannya. Indonesia telah lama menjadi negara net importer minyak atau kebutuhannya sudah lebih besar dibandingkan hasil produksi minyak di dalam negeri sehingga persoalan subsidi BBM ini seharusnya sudah sejak lama pula diselesaikan.
Tercatat, konsumsi BBM Indonesia kini mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak mentah atau crude oil di dalam negeri yang diolah menjadi produk BBM hanya berkisar 600 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia mesti mengimpor produk BBM dan juga minyak mentah sebesar 700 ribu barel setiap harinya.
Di sisi lain, dengan pertambahan jumlah penduduk, maka konsumsi BBM pastinya juga makin meningkat. Diprediksi, kebutuhan BBM domestik bakal menembus 1,4 juta barel per hari pada 2030.
Ditambah lagi, peningkatan produksi minyak mentah di dalam negeri juga makin sulit akibat penurunan alamiah sumur minyak yang sudah tua dan ketiadaan penemuan cadangan minyak dalam jumlah yang besar sehingga impor BBM akan makin meningkat dan anggaran subsidi pun kian membengkak.
Oleh karena itu, kebijakan BBM subsidi yang tepat dan cepat menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Salah satu kebijakan dalam jangka pendek yang dapat dilakukan Pemerintah adalah menaikkan harga BBM secara bertahap menuju keekonomiannya.